Sangat bisa dipahami kalau Ibu sudah tidak kersa lagi mirengke lagu-lagu kesayangan Ibu dari jaman muda dahulu. Aku pun kini sudah mulai merasakannya. Terkadang lagu-lagu itu membawa kenangan yang sebegitu menyakitkannya, sampai aku tidak tahan bahkan baru sampai birama ketiga. Apa aku akan mencoba membereskan caraku berpikir mulai dari saat ini, atau 'kubiarkan saja. Apa 'kuterus-teruskan menulis asal-asalan seperti ini sampai membahayakan diri, atau 'kuperbaiki sedari sekarang. Hei, teringatnya, sekarang pratinjau sudah tidak pakai pethungulan lagi, sudah kembali seperti sedia kala. Nah, begitu, dong!
Uah, ['kurasa, sudah agak lama aku tidak berseru begini. Ini pertanda baik. Artinya hatiku riang] betapa tidak riang rasa hatiku. Helmut Zacharias menyenandungkan Orang-orang Asing di Malam Hari, sedang aku baru meneguk Oatly hangat rasa coklat. Kau harus lihat betapa rampak jari-jariku mengetiki. Kau. Siapa. Tiada. Mengapa. Nah, sudah mulai, 'tuh. Sudah seperti biasa. Perbidadari 'lah keberesan cara berpikir, yang penting hatiku riang, yang penting jariku rampak mengetiki. Biar 'kuabadikan di sini. Kemarin, Selasa Pon, 17 Rabiul Awal 1442 H/ 3 November 2020 M telah lahir Endra Budiarto Prasodjo bin Gunawan.
Nama tengahnya diambil dari nama Neneknya dari pihak ibu. Oleh Bapaknya diberi nama "Endra", digayakan dari nama Batara Indra namun dengan "i" dibunyikan "e" seperti orang Jawa, agar seperti "end" dalam Bahasa Inggris. Ini merupakan harapan dari Bapaknya agar Endra menjadi anak ragil. Entah mengapa, pada saat-saat kelahirannya aku berdoa, semoga ia, bersama kakak-kakak laki-lakinya, menjadi seperti Rama, Lakshmana dan Sathrughna, laki-laki gagah perkasa nan penuh hikmat kebijaksanaan, pecinta kebenaran yang lembut dan rendah hati, menjadi kebanggaan orangtua-orangtuanya.
Doa yang sama tentu saja 'kupanjatkan bagi Kambing Balapku Fawaz Hamdou Nitisemito bin Ade Azurat. Telah 'kukatakan pada Ibunya, panggilanku ini tanda sayangku padanya. Tidak ada yang 'kusayangi melebihi binatang. Tidak pistol, senjata apapun, apalagi turangga semacam BMW Mercy dan sebagainya. Aku penyayang binatang! Lagipula lihatlah orang-orang gagah seperti Gajah Mada, Hayam Wuruk, Kebo Kenanga, Kebo Kanigoro, maka begitulah Kambing Balapku. Ayahmu pasti punya doa-doa untukmu, begitupun aku, Bapakmu. Besar harapanku padamu, maka 'kuberi makan uccus kau selalu.
Helmut Zacharias masih bersiul-siul dengan violinnya, serampak aku masih mengetiki dengan VivoBook-ku. 'Kuterima hidupku apa adanya. Beginilah rasa, setiap hari memandang keluar jendela, di tengah wabah bersimaharajalela. Tidak bisa lebih benar lagi nasihat Sersan Elias Grodin dalam situasi seperti ini, satu nasihat yang sulit diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia atau Jawa. Meski aku baru tidur sekitar lima jam malam ini, aku seriang remaja tanggung yang berlari-lari kecil di sekeliling Katedral Winchester. Sekitar jam empat terbangun karena lambung kebanjiran asam, maka sulit tidur lagi.
Telah berulang kali 'kukatakan [pada diri sendiri], ini bukan tempat berdoa. Dinding pesbuk juga bukan. Berdoa itu berbisik-bisik pada hati, sedalam apapun yang kau sanggup. Biar 'kucatat di sini, biar tidak lupa. Shadr. Qalb. Fu'ad. Syagf. Lubb. Sirr. [Nur?]. Allah. Apa pantas mencatat ini di tempat mesum begini. Habis aku punya catatan apa lagi. Sungguh tidak praktis, dan tidak ramah lingkungan pula, masih memelihara buku-buku catatan jaman sekarang. Aku saja agak menyesal membuat catatan baru di Perimbas! Kapan aku punya waktu untuk mencatat di situ, sedang di Kompasiana dan Watyutink juga ada. [huft!]
Demikianlah, Aku Bono bin Harnowo, sebagaimana Endra bin Gunawan dan Fawaz bin [Ade] Azurat. Begitu saja terus. Tidak ada yang tahu. Aku tahu. Aku tidak. Aku hanya minta ampun. Aku Bapak dan Pakde, juga Oom. Begitu saja. Insya Allah, dalam setiap tahunnya bisa saja aku mempunyai anak-anak, laki-laki maupun perempuan. Itulah anak-anakku juga. Cukuplah bagiku, bapak-bapak botak, gendut, tidak berpeci dan bersetelan, meski mungkin harus berkacamata baca, entahlah. Semoga gigiku tidak pada sakit seperti selebihnya badanku pun. Katanya tidak mau berdoa di sini. Aku tak tahan. Aku pengecut dan kesepian.
