Tau nggak gimana caranya nulis "apem" dalam bahasa Inggris? UPHAM hehehe... Jadi, kawan-kawan, setelah sarapan kenyang di Bu Condro, aku memutuskan untuk membuat minuman kopi. Maka kujeranglah sedikit air dalam panci mie, dan kutaburkan sesendok teh munjung bubuk Koffie Aroma Banceuy ke dasar cangkir Rijkuniversiteit Limburg. Setelah mendidih benar, kuseduhlah, kuaduk dan kututup cangkir itu. Kutinggal sebentar untuk mendengarkan komentar para juri mengenai masakan Monti, Becky, Frank dan Josh. Kemudian, kuambil susu kental manis Cap Eenaaak... dari dalam kulkas. Ketika akan kutuang ke dalam cangkir, ternyata sungguh lamban ia mengalir; ya, susunya terdehidrasi dalam kulkas. Karena malas menunggu, mana aku harus melihat siapa yang tereliminasi, maka kutiup saja kaleng susu kental manis itu dari lubang udaranya. Dlodok. Banyak betul pun! Setelah kuaduk, Mak, manis 'kali pun! Agar dapat diminum, kutuang itu kopi ke dalam panci, kutambahi air, dan kujerang lagi agar panas. Hasilnya adalah Caffè Latte berbusa-busa, dalam mug yang lebih besar! Mak, jarang-jarang aku minum kopi sebanyak ini! Yah, sambil menikmati liburan, biarlah... Kebetulan sekali Ci Wen pagi ini ngomong mengenai apem dan kopi di status-status pesbuknya.
|
Tempat lesehan Soto Kuali Bu Tjondro Depok, gambar oleh Mbak Desi Triyani |
Sekarang tentang sarapan di Bu Condro. Menuku adalah Nasi Gudeg Telor, sedangkan Cantik memesan Nasi Rames Ayam. Secara keseluruhan, aku harus setuju dengan Cantik, tidak ada yang istimewa. Nasi rames itu terdiri dari sepotong paha ayam goreng kremes, sambel goreng ati ampela, sambel goreng keripik kentang dan srundeng. Semuanya biasa saja. Gudegnya juga tidak lebih istimewa dari gudegnya Mbak Dilla. Jika ada yang patut dicatat, mungkin adalah suasana rumah makan itu sendiri. Ia terletak hampir di ujung Jalan Siliwangi yang akan bertemu dengan Jalan Tole Iskandar, yang dipisahkan oleh sebuah jembatan itu. Sabtu pagi ini, pengunjungnya lumayan banyak, dalam arti, tidak terlalu ramai, tetapi juga tidak sepi. Hampir sepuluh meja terisi oleh keluarga dengan banyak anggota; hanya mejaku saja yang terisi dua orang. Sayangnya, lagu yang diputar adalah lagu-lagu
alay, karena pelayan-pelayan di situ rata-rata, tentu saja, generasi
alay. Kalau ia memutar, seperti Pawon Nyonya di Margo, lagu-lagu keroncong Hetty Koes Endang atau Mus Mulyadi, tentu lebih
klangenan suasananya; terlebih di Sabtu pagi yang mendung-mendung tidak begini. Suasananya secara umum, terlebih karena hidangannya, demikian juga karena interior rumah makan yang didominasi warna coklat gelap, memang suasana khas
klangenan pensiunan. Akan tetapi, ada tempat-tempat makan yang meski aku tidak bersama Cantik masih bisa dinikmati baik makanan maupun suasananya; Rumah Makan Bu Condro Depok ini, yang jelas, BUKAN salah satunya.
Cantik, Istriku
Lalu, Cantik itu siapa? Cantik itu istriku.
