Entri ini kutulis di Loteng Belajar milik Maastricht Graduate School of Governance, semoga entri-entri lainnya yang kutulis di tempat ini menyusul kemudian. Untuk apa aku berharap begitu? Dunia ini adalah tempat kemalangan, kehilangan, kesedihan. Kenapa harus begitu benar caraku memandang dunia? Ketika sesuatu yang kuanggap paripurna di dunia ini, ternyata tidak sempurna, kurasa pada saat itulah... Pada saat itulah, kenapa lagi aku harus berharap sesuatu dari dunia ini? Setapak demi setapak, itu saja yang masih bisa dilakukan. Selangkah demi selangkah, maju dengan hati-hati, seakan yang kupijak ini sungai lava.
Memang sungai lava! Apalagi kalau bukan itu? Kebutuhan akan kepastian, atau lebih tepat Keabadian, memang merupakan kenangan primordial manusia, yang dibawanya dari kampung halaman. Ke sanalah kita semua akan kembali, ke Keabadian! Sementara ini... yang ada di hadapanku adalah sungai lava, di belakangku sungai lava, di sekelilingku sungai lava. Tidak ada bedanya. Oh Gusti, mengapa begini benar aku memandang sekelilingku? Adakah ini kehendakMu, atau diri-rendahku? Oh Gusti...
Ini sangat berpengaruh pada diriku. Bagaimana aku bisa peduli pada kepemerintahan, penyusunan kebijakan, penetapan agenda, demokrasi, globalisasi, apapun itu, apapun maumu... bagaimana aku bisa peduli, jika yang kupedulikan hanya goro-goro, apapun itu? Sudah tidak banyak gunanya segala macam perbentengan argumentasi bagiku, sudah lama pula aku tidak berlatih untuk melakukannya. Kubiarkan saja. Rapuh atau kokoh, sudah tidak banyak bedanya. Jika begitu, bagaimana aku dapat berargumentasi dalam bahasa Inggris, sedangkan dalam bahasa Indonesia saja sudah lama kutinggalkan?
Entah sudah berapa tahun lamanya aku hidup dalam sepi yang mendendam. Orang mungkin tidak percaya, karena aku banyak bicara. Padahal, yang kumuntahkan, yang kuludahkan, semua amarah! Sungguh aku tidak seperkasa serumpun padi yang kuat menangung kenistaan hidup abadi di tanah penuh berlumpur. Sungguh, tidak tahu diri aku jika mengira aku "berbicara" atas nama mereka. Aku hanya banci yang tidak kuat menanggung nista! Aku memang pengecut yang masih saja tidak berani mengakui kepengecutannya. Namanya juga pengecut... bisa diharap apa?!
Depresiku menjadi polusi bagi persekitaranku. Cerobong-cerobong mengemposkan jelaga dengan sekuat tenaga, tak satu pun mampu menghindar darinya. Bahkan ketika aku diam, ia masih memancar. Haruskah aku dikurung—seperti dulu—agar tidak mencemari persekitaranku? Ada orang-orang yang kehadirannya membawa keceriaan dan kebahagiaan. Aku sebaliknya! Aku membuat orang merasa tertekan. Kemarahanku yang terpendam, akibat berlatih bertahun-tahun, menguar bagai bau badan dari tiap-tiap pori kulitku. Sudah begitu, aku sombong. Berbangga-diri tidak pernah mau pergi dariku. Bahkan ketika aku diam, ia makin meruyak di dalamku, menggerogotiku.
Oh Gusti, Maha Sempurna pekerjaanMu, Maha Rinci perhitunganMu. Inilah sahaya, demikianlah ketentuanMu bagi hamba. Hanya berserah diri yang tersisa bagi hamba, dan harapan sekiranya mampu menanggung ini semua, seperti rumput yang merelakan dirinya digilas salju musim dingin, atau dipanggang kekeringan panjang. Hamba tercipta bukan sebagai rumput, tetapi ciptaanMu Maha Sempurna. Hanya kepadaMu sahaya menghamba, dan hanya kepadaMu sahaya memohon. Semoga.
No comments:
Post a Comment