Ini libur maulid. Enak juga ternyata libur, memang sudah kuharap-harap dari kemarin. Entah karena Jokowi berhasil memodifikasi cuaca, hari ini tak setetes pun hujan turun di Cikumpa. Sudah jam sebelas malam begini, udara dalam ruangan terasa gerah. Aku bahkan sampai minum es sirup. Tadinya sempat terpikir untuk menulis sesuatu tentang maulid, atau bahkan Kanjeng Nabi SAW sendiri. [kenapa ketika kusebut "kanjeng" terasa biasa, sedangkan jika disebut "baginda" agak mengganggu, ya? Ya, tentu saja, kamu orang Jawa, 'le] Akan tetapi niat itu segera kuurungkan karena aku merasa tidak siap untuk itu. Ada suatu masa ketika aku, mungkin, merasa lebih siap dari sekarang ini untuk berbicara mengenai hal itu... [oh, bahkan terasa canggung dan kelu] Seingatku sambil berbaring-baring di salah satu kamar kosan Babeh, seingatku yang lantainya kuning lagi kotor, [atau bukan?] aku pernah menangis karena membaca sesuatu kisah mengenai riwayat hidup Kanjeng Nabi SAW. Kini otakku dipenuhi dengan berbagai pekerjaan. Kerja, kerja dan kerja, yang membuat hati menjadi keras. Ya, karena untuk dapat mengerjakan sampai tuntas aku harus mengeraskan hati. Tentu saja kini aku jadi sulit menangis. Tangis tidak mungkin terbit dari hati yang keras. Lalu harapan. Berharap kepada selain Allah, kuyakin, juga mengeraskan hati. Akan tetapi, perbuatan itu sudah demikian lazimnya sehingga orang tidak merasa ada yang salah dengannya, Ya itu, berharap pada selain Allah.
Mungkin harus juga kubeli syarah al-Hikam yang di TGA itu, hanya Rp. 35,000. Membaca yang kupunya di rumah ini betul-betul tidak nyaman. Oh, di manakah bisa kudapatkan lagi tulisan Ustadz Labib dan Maftuhahnan. Sekarang sudah macam-macam bentuknya al-Hikam itu. Betul-betul bentuknya! Ada yang sampai seperti Quran kecil, bersampul keras berwarna keemasan segala. Ini juga kurasa tidak betol. Kurasa, orang-orang yang mencari-cari al-Hikam sama kebutuhannya denganku: ketenangan hati. Mencari uang betul-betul melelahkan, Boss; padahal nyaris tidak ada lagi alasan untuk terus membanting tulang kecuali uang itu. Aku yang fatalis ini jelas semakin apatis saja. Namun hidup begini betul-betul berat terasa olehku. Jika hati tidak tenang, jika hati merasa harus berpacu karena diri pun berpacu, karena otak pun berputar cari uang, maka makan adalah satu-satunya pelarian. Dan makan pun sudah tidak nikmat lagi. Makan sudah menjadi rutin. [Aduhai, mana udara malam ini panas sekali] Sungguh aku merasa sangat tolol pernah matur Bapak bahwa makan itu sekarang hanya enak kalau berpuasa lalu berbuka, sedangkan sulit betul bagiku memaksa diri berpuasa; kalaupun sekadar ingin makan enak. Ini benar-benar mengerikan. Aku tidak bisa melaksanakan apa yang kukatakan dengan mulutku sendiri. Sudah berkali-kali kucoba dan selalu patah di tengah jalan karena alasan-alasan bodoh. Ya Allah... Bagaimana caraku mendapatkan ketenangan hati? Bagaimana agar dapat tuma'ninah sehingga muthma'inah? Ooh... aku sudah mengantuk tapi udara panas betul.
Kembali kepada harapan itu tadi. Jika ada yang benar-benar kuharapkan kini adalah ketenangan hati yang pernah kurasakan dalam hidup dewasaku. Ketenangan hati yang kali pertama sebagai orang dewasa. Namun sejujurnya aku takut mengalami proses itu kembali, proses menuju ke ketenangan hati itu. Kala itu, aku dihancurkan sehancur-hancurnya, kedirianku. Ah, sudahlah. Mungkin memang harus begini. Mungkin al-Hikam yang di rumah tidak seburuk itu. Mungkin benar bahwa aku kini berada dalam maqam kasab. Alhamdulillah banyak betul uang yang kudapatkan, meski tentu saja kurang dan kurang terus untuk ini dan itu. Namun uangku sekarang benar-benar banyak jika dibandingkan dulu-dulu, dan Insya Allah semakin banyak. Jelaslah bahwa Allah memberikan kemudahan untuk mendapatkan hasil dan buah dari usahaku. Alhamdulillah, meski aku tidak tahu seperti apa itu jika agamaku selamat, setidaknya aku dapat memenuhi keinginan-keinginanku tanpa bergantung pada orang lain. Meski niatku tidak kunjung bagus untuk menyambung tali silaturahim, [dan meski aku tidak sepenuhnya paham apa hubungan ini dengan maqam kasab] membantu orang yang kesulitan memang, Insya Allah, sudah built-in dalam diriku. Lagipula, jika dipikir-pikir, aku memang agak senang dengan langkahku dan keadaanku kini, meski mungkin akan terasa lebih "enak dan pas" jika sampai doktor, sih, dari Leiden, misalnya. [woo... nglamak!] Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas junjunganku Kanjeng Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya. Aamiin.
No comments:
Post a Comment