Sesuatu yang [Memang] Harus Dilakukan dalam versi aslinya ternyata tidak terlalu kusukai, mungkin karena aku sudah keburu terbiasa dengan tafsir Ray Conniff terhadapnya. Namun Keterlambatan bekas pacarnya Neil Sedaka yang Yahudi ini [yang mana ia tenyata juga Yahudi] menghadirkan perasaan yang terasa janggal dan mengganjal, terutama di pagi hari seperti ini. Keterlambatan ini mengingatkanku pada pepohonan kecapi, kokok ayam, Haji Golok dan jalan conbloc di samping Gym; padahal seharusnya tidak, karena pada saat itu Asatron belum hadir dalam kehidupanku... atau sudah? karena Delta FM 99.5 the best oldies station in town sangat identik dengannya, Asatron. Kemudian tentu saja rendisi Cliff Richard terhadap Kali Pertama. Ini bisa jadi ketoprak, gado-gado, atau nasi Bu Mideh, ditingkahi bau lembap kayu dan kandang kambing lengkap dengan embikannya, sedangkan di kejauhan sana desau daunan bambu di tepi Ciliwung. Masih ada landak di kebun salak yang tidak lagi terawat ini, meski semua saja adalah "lampu tempel," seperti kata Haji Thobroni. "Kena daging gak pa-pa, asal jangan kawin lagi, Insya Allah," merupakan suatu azimat yang akan kupegang teguh sampai kapan pun. Sungguh aku beruntung beliau mengijazahkannya hanya padaku.
Sungguh suatu jalan yang sangat berliku, yang, bila ditengok ke belakang, ternyata sudah panjang sekali; meski jika memandang ke depan, baru sampai sini, segitu-segitu aja; yang penting jangan suka mainkan Permainan yang Suka Dimainkan Para Pecinta, karena kau tahu, Jika Aku Tidak Peduli, tidak mungkin aku melakukan semua ini untukmu, melamunkanmu sepanjang hari, berdoa dengan NamaMu di awal dan akhirnya. Nah, begitu seharusnya kalimat. Mengalir. Deras. Apa pulak tanda-tanda baca ini?! Tetap saja aku tidak bisa menghindar dari mereka, karena aku... suka keteraturan. Kata Hadi, ada anak yang suka mencipta, ada yang suka memperbaiki. Kalau begitu, harus ada yang suka merusak. Mencipta. Memperbaiki. Merusak. Membunyikan sebuah lonceng? Dari Hari ke Hari Jatuh Cinta. Jatuh cinta seperti madu yang difermentasi, ditapaikan menjadi mead, minuman para biarawan; karena... ooh... karena aku merengkuhnya sepenuh-penuh dekapan di Mal Depok Lantai 2 ketika masih ada buku-bukunya. Hari-hari yang Penuh Anggur dan Mawar, ada di salah satu buku; seperti sering dan selalu saja terjadi padaku, yang nyaris tidak pernah menginginkan apa-apa ini. Ingin hatiku mengaku biarawan, pertapa; namun, seperti kau lihat sendiri, aku jijik, nista, berlumur najis. Aku. Berisik. [koq jadi seperti puisi?]
Pada akhirnya, aku harus Berlalu, seperti semua anjing ketika kafilah menggonggong. Semua anjing jauh lebih baik dari kafilah mana pun, meski Pluto yang bau dan Blondi yang buduk dan berbaju rombeng itu! [...anjing yang di dekat Hermina itu... lebih baik juga? Lebay memang.] Ah, baru aku ingat. Itu satu teknik yang sudah lama tidak kugunakan. Gambarnya begini, maksudnya begitu... dan mengapa pula burung? Burung apa ya ketika itu, kutilang-kah? [Namun, kali ini sepertinya aku tidak dapat menyertakan sumbernya.] Ya, hatiku memang telah patah, kurekatkan kembali dengan rubber cement, lem untuk menambal ban sepeda, malah meleleh; karena hatiku ternyata terbuat dari styrofoam. Hanya alunan bass 'De Les Chadwik yang meletat-meletot men-jowal-jawil, yang membuatnya agak meliuk-liuk geli kesenangan. Lalu ini, ia memintaku untuk Tidak Menyalahkannya, lalu katanya, ini jazz. [Lhah?!] Itulah akibatnya bila lebay. Enak ya enak aja. Enak itu rasa, gak usah dideskripsikan dengan kata-kata. Nanti jadi jazz, meski memang benar, daripada musik metal lebih baik musik jazz. [sedang semut-Semut Hitam ini begitu beringasnya menyerbu teh manisku yang kubiarkan gara-gara sibuk menulis-nulis. Maju... Jalan!] Ooh... Pergilah Gadis Kecil, kau menyakitiku. [tidak sampai sakit sih, tidak sulit pula. Biasa saja]
...dan mereka menyebutnya Cinta Kirik!
No comments:
Post a Comment