Ketika penyebar desas-desus itu mengerubungi, Jasad
Sedangkan di dalam masih ada itu keikanasinan, Busuk
Pengap, ngap, seperti banci dibungkus pisang, Keserimpet
Racunlah yang terhirup, meruyak, mengoyak kue-beras
Terpacu itu, mengunyah lidah sendiri terkumpul ludah
Kecepret pada visor helm yang masih turun, Bacin
Diseka itu, dengan secabik kertas koran, ada Quran
Awan mendung bertahta di ufuk selatan, terasa Gerah
Hujan adalah batas, antara sepoinya Surga dan geramnya Neraka
Hujan, tak menyelamatkanku dari terkaman Drubiksa
Aku, tak mendengar lirihnya bisikan gerimis
Perut, kenyang menggelinding menuruti
Satu kutang menjanjikan dua lainnya, celana dalam juga
Masing-masing terisi penuh wiski, katanya untukku
Ada juga tahi, tapi Babi, tapi liur anjing, betina juga
Untukmu delapan, mereka lima, dia keluar, aku keluar
dan seutas itu sebelah, bukan kanan, bukan pula kiri
Mengapa justru kini, sedang engkau mengantisipasi
dibuat lelah oleh berlalunya iming-iming cinta sejati
Lalu mengapa justru aku, ditinggal Seorang Diri?
Fantasmagoria menyeret seprai lusuh, bermandi peluh
di mana penghuni Comberan bersenda-canda, Trenyuh
Jangan berlagak suci, jika berlembar-lembar meluncuri
akhirnya masuk sendiri, Akhirnya, terlanjur melumuri
Memang sudah diniati, meski berganti cepat sekali
Tercapai sudah hasrat terlaknati, tiada berhenti
Melangkah gontai menyusuri, mencari Kunci-kunci
Bilakah 'kan kembali, mampukah sebelum mati?
No comments:
Post a Comment