Tuh ada fotonya. Demikianlah maka
Insya Allah aku akan menghabiskan sisa umurku bersamanya, semoga Allah menolongku. Terpenting bagiku, ia bisa menyanyi dan ia tahu lagu-lagu kuno. Sisanya adalah bonus. Kukatakan padanya ketika kali pertama bertemu, kaulah perempuan dengan siapa aku ingin menghabiskan sisa umurku. Hanya karena menyanyi dan lagu? Tidak juga. Dengan caranya tersendiri, ia membantuku, bahkan menuntunku, untuk hidup seperti orang kebanyakan, seperti orang-orang itu; punya rumah, punya pekerjaan, punya rencana-rencana remeh-temeh dan sebagainya itu, sebagaimana semua saja orang. Dengan caranya tersendiri,
Insya Allah, ia membantuku meningkatkan kualitas penghambaan.
Aamiin. Sudah. Dua itu saja yang kubutuhkan dari dunia ini. Sisanya, aku sangat mencintainya. Aku sangat menyayanginya; dan bagiku, cinta dan sayang itu harus berimpit, sebagaimana mustahilnya aku mengerjakan sesuatu yang tidak kusukai. Menyayangi itu sendiri juga merupakan salah satu kebutuhanku yang utama. Itulah sebabnya ketika aku masih menggelandang dulu, Schmong menjadi bagian keseharianku yang penting. Ada waktunya ketika aku merasa perlu meninggalkan meja atau buku atau pekerjaanku, atau sekadar kebosananku, untuk menemui Schmong dan membelai-belainya, meng
gemes-gemesinya. Namun, itu
kan untuk Mas Toni Edi Suryanto dan sejawatnya para pengrajin senapan. Berhubung aku sekadar Bono Budi Priambodo, SH. M.Sc. Pengajar Hukum Lingkungan FHUI, maka sudah pada tempatnyalah jika aku beristrikan Cantik, yang bisa kupenuhi segala kebutuhannya, kukabulkan atau kuusahakan semua keinginannya, kapan pun ia butuh atau ingin, bagaimana pun.
Teringatnya, meski sekarang sedang liburan, tak ayal aku berpikir juga mengenai kuliah-kuliahku di semester mendatang ini. Aku tidak mungkin tidak membuat manual untuk Adat Law, jika aku harus pergi. Itu pula yang kujanjikan baik pada Pak Bakti, Bang Idon maupun Mbak Melly. Padahal, sebagaimana menjadi mafhum di kalangan peminat Hukum Adat, kurikulum matakuliah ini sudah memfosil, untuk meminjam istilah Mas Juni. Masa sampai sekarang kita harus mengajarkan sistem kekerabatan, bentuk-bentuk masyarakat hukum adat. Huft, kalau buatku sendiri, bahkan mengajarkan "hukum adat" itu sendiri sudah tidak relevan, sama tidak relevannya dengan semakin canggihnya hukum korporat Indonesia, sedangkan semakin mirip saja "hukum koperasi" dengannya. Tadi ketika makan di Bu Condro, sempat terbersit di kepalaku untuk berhenti berurusan dengan hukum adat, setidaknya dalam tataran penelitian, pembuktianku yang paripurna ini. Namun ternyata setelah mendekati petang begini, aku kembali insyaf. Meski harus kudalami hukum perusahaan, itu pasti akan kulakukan, setidaknya, tidak dalam kerangka konvensional yang diimpor dari Amerika oleh Charles Himawan dan para pengikutnya. Siapapun, yang mengaku orang Indonesia, apalagi Muslim, seharusnya tahu bahwa musuh terbesar adalah liberalisme, sekularisme, pluralisme in that order; dari yang paling hardcore sampai paling mild. Pluralisme musuh Indonesia? Ya! Bila diartikan bahwa dengan cara apapun benar. Tidak bertuhan pun asal bermoral, benar. Naudzubillah tsumma naudzubillah! Maka LSP itu harus diberantas, dimulai dari cara orang cari nafkah, dimulai dari... hukum ekonomi! [grrr...]
No comments:
Post a Comment