Hidup mengalun, kata siapa? Hidup itu terpotong-potong, tersenggak-senggak. [...kenapa aku tadi menulis begini, ya?] Kalau semua kelebatan pikiran ditulis di sini, mau jadi apa blog ini? Apa tidak bisa menulis yang agak tertib sedikit, sistematik, begitu. Tau nggak, gara-gara kebanyakan nulis-nulis gak karu-karuan begini, ketika harus nulis bener pun tulisanmu jadi begini. Lalu memang menulis bener buat apa? Kau pikir begini ini berkarya? Berkreasi? ...berekskresi lebih tepat. Ini seperti e'e'. Tidak. Tidak mungkin begitu. Kalaupun benar bisa kena bawasir begini terus. Tidak semua orang, tepatnya TIDAK ADA orang yang suka pada olahan paradoks-paradoks kecilmu ini. Dengan kata lain, Dungu, kau mengada-ada! Jadi kau lebih baik diam saja! [akibatnya, anak perempuan kecil yang cantik wajahnya itu menangis terguguk-guguk, sambil berpegangan pada tepi meja] ...setelah diam sejenak, maka segera terpikir olehku, senggakan lebih baik daripada sengak. Senggakan membawa kegembiraan, sementara sengak membuat wajah mengernyit kebauan. Staccato itu bukan terpotong-potong, melainkan terlepas. (Ing. detach) Lhah, kenapa lepas? Oh, mungkin lepas dari not sesudahnya. Ya, itu yang benar. Senggakan. Inilah senggakan-senggakan itu, senggakan-senggakan hidup, yang kukumpulkan satu demi satu, di sini.
Jadi... hiks... orang membuat sastrami itu karena jaman dahulu belum ada kulkas. Jadi biar awet, maka diberi berbagai rempah-rempah, dan tentu saja garam, kemudian diasapi. Rasanya tentu saja menjadi lebih nikmat. Gurih, berempah, beraroma... karena bukan Sastra yang sebenarnya. Kalau sastra yang sebenarnya 'kan indah tuh, ini nikmat. Ini gurih. Ini berempah. Ini beraroma. [sambil mengatakan ini, anak perempuan kecil yang cantik wajahnya itu, sambil masih tersengal-sengal, duduk memeluk kakinya sendiri di lantai; memasukkan kaki ke dalam gaunnya yang meski bersahaja namun cantik, secantik wajahnya] Suatu hari nanti, Nak, kelak ketika kau sudah mati, dan itu, aku yakin, tidak akan lama lagi, lamaaa... sekali setelah engkau mati, orang akan menemukan betapa banyaknya sampah yang kau tumpuk di tempat ini. Di satu tempat ini saja, begitu banyak sampah kautumpuk, seakan-akan Bantargebang dan Leuwigajah dijadikan satu, dikalikan sepuluh. Nah, jadilah ini. Jadilah "sastrami"-mu ini. [...meski hatinya sangat terluka, anak perempuan kecil yang cantik wajahnya itu tidak lagi menemukan tenaga dalam dirinya untuk menangis] Namun... setidaknya ada satu kebaikan, satu yang... yah, patutlah untuk sedikit dipuji. [mendengar ini, telinganya tegak kembali, meski sedikit masih kuyu di ujung-ujungnya] Sampah yang kaukumpulkan ini organik, yakni daun pisang bekas pembungkus, tali batang pisang bekas pengikat... yang dalam waktu singkat saja akan musnah jadi tanah, akan menjadi TIDAK ADA! [...di sini, ia menemukan tenaga baru untuk menangis lagi, meski tidak sekeras yang pertama]
