Sekarang aku kenyang. Cenderung kekenyangan malah. Siang
tadi itu aku mengapa, ya? Sore kemarin aku tahu mengapa, tapi siang tadi? Ya
Allah, hamba berlindung kepadaMu dari yang seperti tadi itu. Hamba mohon
angkatlah dan jauhkanlah segala penyakit dari badan hamba. Ya Allah, hamba
mohon karunia kesehatan yang sempurna. Semoga hamba tidak pernah harus mencari
perhatian medis. Bila pun hamba sakit, cukuplah yang ringan-ringan saja, yang
dapat sembuh hanya dengan ditunggu saja, ditahan sakitnya, yang menjadi
penghapus dosa-dosa. Aamiin.
Kesalahanku adalah menginginkan kembalinya masa kecilku.
Pendorong utama disusun dan diterbitkannya blog ini, maka judulnya jadi seperti
itu, plesetan dari Kemayoran. Sungguh Kemayoran itu betapa permai terasa di
hati. Sekarang pun sambil mengetikkannya, terasa betul betapa permainya. Terlebih
dengan adanya Lara’s Theme ini, Dr. Zhivago. Pengetahuan yang kudapat di
Kemayoran dari Ibuku, dan lekat pada benakku sehingga kini. Justru di situlah
letak kesalahanku. Semua itu tidak akan kembali, tidak peduli apapun yang
kulakukan. Kemayoran tidak akan pernah hadir kembali.
Terminal Bandara International Kemayoran pada tahun kelahiranku |
Sekarang, dengan Fawaz main monopoli di kamar belakang
dengan Bundanya, semakin terasa jauh Kemayoran itu. Tidak ada monopoli di
Kemayoran! Perkawinan adalah bersatunya pengalaman dua manusia. Pengalaman dibesarkan
yang menjadi acuan dalam membesarkan. Semua yang ada di sekelilingku asing. Aku
tidak mengenalinya barang satu pun. Terlebih dengan Moulins de Mon Coeur,
semakin terasa terasinglah diriku. Semakin terasa jauh dari Kemayoranku yang
permai di malam hari. Celoteh binatang malam adalah kemiripannya dengan Cikumpa
ini. Sisanya, asing.
Ketika malam perlahan menyelimuti, maka di barat terlihatlah
puncak Monas yang gemilang keemasan. Aku harus berjinjit untuk dapat melihatnya
ketika itu. Pernahkah Bapak atau Ibu memperhatikannya. Apakah sama menariknya
Monas itu seperti bagiku? Monas yang jauh itu. Sungguh nyaman berada dekat-dekat Ibu,
dan Bapak jika tidak sedang dinas malam, sambil memandangi Monas yang jauh itu.
Tidak ada bahaya. Tidak ada khawatir. Besok hanya diisi oleh rencana-rencana
yang melulu mengasyikkan. Buku untuk dibaca. Karton untuk digunting-gunting,
dibuat mainan.
Ketika malam semakin larut, TVRI pun semakin mendekati akhir
siarannya. Aku tidak terlalu ingat apapun mengenai hal itu, karena sebagaimana
layaknya anak kecil, aku nyaris tidak pernah tidur larut. Hanya kuingat lamat-lamat,
kami sempat pulang sangat larut (dari Tomangkah itu) sampai-sampai aku bisa
melihat akhir dari film seri Buck Rogers. Setelah tua begini, terkadang aku
berandai-andai, apa yang dialami, apa yang dikenang oleh orang-orang yang lebih
dewasa lagi dariku, mengenai waktu-waktu itu? Sibuk apa saja Mas Oki di Duren
Tiga, sebagai siswa SMA 70?
Begitulah, aku tidak bisa beranjak darinya, dari Kemayoran.
Aku tidak punya anak yang dapat mengajakku beranjak ke dalam masa kecilnya. Aku terperangkap dalam masa
kecilku. Wajarlah jika manusia berusaha meringankan hidup kesehariannya
yang penat, bahkan jika itu dilakukan dengan sekadar berkhayal. Sedangkan aku
yang sekadar pernah mengalami episode-episode menjijikkan dalam hidupku selalu
membutuhkan pelipur. Bagaimana dengan orang yang masih mengalami hidup nista.
Naudzubillah. Kasihanilah kami Ya Allah hamba-hambamu. Datangkanlah
pertolonganMu secepat-cepatnya. Angkatlah kami dari kenistaan. Basuhlah kami
dengan Belas KasihMu, Ya Rabb.
Biarlah entri ini kututup dengan sedikit deskripsi mengenai
Kemayoran. Musik. Ya, selalu musik yang cantik, sedangkan Ibuku yang cantik
selalu sibuk entah apa. Biasanya sambil beres-beres rumah, maka Ibu akan
mendengarkan musik dengan stereo set merek Funai, yang selalu dikenang Bapak
karena tibang begitu aja dahulu pakai ngredit. Musik yang cantik. Suasana hati
yang selalu aman dan nyaman. Hangat. Aku tidak pernah ingat kepanasan atau
kedinginan. Semua serba aman dan nyaman dan hangat, seraya memandang ke arah
selatan dari rumah kami yang tusuk sate itu.
No comments:
Post a Comment