Jika aku sampai mengitiki, maka aku kesepian. Kugelitiki sekujur badanku sendiri, tiada yang geli. Entah aku punya ajian zirah emas dari kuil shaolin atau bagaimana. Cium-ciuman yang lebih manis dari anggur merah yang selalu memabukkan diri kuanggap belum seberapa dahsyatnya bila dibandingkan dengan kecupanmu selalu membuatku lesu darah. Kalimat sepanjang ini tanpa tanda baca apapun, seperti cahaya lampu berbahasa Perancis yang kunyanyikan dengan lirik salah dengar asal bunyi. Aa sembunyi, 'ku diapusi oleh buku lagu biarkan itu menjadiku ensiklopedia.
Mengapa aku masih berada di luar graha, di dinginnya udara malam Magelang setelah terompet istirahat malam berbunyi. Lampu-lampu taman menyala di antara graha, memendar cahayanya menembus melalui kaca-kaca buram. Tiga tahun di situ tidak pernah aku kebagian kasur bawah. Kelas satu di atas almarhum Ari Setiawan, kelas dua di atas Iron Setiawan, kelas tiga di atas Eri Budiman. Pernah ding sebentar di bawah Setyo Wibowo. Ya hanya tiga bulan itu kurasakan kasur bawah. Tiga bulan dalam tiga tahun hasilnya sesungging senyum di hangatnya sinar mentari.
Dengan pemandangan taman jurasik bagasnami dan jalanan blok mama, kupejamkan mataku untuk menyesapi cinta yang tak pernah kurasakan. Aku sekadar balon yang ditiup dengan penuh semburan liur ke dalamnya, bergulung-gulung tanpa daya. Terkadang dihembus angin lalu, teronggok di aspal berbatu setengah basah. Ditemu anak kecil, diinjak benjret. Kurentang lengan-lenganku menggapai entah apa. Uah, siapa sangka 'ku 'kan berhasil denganmu, nyaman-nyamannya, empuk-empuknya, belai-belai sayangnya, selalu saja dari entah bila-bila. Sayang, kau tahu bahwa...
...mimpi adalah bagi mereka yang tidur. Hidup adalah bagi kita untuk dijaga. Dan apabila kau bertanya-tanya apa maksud ini semua, aku ingin bersamamu mencapainya. Aku benar-benar berpikir kita akan berhasil. Namun sekarang adalah perayaan melodi yang tidak pernah berhenti cantik sejak bapak cina tua itu menjual lotere dan nasi uduk berlauk tempe bersambal. Seperti halnya sampai kini kesejukan minyak oles obat hidung yang bermula dari minyak lemon dari Gus Dut tidak pernah berhenti membelai-belai kepalaku yang sudah gundul sekali: 'ku sugus bukan agus.
Mengapa aku masih berada di luar graha, di dinginnya udara malam Magelang setelah terompet istirahat malam berbunyi. Lampu-lampu taman menyala di antara graha, memendar cahayanya menembus melalui kaca-kaca buram. Tiga tahun di situ tidak pernah aku kebagian kasur bawah. Kelas satu di atas almarhum Ari Setiawan, kelas dua di atas Iron Setiawan, kelas tiga di atas Eri Budiman. Pernah ding sebentar di bawah Setyo Wibowo. Ya hanya tiga bulan itu kurasakan kasur bawah. Tiga bulan dalam tiga tahun hasilnya sesungging senyum di hangatnya sinar mentari.
Dengan pemandangan taman jurasik bagasnami dan jalanan blok mama, kupejamkan mataku untuk menyesapi cinta yang tak pernah kurasakan. Aku sekadar balon yang ditiup dengan penuh semburan liur ke dalamnya, bergulung-gulung tanpa daya. Terkadang dihembus angin lalu, teronggok di aspal berbatu setengah basah. Ditemu anak kecil, diinjak benjret. Kurentang lengan-lenganku menggapai entah apa. Uah, siapa sangka 'ku 'kan berhasil denganmu, nyaman-nyamannya, empuk-empuknya, belai-belai sayangnya, selalu saja dari entah bila-bila. Sayang, kau tahu bahwa...
...mimpi adalah bagi mereka yang tidur. Hidup adalah bagi kita untuk dijaga. Dan apabila kau bertanya-tanya apa maksud ini semua, aku ingin bersamamu mencapainya. Aku benar-benar berpikir kita akan berhasil. Namun sekarang adalah perayaan melodi yang tidak pernah berhenti cantik sejak bapak cina tua itu menjual lotere dan nasi uduk berlauk tempe bersambal. Seperti halnya sampai kini kesejukan minyak oles obat hidung yang bermula dari minyak lemon dari Gus Dut tidak pernah berhenti membelai-belai kepalaku yang sudah gundul sekali: 'ku sugus bukan agus.
Satu-satunya yang patut dicatat di sini hanyalah bahwa 1 Januari 2025M ini bertepatan dengan 1 Rajab 1446H. Inilah sesungguhnya yang benar-benar harus dirayakan, seperti hakikat taqwa teronggok di meja berdebu. Di bawah tumpuk-tumpukan barang-barang fana, sedang seluruh alam ciptaan ini fana. Memang begitulah hakikat taqwa: mutiara terpendam. Di atasnya bertumpuk-tumpuk beban kegelapan menyelimuti, bahkan cangkang keras. Butuh usaha yang lebih keras untuk memecahnya. Mutiara'tu diselimuti otot lembut, mudah terluka hanya oleh pasir sebutir.
Lantas apa yang seperti dua potong oncom goreng tepung. Apa yang seperti dua mangkuk mie ayam wonogiri donoloyo. Makna dilambangkan dengan bunyi yang dilambangkan dengan gurat-guratan pada media penyimpan. Yang diingat adalah makna atau bunyinya, namun terkadang juga lambangnya. Suatu keteraturan yang mantap menuju satu-satunya tujuan: kehancuran. Bahkan itu pun bukan. Ketiadaan. Apalagi ini. Kau merasa tiada karena kau merasa ada. Ada dan tiada. Kosong itu Isi itu kosong. Di titik ini seperti biasa kujulurkan apa yang terasa seperti lengan.
Meski Jabadehat sempat beringsut-ingsut lewat mengecer-ecer lendirnya ke mana-mana, salah satu simpananku dalam laci-laci benak yang acap keluar dengan sendirinya adalah suatu simpulan mengenai kesedihan yang kiranya menetap seumur hidup. Namun aku memilih untuk mengenang latarnya, yakni stipwong ketika masih berada di lantai dua margo siti. Itu pun jika kau menyebut lantai yang berdiri sejajar dengan permukaan tanah lantai satu. Kenangan-kenangan itu biarlah berlalu, seperti berlalunya segala sesuatu dari sudut pandangku. Sesatunya yang 'ku tahu.
No comments:
Post a Comment