Sial! Sudah dua entri berturut-turut judulnya dalam bahasa asing! Akan tetapi, yang satu ini memang tidak mungkin diganti, karena hanya ungkapan itu yang cocok untuk menjadi judul entri ini --setidaknya, hanya itu yang kini terpikir olehku. Bukannya mengerjakan SWF malah nulis gak penting! Biar saja! Lebih baik menulis daripada tidak sama-sekali. Ada jejak yang kutinggalkan, untukku sendiri, untuk kuevaluasi, dan aku memang harus mengevaluasi. Ini sudah kelewatan. Apa yang kutakutkan akhirnya menjadi kenyataan: Emotional Roller-coaster!
Ya, ampun... Setua ini masih saja mainan begituan?! Meski ini tampaknya tidak berhubungan dengan masalah tua atau muda, tetap saja bagiku mengherankan. Masih aja gua kepatil! Kampret! Dari pengalaman yang dulu-dulu, yang beginian nih kalau diteruskan hasilnya jadi berabe —perasaan lu udah bilang deh beberapa hari yang lalu... Emang iya, Goblok! Maka dari itu, baekan buru-buru loncat dah keluar dari situ! Mainan ini tidak akan berhenti, kecuali kau memasrahkan dirimu padanya. Lama-kelamaan, ketika energinya sudah berkurang, maka yang kau rasakan adalah mengambang di awan. Namun itu masih lama sekali, dan kau TIDAK PUNYA WAKTU untuk itu!
Ha ha ha, sepertinya satu entri ini akan kuhabiskan untuk judul ini saja: Emotional Roller-coaster. Hah! Emangnya gua bocah, yang masih kena dikelece'in ama yang begituan?! Ayo, lawan lebih hebat lagi. Sangkal! Kau tahu betapa mengasyikannya permainan itu. Memang, ketika dia memuntirmu, atau membiarkan darahmu mengumpul di kepala karena ditarik gravitasi, rasanya... mendebarkan, menggemaskan, mendongkolkan, menjengkelkan... Akan tetapi, ketika kau berhasil melampauinya, apalagi ketika ia mulai kehilangan cengkeraman pada rel emosionalnya... he he he... kau masih ingat 'kan bagaimana rasanya...? (Si Anjing ini —bukan Sam— terkekeh menjijikkan) Asyik! Lebih dari sekadar asyik, nyaman!
Keliaranku melampaui yang sekadar asyik, tapi kebutuhanku akan rasa nyaman, mapan, besar sekali. Nyaman... di tengah panggung gelap, sendiri, perlahan disorot lampu, mencangkung, termangu, tersenyum dikulum (karena sekarang aku tidak merokok lagi). Kalau masih merokok, mungkin menghisap dalam-dalam asap celaka itu, menghembus perlahan dengan mulut sambil ditarik kembali melalui hidung... Ooohhh... Selembar selimut hangat disampirkan lembut pada bahuku, selembut nafasmu... Gusti, ampunilah hamba. Gusti, sungguh hamba lemah di hadapan nafsu hamba sendiri... [mengguguk, mana ada kata ini dalam Bahasa Indonesia].
Betapa jauh hamba dari tujuan hamba. Betapa jauh hamba dari kampung halaman. Oh Gusti, malu hamba memanggilMu. Hamba coreng-moreng, kotor. Bukan hamba tidak tahu diri, Oh Gusti, tapi kemana lagi hamba harus menyeru? Sungguh tidak pantas hamba menghadapMu dalam keadaan begini. Akan tetapi, dalam keadaan yang bagaimana lagi hamba lebih pantas menghadap? Oh Gusti, hamba malu pada kelakukan hamba sendiri, semoga tulus rasa malu ini. Hamba biarkan kuda itu berlari kencang menuju tepi jurang. Kini, ketika kaki-kaki depannya menggaruk-garuk bibir jurang, hanya ekornya yang terpegang oleh hamba. Kuda itu toh mahlukMu juga, Oh Sang Perkasa.
Kedua lengan hamba apalah? LenganMu-lah Duhai Maha Perkasa, yang kuasa menghentak, menyeret kembali kuda hamba ke pijakan yang aman. Benar-benar menjijikkan tidak tahu malu hambaMu ini, kini ia meminta agar sudilah kiranya jangan diseret. Sudilah Sang Maha Lembut, Sang Pengiba, membelai-belainya agar jinak, mengelus-elusnya agar tidak binal. Gusti hamba, kasihanilah hamba yang dibutakan oleh asap jelaga. Segala daya upaya hamba tak berarti untuk menghapusnya, hanya Engkaulah Maha Kuasa, Maha Lembut, Sang Pengiba Pencipta rasa iba, mampu membersihkannya dari cermin hambaNya. Gemilanglah cahayaMu dipantulkannya, duhai Cahaya Maha Cahaya!
No comments:
Post a Comment