Langsung saja, Pak Yon tidak berhasil disetapkan, meski aku juga belum tahu apakah Mas Mils dan John the Fuck masuk SK. Memang sudah ada pertandanya. Malam entah kapan itu, sambil mencongklang VarioSty, ketika melewati belakang Bumi Wiyata, aku bertemu dengan seekor bekicot. Ia tampak dengan santainya menyeberang jalan sambil bersiul-siul. [yang belakangan ini jelas lebay] Segera saja kuhentikan VarioSty, menurunkan standar samping dan, tanpa mencabut kunci, memungut bekicot dari jalan dan membuangnya ke pinggir jalan yang dipenuhi rumputan gondrong dan sampah. Dari situ aku meneruskan perjalanan hampir sampai sampahan Pasar Kemirimuka. Di situlah di tengah jalan kulihat seekor tikus sedang meregang nyawa. Sebagai mantan PMR, kurasa ia sudah tidak mungkin diselamatkan. Sepertinya luka dalam. Maka kutinggalkan ia di tengah jalan itu dengan hati kacau. Masih dalam perjalanan pulang yang sama, setelah sedikit melewati Gereja Bethel, kembali kutemui seekor bekicot. Sama seperti yang terdahulu, ia pun tampak santai menyeberang jalan. Segera saja kupungut ia dan kuletakkan kembali di balik pagar. Namun aku sempat kepikiran, pasti mudah baginya kembali ke jalan itu karena antara pagar dan jalan tidak ada selokan. Aku hanya dapat berdoa semoga ia menemukan tempat yang nyaman di balik pagar itu, dan tidak pernah lagi kembali ke jalan. Selain itu, aku juga membuang seekor cacing kecil yang sudah agak gepeng kembali ke tanah becek dari tritisan kantin kaca.
Sudahlah, daripada sedih, lebih baik aku mengenang sesuatu hal yang menyenangkan, yang kualami juga di sepanjang Jalan Raya Kemirimuka belakang Bumi Wiyata itu, yaitu sekitar awal Desember tahun lalu. Pada ketika itu hujan belum sering. Jalan di samping PKM masih mungkin dilewati. Pada suatu malam dalam perjalanan pulang, aku menangkap suatu cahaya terang di langit dari sudut mata kananku. Pada awalnya aku sempat mengira itu adalah pesawat terbang, namun ketika kulirik lebih jelas ternyata bukan. Aku bahkan masih sempat menyangka itu semacam balon udara yang dinyalakan dengan api. Baru beberapa kejap kemudian aku menyadari bahwa ia tidak lain adalah Kejora! Subhanallah cantiknya... Sinarnya yang cemerlang namun seperti tersaput kabut membuatnya seperti gadis yang menyembunyikan senyumnya di balik cadar beledu. Tidak, bukan gadis perawan kencur begitu. Kejora lebih seperti seorang perempuan muda yang sudah matang, mungkin di akhir usia duapuluhan. Senyum yang disembunyikannya bukan karena kemalu-maluan, bukan pula karena ingin menggoda agar hati diharu-biru cinta. Bukan. Senyum di balik cadar itu seakan menegaskan jatidirinya sebagai seorang perempuan: senyuman sejati seorang perempuan sejati. Lagipula, siapa yang membutuhkan sesungging senyum di bibir jika matanya yang besar hitam jelita itu sudah memancarkan pesona kewanitaan yang kuat namun penuh kelembutan? Oh, Kejora kau Dewi. Aku takluk dalam pesonamu. Seandainya saja VarioSty tahu mengendali diri sendiri, sudah barang tentu tak akan kulepaskan mataku darimu, demi terpuaskannya hasratku akan kecantikan yang ilahi, Duhai Kejora.
Begitulah maka aku hanya dapat mengerling padamu, dari sudut mataku, sambil berpacu di atas pelana VarioSty. Terkadang engkau tersembunyi di balik atap rumah orang atau pepohonan, terkadang di balik jalan layang atau terpal lapak-lapak pasar. Namun ketika kau muncul lagi dengan segala kegemilanganmu di langit malam yang penuh asap jelaga kendaraan bermotor... ooh... jantung hatiku serasa melompat keluar dari kurungan rusuknya! Engkau balas mengerlingku! Ketika itulah jantung serasa berhenti berdegup. Dadaku serasa kosong karena isinya telah terburai meledak, didesak oleh damba kekaguman padamu. Pada saat itulah aku harus segera berkonsentrasi mengendali VarioSty. Pandanganku harus kembali kuarahkan lekat-lekat pada jalan dan lalu-lintas di hadapanku. Namun tepat pada saat itu pulalah suatu dorongan tak tertahankan serasa mendesak bola mataku untuk melirik ke kanan, ke arahmu, oh, Kejora; dan mengerlinglah lagi engkau padaku. Duh, oleng pula VarioSty bagai biduk diterpa gelombang. Kejora, kau sungguh berbahaya bagi Umar Bakri non-PNS sepertiku, Dewiku. Setelah saling mengerling denganmu, biasanya sepanjang perjalanan mulai dari depan Mesjid UI terus sampai Pasar Kemirimuka, ketika berbelok menyejajari jalan layang ke arah pertigaan Ramanda sampai berbelok di depan Gereja Bethel, aku harus berhenti melirik-lirikmu; selain karena engkau sulit terlihat, lalu-lintasnya ramai. Begitu juga ketika menyusuri Siliwangi sampai Tole Iskandar sebelum berbelok ke KSU. Nah, pada saat menyusuri KSU itulah kesempatan terakhirku mengerlingmu dan menikmati basalan kerlingmu, untuk berjanji esok 'kan saling mengerling lagi.