Dunia, dunia, dunia, bagian mana darimu yang belum mengecewakanku? [...beef prosperity masih enak, sih...] Tenang, tenang, tenang, semua akan mendapatkan giliran. Jangan berebutan. Semua PASTI kebagian. Jadi, konon kematian yang terbaik itu adalah Kematian Pandawa. Dimulai dari Sadewa dan Nakula, yang merupakan kaki kanan dan kiri Pandawa Lima, disusul Arjuna yang merupakan mata dari Pandawa Lima, lalu Bima yang merupakan gairah Pandawa Lima dan terakhir Yudistira yang merupakan jiwa dari Pandawa Lima itu sendiri. Ini mirip dengan kisah mengenai pengingat yang dikirimkan oleh Kematian sebelum ia sendiri datang. Pertama, langkah-langkah dibuat berat, padahal Sadewa dan Nakula adalah penopang bagi kakak-kakaknya. Kedua, mata dibuat rabun, sedangkan Arjuna Sang Pemanah Ulung sangat mengandalkan matanya; rabun di sini bermakna luas, mencakup semua keindahan duniawi. Ketiga, gairah hidup itu sendiri dibuat hilang, sebagaimana Bima adalah yang paling bergairah dari berlima, terlebih masalah makan. Terakhir, jiwa itu sendiri dibuat hilang dari jasad, laksana Yudistira yang merupakan jiwa dari Pandawa Lima. Maka bergembiralah ketika pengingat-pengingat itu datang, jika benar perjumpaan denganNya-lah yang kau harapkan; dan merataplah memohon ampun ketika pengingat-pengingat itu datang, jika mengingat betapa dosa dan durhaka laksana buih di lautan banyaknya.
Mal Depok, sebelum berubah menjadi D Mall |
Dahulu sekali, aku pernah berangkat dari kontrakanku di Srengseng Sawah naik angkot menuju Mal Depok; seingatku malam-malam, dan membawa buku tulis. Pada waktu itu aku mau menulis suatu esai dengan judul "Mereformasi Gerakan Reformasi." Ya Allah, betapa naifnya aku waktu itu... Beberapa esai pernah kuhasilkan bersama mesin tik hijau terbang yang memorabel itu, bermodalkan entah berapa bungkus rokok dan berapa baskom kopi; semuanya dikirimkan ke Kompas, dan semuanya tidak ada yang dimuat. Kenangan ini mengingatkanku, bahwa aku memang tidak pernah berhenti menjadi seniman. Secara sangat mendasar, suasana kebatinanku saat menulis di emperan Mal Depok itu sama persis dengan apa yang kurasakan sekarang. Aku tidak pernah tahu dan tidak pula merencanakan, mau diapakan tulisan-tulisan itu. Apakah aku membayangkan diriku terkenal gara-gara tulisan? Tidak! Sekali-kali tidak! Aku selalu menulis untuk... 'ku sendiri. Aku bahkan tidak peduli apakah orang membacanya atau tidak. Aku belum cukup mencari tahu, apakah media sosial telah juga berhasil memodifikasi kebutuhan orang membaca buku. Setidaknya, beratus-ratus ebook yang ada dalam tabletku sangat jarang pun kubaca. Setiap kali membuka tablet, pasti berita Liverpool kucari, atau pesbuk, paling banter Wikipedia. Kemana perginya membaca untuk senggang?
No comments:
Post a Comment