Maakk... lapar kali pun perut awak. Masa makan sih? Sudah jam tiga begini? Mau bagaimana lagi... daripada gak bisa tidur. Ini gara-gara Global TV menunda siaran West Ham vs Liverpool sampai tengah malam dan baru selesai hampir jam dua. Sejak jam sembilanan tadi aku sudah tidur-tidur ayam sih, tapi tetap saja gak bener begini ini. Huh, untung menang, kalau tidak dongkolnya kayak apa'an tauk. Sudahlah ambil risiko begadang, kalah lagi. Untung menang, meski tipis. Sambil menulis ini, aku memilih lagu-lagu Matt Monro yang paling menye dalam daftar-main-ku. Cucoklah dini hari begini. Maakk... ini sih lagu awak jaman muda kali pun! This Time, lalu nanti ada Can This be Love. Sungguh menggalau-balau... tapi ini perut harus segera di-P3K. Terakhir tadi aku makan ketoprak abis Maghrib. Jelaslah sekarang, delapan jam kemudian, ia protes. Yuck, kerupuk goreng pasir ini banyak kali pun pasirnya. Dari tadi aku mengunyah-ngunyah pasir. Mana melempem lagi...
Huft, Indomie Goreng memang tidak pernah mengecewakanku. Dulu, seingatku, aku lebih suka Sarimi Goreng yang kemasannya warna kuning daripada Indomie Goreng, waktu pertama kali muncul. [atau memang adanya cuma itu di rumah?] Jaman dulu Sarimi cuma ada tiga rasa, goreng warna kuning, ayam warna merah dan sapi warna cokelat. Aku sudah lupa sejak kapan di rumah lebih sering ada Indomie. Mungkin sejak Sarimi kalah bersaing dengannya. Apapun, aku tidak akan lupa masa-masa kejayaan mie instan di Indonesia, yakni pada akhir '80-an dan awal '90-an; Doremi Soto, Michiyo, ABC Seafood, yum! Bahkan di bawah hujan proyektil senapan otomatis, ketika yang lain pikirannya bakpia dan Nutri Sari, aku tetap mie instan! Begitulah maka ketika aku wisuda jurit, Ibu membawakan beberapa mie cup dan semuanya kusikat habis! Salah satu kelengkapan kelas tiga di SMATN dahulu setelah apel malam adalah Indomie, biasanya aku kalau engga Ayam Bawang ya Baso Sapi, beli di Kosinus, apalagi ditambah snack malam yang sepadan, tahu goreng misalnya, yum!
Mungkin, ya mungkin sebaiknya kulupakan saja semua kenangan dan khayalanku tentang Kemayoran, this blog namesake. Rasanya tidak akan mungkin terwujud, melihat perkembangannya sejauh ini. Memang kenyataannya ada dua episode, dan episode pertama sudah lampau; tidak dan tidak akan tayang lagi. Lalu, rumahku di mana, dong? Cimone Gama I No. 26, Yado II No. E4 dalam beberapa episodenya, sisanya... aku menggelandang, seperti sekarang ini. Aku harus menatap ke depan, dan di depanku ada... Tepian Cikumpa! Betapa cantiknya, seperti Cantik! Sedang apa dia sekarang? Kurasa ia sedang bobo dalam sejuknya pelukan dini hari di tepi Cikumpa sana. Ya Allah, berkatilah rumah itu, berkatilah rumah kami. Rumah itu sungguh dekat dengan masjid. Tidak terlalu dekat. Bahkan untuk menuju masjid dari rumah itu jalannya menanjak terus. Cukuplah untuk mengumpulkan pahala. Sudah kukhayal-khayalkan dari kemarin-kemarin, mana tahu aku bisa jadi muadzin di situ. Hey, siapa tahu semester depan bisa menjadi kenyataan! Cukuplah satu kelas Adat Law dan beberapa sesi Administrative Law. Sisanya Hukum Koperasi, atau mungkin ada Law of Cooperatives juga? Entahlah. Pokoknya, Insya Allah merbot!
