Selamat tinggal, Cintaku, selamat tinggal. "Selama engkau masih mengenangku, aku takkan terlampau jauh darimu," batinku sambil meneguk teh pelangsing berkekuatan ganda. Perutku kenyang gara-gara makan ketoprak dengan bumbu kacang terenak yang sejauh ini pernah kurasakan. Ketoprak mana lagi yang berkesan? Ketoprak di Jalan Radio selalu berkesan, demikian juga di kandang kambing Haji Thobroni. Kurasa memang hanya dua itu. Tidak ketopraknya benar yang berkesan, tetapi suasana yang meliputi permakanan ketoprak itu. Ketoprak. Sesungguhnya aku tiada pernah benar-benar suka makanan yang tidak jelas ini. Hanya ketupat berbumbu kacang dengan bawang putih dan cabai rawit bila suka, dengan sedikit tahu, bihun, tauge dan kerupuk. Ah, aku jadi memikirkanmu. Jauh benar bedanya ketoprak dengan kalkoenreepjes met champignon. Berapa harganya dulu? Sepuluh Euro? Sedangkan ketoprak sampai hari ini masih limapuluh sen sampai kenyang bego. Kemudian, tentu saja... kibbeling dan terkadang gebakken surimi garnalen met sambal of knoflooksaus, rata-rata tiga setengah Euro, pada 2008-2009. Entah sekarang berapa. Lalu, yang agak sering juga kipfilet in zoet-pikante saus van Javaanse specerijen, of kipfilet met pittige aromatische kerriesaus, of licht gepaneerde pangafilet gewokt met Japanse sojasaus, of, yang paling mahal, garnalen met romige Japanse tuinkruiden saus. Selamat tinggal, Cintaku, selamat tinggal.
Aku belum lagi menulis email kepada Pak Adriaan, lagi. Bulan ini belum. Sedangkan aku terpaksa menjadi kuda beban tunggal PK IV, dan sepertinya juga ketambahan PK I, seperti beberapa yang kusidang hari ini. Dulu aku biasa membaginya dengan Ira. Sekarang aku memikulnya sendiri. Ini benar-benar rahasia Tuhan. Orang sekaliber Yunus Husein saja doktornya lokal. Siapa lagi? Wadek I tentu saja. Apakah aku akan berada dalam satu liga dengan Ari dan Bang Andri, atau akan berakhir seperti Bang Yunus dan Bang Haji, atau tidak sama sekali, (??) hanya Allah jua yang tahu. Aku ingat sekali suasana hatinya setahun yang lalu, ketika, kupikir, kemuakan dan sedikit dorongan mental dapat melontarkanku ke sana. Ternyata tidak. Apakah saat itu aku seyakin ketika 2008? Tidak. Pada saat itu, hanya ada itu di kepalaku. Setahun lalu, banyak sekali yang menyesakkan benakku, semua minta dipikirkan, semua minta diselesaikan; dan cukuplah puas aku dengan menyalahkan kutu kupret satu itu, yang membuatku kebanjiran kerjaan menjengkelkan yang buang-buang waktu dan tenaga saja. Tahun ini lain. Aku muak sudah tentu, tapi dorongan itu entah ke mana perginya. Semangat yang kudapat dari minum teh bersama Pak Adriaan sore-sore di Ambhara kira satu setengah tahun lalu sudah habis tak bersisa. Muak, tanpa dorongan. Jabatan sebagai Ketua ICT dan Komintern hanya membakarku jika aku berhasil memasukkan nama-nama Milson Kamil, John "the Fuck" Gunadi dan... Yonrosca ke dalam payroll FHUI. Jika tidak, apa serunya?
Kalau sudah begini, aku jadi ingin berpuisi-e-tai. Apalagi yang dapat dilakukan kecuali berpuisi-e-tai, ketika Amir Hamzah dibantai kaum revolusioner yang ingin menghapus feodalisme sekaligus imperialisme (feosim) di Sumatera Timur? Sampai mati! Diapakan, ya? Apa ditembak? Apa dibacok, ditebas? Apa digendir bae? Kata Pak Asri, yang bisa nggendir 'kan malaikat. Kata kawannya, emangnya menungsa kagak bisa? Gua bisa nggendir! Baik. Jika di kartu nama harus sesuai dengan SK, maka singkatannya saja yang kubuat sesuka John Gunadi. Unit ICT & Komintern. Sopuyan pasti merasa yang seperti ini keren. Ya Allah medioker betol orang baik ini. Buatku itu semua olok-olok. Hukum adat olok-olok, apalagi hukum koperasi. Ooh bagaimana aku mengungkapkannya? Ketika jeritan itu tertahan di antara bijip'ler. Bukan berarti aku tidak mau menahan syahwat, hanya saja ini terlalu memendam rasa. Semua saja tahu kalau dunia ini percuma, sia-sia. Siapa yang suka silakan ambil, aku tidak mau ikut. Ini memang pengecut ketika semua salah ditimpakan pada dunia. Maka aku pura-pura gila, suatu kesenian yang sungguh teramat rendah mutunya. Sasaran segala cibiran dan hujatan dan lemparan buah-buahan busuk. Sedangkan telur bila busuk berbelatung. Oleh karena itu, biarkanlah Bu Heri bercerita mengenai tikus Irian yang sangat menarik, yang mencuri telur dengan cara mengempit telur di kedua ketiaknya sementara ia telentang. Tikus lain menariknya dengan menggigit ekornya. Sungguh pemandangan yang mengerikan!
No comments:
Post a Comment