Mbelgedes! Meleset lagi janjiku pada Mbak Emmy. Bukannya menulis tentang klausul kakek, aku malah menulisi Kemacangondrongan; dan ini kulakukan sambil mendengarkan Haji Muammar ZA melantunkan Yaa Siin. Wow, koneksi internet di sini memang selalu dapat diandalkan. Aku ingat dahulu ketika bocah-bocah masih pada rebutan komputer dan internet di LKHT belakang Pos Satpam, yang kini menjadi Sekretariat Iluni FHUI itu. Beberapa di antara mereka, yang punya uang, lantas saja ngacir ke Psiko, ke... apa nama warnet itu dahulu, ya? Warnet yang sangat besar! Entah berapa kubikel, dan dengan layar ganda pulak! Hehehe... judul ini akhirnya kugunakan juga. Bagi yang pernah membaca Panjebar Semangat pasti mengenalinya. Lucu juga suasana yang diciptakan oleh lantunan Yaa Siin ini. Aku baru saja mengatur volume Winamp sampai 7 persen saja, jadi seakan-akan aku mendengarnya dari mesjid yang jauh.
Ya Allah... Engkau lebih tahu apa yang ada dalam hati hamba, lebih tahu daripada hamba sendiri. Bahkan jiwa hamba, detak jantung hamba, denyut semua otot polos hamba, Engkau-lah yang menguasai. Suara Yasinan di kejauhan selalu nyaman didengar, bahkan jika dilantunkan tidak oleh H. Muammar ZA sekalipun. Dulu waktu aku SD, khususnya ketika di Radio Dalam, istirahat siangku selalu ditemani oleh nyanyian majlis ta'lim ibu-ibu di Kampung Sawah. Sungguh manis sekali kenangan itu bagiku. Kenanganku ini juga manis, ketika shubuh-shubuh keluar ke depan rumah K28 dan pipis di got; sedangkan di kejauhan, sepertinya dari masjid dekat hanggar Mandala terdengar lantunan shalawat dzalimin. Akankah tepian Cikumpa itu membawa kedamaian yang sama, atau bahkan lebih baik lagi? Ya Allah, janganlah Engkau biarkan hamba semakin jauh saja darimu. Justru dekatkanlah, Ya Allah Illahi Rabbi. Hamba mohon dekatkanlah. Sebuah rumah, seingat hamba, selalu penting dalam proses itu. Tolonglah hamba, Ya Allah, kasihanilah.
Sudah hampir setengah sembilan dan aku masih di Lantai Dua Gedung A. Di sinilah aku mencari nafkah. Di sini pulalah tempatku berteduh, untuk sementara ini. Perasaan ini tidak sama dengan ketika aku masih membawa Bondet dalam tas jinjing UI untuk bantalku. Beda. Perasaan ini lebih mirip dengan ketika aku masih tidur di belakang rumah Cimanggis bersama Doni Brasco. Tidak juga. Atau ini perasaan yang sama sekali baru? Banyak sekali pekerjaan-pekerjaan yang tertunda dan ditunda. Aku tidak ingat apakah waktu-waktu itu dahulu sesibuk ini? Mungkin tidak. Aku tidak terlalu merasa bingung sekarang, karena banyak betul yang harus kukerjakan. Di waktu-waktu dahulu itu, terlebih yang pertama, aku tidak tahu apa yang harus kukerjakan. Dari sudut itu mungkin mirip. Aku sedang mengantisipasi sesuatu, tapi apa? Seakan ada yang menungguku di depan sana? Namun tak bisa aku melihatnya. Tentu saja. Entah mengapa, tiba-tiba aku teringat pada kamar mandi dan WC beratap langit yang ada di Cimanggis...
Manggala dan Anjing Murah (sumber) |
Dunia ini mengecewakanku. Semua. Tidak seperti Pantai Kantuk, dunia ini, semuanya saja, mengecewakan. Dan ternyata kedua hal itu paralel! Jika aku tidak punya itu, aku tidak punya alasan lagi untuk terlalu memikirkan kejayaan Nusantara; sedangkan itulah satu-satunya motivasi akademikku. Tanpa itu, aku tidak punya motif lagi. Tanpa motif, jangankan melakukan kerja-kerja akademik, untuk terus hidup di dunia saja aku sudah enggan. Aku mau hidup di... Dunia Lain. Dunia Lain di mana hanya ada Mon Amour, Ma Cherie dan... yang lain. Aku mau hidup di Dunia Milik Kita, sedangkan yang lainnya ngontrak. Kenapa aku bernafsu sekali menghapus konsep "milik"? Kenapa aku selalu merasa bahwa istilah common property atau milik bersama itu sama dengan naik ke bawah atau turun ke atas? [sama nggak ya?] Kenapa aku harus peduli? Kenapa aku terjebak dalam komidi [bukan komedi, ya] paradoks ini? Kenapa? Karena tidak mungkin kuingkari Sangkan Paraning Dumadi itu! Aku bisa hancur karenanya, jiwaku. Aku bisa jadi jasad hidup tak berjiwa; dan itu mustahil, karena aku sangat spiritual!
Bersetia Bela Pancasila, Demi Jaya Indonesia
Kemarin, atau kemarinnya lagi, aku mengobrol dengan Mas Harsanto. Kukatakan padanya, cita-citaku yang paling sebenarnya adalah menjadi Manggala BP7. Lagipula, jika aku disumpah setia untuk membela Pancasila, pekerjaan apa lagi yang lebih cocok dari itu? Aku ingin menjadi pengkhutbah Pancasila, karena dengan itulah aku dilengkapi oleh Allah: kemampuan cingcong. Lainnya aku tidak punya, atau sedikit sekali. Mas Harsanto memahaminya sebagai, jika engkau menyelesaikan Penataran P4 sampai entah berapa ratus jam banyaknya itu, maka lambat-laun engkau bisa menjadi Manggala. Namun, semakin lama kurasakan, menjadi Manggala adalah keterpanggilan. Sungguh malu rasanya menerima uang gara-gara menjadi Manggala. Pantasnya aku ini jadi tukang obat saja, ditanggap orang, setelah itu diberi makan-minum secukupnya. Akan tetapi, Cantik bagaimana? Ia sungguh mencintaiku, katanya; dan jika ia terus mengikutiku, tak mungkinlah aku menjadi Manggala. Aku harus menahan malu menerima uang yang mesum banyaknya itu... hanya karena terlahir sebagai Manggala. Aku MEMANG Manggala hahaha.
No comments:
Post a Comment