and I'll remember as the years go by
till the day I die, that we were lovers
Setelah tulisan berwarna unyu di atas, entri ini diteruskan sekitar tengah hari, setelah mengawas ujian akhir Hukum Administrasi Daerah reguler bersama Yahdi Salampessy. Lalu ngapain malah meneruskan entri? Inilah kebiasaan buruk. Sebenarnya, aku berencana langsung mengoreksi bagianku, mumpung cuma 36; tapi itu berarti aku harus shalat dulu, karena sudah masuk Lohor. Aku agak kuatir, jangan-jangan Mas Topo menganggapku ngolor. Memang iya sih, banyak sekali kerjaanku yang tidak beres. Barusan, ketika aku menggandakan soal di Setpim, ia memergokiku dan bertanya soal e-Journal. Hiy, ngeri! Ini ada satu teramat sangat super dooper mendesak. Masa aku harus berpacu ke tepian Cikumpa sekarang juga? Apa tidak bisa nanti malam saja sekalian sudah selesai semua? Semoga bisa. Terus ke tempat Pak Dodi-nya kapan? Besok kan sudah harus manggung di Grand Sahid; bahkan malam ini seharusnya sudah konsinyir. Inilah dia hari-hari terakhir 2012 dengan deadline saling dahulu-mendahului. Ya Allah, semoga selesai semua pada waktunya, dengan sebaik-baiknya. Semua dan semua, Ya Allah.
Aku barusan shalat dan makan soto dulu. Sepertinya aku tidak tahan lagi. Aku harus tidur. Setelah ini, akan aku siapkan soal untuk nanti sore, lalu tidur! Makan? Padahal tidak lapar-lapar benar; bentukku sudah tidak karuan. Oh, aku selalu merindukan tepian Cikumpa. Pasti nyaman sekali merenung-renung di sana, bermeditasi. Banyak sekali orang Indonesia sekarang, apalagi penduduk dunia. Mengapa tidak ada lagi perang terbuka? Perang terbuka tentu mengerikan, bahkan yang tentara benar pun justru enggan membicarakannya. Akan tetapi, perang selalu merupakan cara tercepat untuk mengurangi populasi, baik Indonesia dan dunia. Perang dapat mengubah pengangguran tak bermartabat menjadi pahlawan pujaan bangsa. Apakah karena aku bukan tentara maka aku suka sekali perang? Aku warmonger? Ah, aku bukan apa-apa. Aku cuma seorang pegawai BHMN UI yang serdos-pun belum. Jadi gak usah gaya-gayaan warmonger segala. Cukuplah disyukuri, bahwa kini aku punya mimpi yang sungguh indah. Tepian Cikumpa, yang sungguh permai itu. Aku sudah ijin Bang Andhika. Aku mau TIDUR!
Sekitar jam lima kurang aku terbangun dari tidurku di bawah meja Mas Santo, hanya untuk mendapati bahwa ujiannya masih minggu depan hahaha. Teddy kabarnya bertanya pada Bang Andhika, kemana perginya Hukum Kepailitan. Sejurus kemudian, Sul Dalam di depan tangga juga menanyakan hal yang sama mengenai Hukum Telematika; dan aku menemukan diriku mencoba menjelaskan mengenai kompetensi padanya. Bukan masalah MKWF atau MKP atau apa, ini adalah mengenai kompetensi sarjana hukum. Hehehe... sejujurnya, aku dari awal tidak pernah terlalu serius memikirkan hal ini; terutama ketika sekian banyaknya orang masih berpikir bagaimana agar matakuliahnya tidak sampai hilang. Itulah, bahkan memikirkan hal ini saja masih belum porsiku. Jadi, buat apa aku capek-capek berpikir bahwa politisi-lah yang [seharusnya] memutuskan perang dan damai, sedangkan tentara cuma menjalankan keputusan itu. Aku sudah bukan mahasiswa tahun-tahun pertama lagi, yang masih terpukau pada hal-hal seperti itu.
No comments:
Post a Comment