Sedangkan ada 2 (macam) 'lmu, yaitu 'lmu hijau dan 'lmu hitam. Ada yang mengatakan, yang hijau lebih getir daripada yang hitam. Ada juga yang mengatakan sebaliknya. Padahal, menurutku, baik 'lmu hijau maupun hitam sama-sama getirnya. Memang sudah gila yang begituan koq dimakan, seperti tidak ada makanan lainnya saja. [memang tidak ada sih] Yak, tepat itu di situ. Benar, sudah jangan bergeser lagi. Mau hijau, mau hitam, sama saja. Hanya untuk kenyamanan saja di sini ditulis 'hitam.' Sesungguhnya sama saja. Awan wabah penyakit yang menyelimuti mayat hidup dan setan kuburan pun berwarna hijau, sedangkan hitam itu adalah KEGETIRAN. Aku ingat, dahulu ketika masih SMA, guru bahasa Inggrisku menegurku, mengapa catatan harianmu sangat suram begini. Ia bahkan memintaku untuk lebih ceria, sehingga aku dapat menemukan bahwa hidup ini indah. Well, Pak, Bu, mohon maaf, mungkin Bapak Ibu belum pernah bertemu Jinjang dan Ksatria Seram. Terlebih lagi, saya yakin benar Bapak Ibu belum pernah berkunjung, tetirah, berziarah ke kuil mereka. Bangkai, Pak, Bu, mayat dan mayat dan mayat bertumpuk-tumpuk, segar dan busuk dan busuk, gelap dan dingin agar busuknya tidak terlalu cepat. Dan aromanya itu loh, Pak, Bu, aromanya! Bapak Ibu harus lihat bagaimana mereka menghirup dalam-dalam aromanya, baik yang sedang dibakar maupun yang menunggu giliran. Mereka puas! Mereka merasa menemukan... pencapaian spiritual! ...karena 'lmu hitam itu tidak lain tidak bukan adalah KEGETIRAN! [Bapak dan Ibu guru, tepat di sini, menggerenyit, beringsut mundur ...dan lari tunggang-langgang]
Sedangkan ada 2 (macam) 'lmu, yaitu 'lmu hijau dan 'lmu hitam. Ada yang mengatakan, yang hijau lebih getir daripada yang hitam. Ada juga yang mengatakan sebaliknya. Padahal, menurutku, baik 'lmu hijau maupun hitam sama-sama getirnya. Memang sudah gila yang begituan koq dimakan, seperti tidak ada makanan lainnya saja. [memang tidak ada sih] Yak, tepat itu di situ. Benar, sudah jangan bergeser lagi. Mau hijau, mau hitam, sama saja. Hanya untuk kenyamanan saja di sini ditulis 'hitam.' Sesungguhnya sama saja. Awan wabah penyakit yang menyelimuti mayat hidup dan setan kuburan pun berwarna hijau, sedangkan hitam itu adalah KEGETIRAN. Aku ingat, dahulu ketika masih SMA, guru bahasa Inggrisku menegurku, mengapa catatan harianmu sangat suram begini. Ia bahkan memintaku untuk lebih ceria, sehingga aku dapat menemukan bahwa hidup ini indah. Well, Pak, Bu, mohon maaf, mungkin Bapak Ibu belum pernah bertemu Jinjang dan Ksatria Seram. Terlebih lagi, saya yakin benar Bapak Ibu belum pernah berkunjung, tetirah, berziarah ke kuil mereka. Bangkai, Pak, Bu, mayat dan mayat dan mayat bertumpuk-tumpuk, segar dan busuk dan busuk, gelap dan dingin agar busuknya tidak terlalu cepat. Dan aromanya itu loh, Pak, Bu, aromanya! Bapak Ibu harus lihat bagaimana mereka menghirup dalam-dalam aromanya, baik yang sedang dibakar maupun yang menunggu giliran. Mereka puas! Mereka merasa menemukan... pencapaian spiritual! ...karena 'lmu hitam itu tidak lain tidak bukan adalah KEGETIRAN! [Bapak dan Ibu guru, tepat di sini, menggerenyit, beringsut mundur ...dan lari tunggang-langgang]
No comments:
Post a Comment