Hari ini Cantik berulang tahun yang ke-37. Swargi Akung juga kagungan kebiasaan ini, mencatat hari ulang tahun bahkan istrinya sendiri, yang setiap hari setiap saat ditemuinya, dalam agendanya. Dapat dipahami, betapa hancurnya beliau ketika satu-satunya sahabat beliau, Uti, seda. Seperti itu jugalah Cantik untukku. Satu-satunya sahabat. Maka kriteria terpenting bagi satu-satunya sahabatku adalah memahami musikku. Begitulah, Cantik--katanya, setelah aku pergi pagi tadi--tidak bisa berhenti ber-me importas tu, y tu, y tu.
Dimulai dengan Linda Muchachita, sejak itulah kami saling tahu bahwa kami sama-sama menyukai lagu-lagu jaman dulu yang berbahasa Spanyol. Seperti pernah--dan akan selalu--kukatakan, jika kriteria ini terpenuhi maka sisanya, apapun itu, Insya Allah, akan tertahankan; karena ini bukan masalah settled, melainkan settling down. Hanya dengannya dan hanya kepadanya aku bisa mempercayakan seutuhnya diriku apa adanya; dan mencintainya sungguh tidak sulit bagiku.
Apapun yang diinginkannya--sepanjang masih dalam jangkauanku, sepanjang tidak membahayakan dirinya--kupenuhi, karena aku mencintainya. Mencintai itu sendiri sudah merupakan kegiatan yang menyenangkan, terlebih jika mencintai yang kaucintai. Jika perempuan dalam dekapanmu adalah perempuan dalam hatimu, maka telah kaumiliki segalanya. Jika kau mendekap impian yang telah kauimpi-impikan untuk mendekapnya, maka kau sekaya seorang raja.
Cantik dan Aku abis liat Binturong, 2013 |
Hari ini Cantik Berulang Tahun yang ke-37, dan kami merayakannya dengan berjalan-jalan berdua saja di keheningan malam di Qoryatussalam, menyusuri jalan-jalannya, bulevarnya, melihat-lihat rumah tetangga dan mengomentarinya, bergandengan tangan. Malam kemarin kami sudah meninjau Blok N, blok sebelah. Cantik bersikeras bahwa jalan Blok N lebih lega dibanding jalan Blok M, blok kami. Aku bersikeras bahwa itu adalah tipuan optik, karena kedua sisi jalan Blok N adalah rumah-rumah yang diterangi lampu-lampu di berandanya, dan carport-carport QS yang memang lapang-lapang; sedangkan salah satu sisi jalan blok kami adalah hutan bambu yang gelap. Kami memang tidak pernah sepakat mengenai yang satu ini.
Malam ini kami memulai dengan Blok Q. Berhubung malam kemarin sudah blok N, maka kami merasa perlu memeriksa blok sebelahnya, yang baru kami ketahui, ternyata Blok P! O-nya kemana? Mungkin karena O jelek, masa Blok O, begitu simpulan Cantik. Ya, lagipula seperti nol, timpalku. Dari Blok Q, sebelum ke Blok P, kami terlebih dahulu ke timur dan menemui adanya Blok R. Cantik mengamati bahwa carport-carport Blok R lebih pendek dari yang lain-lannya. Jadi R adalah huruf terakhir di QS tampaknya.
Di situ ada tiga orang bapak-bapak sedang cangkruk di depan sebuah warung darurat tempat makan tukang-tukang, ya, di sebelah bedeng itu. Tepat di depan bak sampah ada seseorang, entah tukang entah tetangga, sedang jongkok di pinggir jalan, sepertinya sedang menelpon. Ketika melewati bak sampah itulah tercium bau obat nyamuk bakar. Bau yang, entah mengapa, selalu kusuka. Rasanya sederhana, bersahaja.
Selain bau obat nyamuk bakar, aku bercerita pada Cantik, ada juga bau yang kusuka, yaitu bau asap orang merokok Minak Djinggo Nojorono; tapi harus orang lain yang merokok, harum-harumnya klembak menyan. "Mengapa begitu?" tanya Cantik. Entahlah, jawabku, tapi memang kalau merokok sendiri baunya jadi tidak enak. Baru saja ini terpikir mengapa tidak enak, mungkin karena cara merokokku dulu yang dari mulut kuhirup lagi melalui hidung, baru dihembuskan lagi. Mungkin jelaga tar dan nikotin yang menumpuk di ambang lubang hidungku yang membuat baunya tidak sedap, seperti tumpukan upil.
Dari samping bak sampah ujung timur bulevar kami berjalan menanjak ke arah barat, ke pintu keluar. Sambil menggenggam jari-jemari Cantik, aku menengadah ke langit dan bergumam, Ya Allah, tak habis-habisnya aku memujiMu dan permainya tempat ini, perumahan yang permai ini, di mana rumahku yang permai berada. Segala puji hanya bagiMu, Penguasa Alam. Aku bertanya pada Cantik, betulkah itu rumah kita. Tentu saja, tukasnya cepat sambil merapatkan kepalanya ke dadaku. "Tapi 'kan sumbanganku sedikit. Itu rumahmu, ya. Aku cuma numpang."
Entah sudah berapa kali kuulangi kata-kata ini, maka Cantik pun sudah enggan pula menanggapi kecuali sekadar "iya" tanpa semangat; namun kepala dan badannya masih dirapatkan padaku sampai kami sulit berjalan. Belum jauh pula kami beranjak, baru beberapa rumah di Blok H sepanjang bulevar dilalui, hujan turun rintik-rintik. Kami pun berbalik arah, turun di tangga depan Masjid, kembali menuju rumah kami yang merupakan titik terendah permukaan tanah di Qoryatussalam Sani, tepat di tepi Cikumpa.
No comments:
Post a Comment