Uah, ['kurasa, sudah agak lama aku tidak berseru begini. Ini pertanda baik. Artinya hatiku riang] betapa tidak riang rasa hatiku. Helmut Zacharias menyenandungkan Orang-orang Asing di Malam Hari, sedang aku baru meneguk Oatly hangat rasa coklat. Kau harus lihat betapa rampak jari-jariku mengetiki. Kau. Siapa. Tiada. Mengapa. Nah, sudah mulai, 'tuh. Sudah seperti biasa. Perbidadari 'lah keberesan cara berpikir, yang penting hatiku riang, yang penting jariku rampak mengetiki. Biar 'kuabadikan di sini. Kemarin, Selasa Pon, 17 Rabiul Awal 1442 H/ 3 November 2020 M telah lahir Endra Budiarto Prasodjo bin Gunawan.
Nama tengahnya diambil dari nama Neneknya dari pihak ibu. Oleh Bapaknya diberi nama "Endra", digayakan dari nama Batara Indra namun dengan "i" dibunyikan "e" seperti orang Jawa, agar seperti "end" dalam Bahasa Inggris. Ini merupakan harapan dari Bapaknya agar Endra menjadi anak ragil. Entah mengapa, pada saat-saat kelahirannya aku berdoa, semoga ia, bersama kakak-kakak laki-lakinya, menjadi seperti Rama, Lakshmana dan Sathrughna, laki-laki gagah perkasa nan penuh hikmat kebijaksanaan, pecinta kebenaran yang lembut dan rendah hati, menjadi kebanggaan orangtua-orangtuanya.
Doa yang sama tentu saja 'kupanjatkan bagi Kambing Balapku Fawaz Hamdou Nitisemito bin Ade Azurat. Telah 'kukatakan pada Ibunya, panggilanku ini tanda sayangku padanya. Tidak ada yang 'kusayangi melebihi binatang. Tidak pistol, senjata apapun, apalagi turangga semacam BMW Mercy dan sebagainya. Aku penyayang binatang! Lagipula lihatlah orang-orang gagah seperti Gajah Mada, Hayam Wuruk, Kebo Kenanga, Kebo Kanigoro, maka begitulah Kambing Balapku. Ayahmu pasti punya doa-doa untukmu, begitupun aku, Bapakmu. Besar harapanku padamu, maka 'kuberi makan uccus kau selalu.
Helmut Zacharias masih bersiul-siul dengan violinnya, serampak aku masih mengetiki dengan VivoBook-ku. 'Kuterima hidupku apa adanya. Beginilah rasa, setiap hari memandang keluar jendela, di tengah wabah bersimaharajalela. Tidak bisa lebih benar lagi nasihat Sersan Elias Grodin dalam situasi seperti ini, satu nasihat yang sulit diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia atau Jawa. Meski aku baru tidur sekitar lima jam malam ini, aku seriang remaja tanggung yang berlari-lari kecil di sekeliling Katedral Winchester. Sekitar jam empat terbangun karena lambung kebanjiran asam, maka sulit tidur lagi.
Telah berulang kali 'kukatakan [pada diri sendiri], ini bukan tempat berdoa. Dinding pesbuk juga bukan. Berdoa itu berbisik-bisik pada hati, sedalam apapun yang kau sanggup. Biar 'kucatat di sini, biar tidak lupa. Shadr. Qalb. Fu'ad. Syagf. Lubb. Sirr. [Nur?]. Allah. Apa pantas mencatat ini di tempat mesum begini. Habis aku punya catatan apa lagi. Sungguh tidak praktis, dan tidak ramah lingkungan pula, masih memelihara buku-buku catatan jaman sekarang. Aku saja agak menyesal membuat catatan baru di Perimbas! Kapan aku punya waktu untuk mencatat di situ, sedang di Kompasiana dan Watyutink juga ada. [huft!]
Demikianlah, Aku Bono bin Harnowo, sebagaimana Endra bin Gunawan dan Fawaz bin [Ade] Azurat. Begitu saja terus. Tidak ada yang tahu. Aku tahu. Aku tidak. Aku hanya minta ampun. Aku Bapak dan Pakde, juga Oom. Begitu saja. Insya Allah, dalam setiap tahunnya bisa saja aku mempunyai anak-anak, laki-laki maupun perempuan. Itulah anak-anakku juga. Cukuplah bagiku, bapak-bapak botak, gendut, tidak berpeci dan bersetelan, meski mungkin harus berkacamata baca, entahlah. Semoga gigiku tidak pada sakit seperti selebihnya badanku pun. Katanya tidak mau berdoa di sini. Aku tak tahan. Aku pengecut dan kesepian.
No comments:
Post a Comment