Selamanya mungkin kalau mendengar Homburg ingatanku akan langsung melesat kepada Bengar Gurning. Sementara aku sedang umek dengan EM kapsul yang tampaknya lebih baru dari Lydia Kandou, aku tak dapat mempercayai ini sungguh-sungguh. Entah sungguh-sungguh terjadi seperti yang ada dalam gambaran gunung Kelud dulu atau yang lainnya aku tak tahu. Jika aku merasa lebih hebat dari Anies, itu semata karena aku ingin menjadi segalamu. Aku tak perlu dan tak mau menjadi segalanya bagi siapapun yang lain. Jika sekarang berkurang kembali ke 27 mm dari 64 mm, bisa jadi karena tadi sudah disiramkan cukup lama.
Hujan dari sebelum ashar tadi sudah berhenti setelah mengguyur lebih dari satu jam di suatu tempat di Jawa Tengah. Tidak perlu di Barepan, karena aku juga berada di tempat-tempat lain selain di situ. Bisa jadi di terminal Magelang atau di rumah sakit jiwa pusat. Jelasnya tidak mungkin di kaki Tidar atau Plempungan. Mereka tidak akan membiarkanku menikmati hujan sore hari atau kapanpun. Lagipula aku lupa apakah sebelum November 1994 itu sudah turun hujan atau belum. Sudah, karena ada hari-hari di mana aku naik truk bak terbuka di bawah gerimis, memandangi hangatnya rumah orang menonton dunia dalam berita.
Seperti di awal tahun ini aku berkenalan dengan dimanjakan cintamu, awal 2019 aku dikenalkan pada itu kamu dan bersalah. Aku hanya bisa maju atau berputar-putar saja di tempat, atau mungkin bergelesotan di tempat, entah itu tanah becek atau aspal basah. Entah bagaimana aku di Lily Rochly, entah menyanyikanku tak sanggup berhenti mencintaimu, entah artis ibukota yang menyanyikannya bersama mentor Joko Supriyanto. Aku menghabiskan waktu sangat lama hanya memandangi mentor-mentor Tory Subiyantoro dan Joko Supriyanto. Aku, kurasa, memang tidak tercipta untuk menjadi seperti mereka. Aku yang tolol ini.
Maka bantulah aku untuk menangis, ketika gusi kiri bawahku terasa aneh setelah memakan beberapa potong apel. Aku suka apel, tapi perutku sepertinya tidak terlalu. Sepuluh sampai lima belas tahun yang lalu mungkin masih bisa kurasakan kesedapan bicara asal-asalan, namun kini aku kehabisan kesedapan. Suara tante Connie memang masih cantik sepanjang masa, tetapi efek yang ditimbulkannya tidak sedahsyat sepuluh sampai lima belas tahun lalu, apalagi tiga puluh tahun lalu. Ya, waktu aku masih seumuran kambing. Tadi sempat terpikir untuk melukiskan hidup yang begitu-begitu saja dalam tahun-tahun yang amat panjang.
Antara awal 1996 sampai 2008, misalnya. Dua belas tahun yang sangat panjang, yang ketika dijalani dari hari ke hari berjalan dari rumah Pak Rinan di atas tebing tepian Ciliwung ke arah gang realita, menyeberang rel sampai ke halte UI, tentunya harus naik bis kuning sampai kampus. Semester dua yang penuh semangat di awal 1997, semester tiganya bubar jalan di musim kemarau panjang akibat el nino kali pertama. Sempat 'nyangkut di mana entah yang ada David Sibuea, namun tentu tidak lama. Berarti kapankah itu mulai di rumah Pak Rinan, bisa jadi di musim kemarau 1997 itu juga, aku tidak ingat pasti. Masih kualami debu beterbangan di jalan yang baru kutahu namanya Lenteng Agung Timur.
Ya, kurasa semester empat itulah, di ruang antara ruang tidur dan dapur. Hanya suatu kenangan di antara suvenir-suvenir. Rak buku kecil kebanggaanku, dari dulu gawaiku tidak pernah banyak. Itu-itu saja. Ketika hujan mulai mengguyur di akhir 1997 itu, di tengah-tengah krisis moneter, aku makan sekoteng. Ada juga tukang sate gerobak yang masih meneriakkan dagangannya. Pernah juga, seingatku, sore-sore tidur-tidur ayam, lamat-lamat terdengar 99.5 Delta FM the best oldies station in town, terdengar tukang siomay pikul lewat. Bagaimana bunyinya, ya. Siomay pikul murahan yang selalu kukenang nikmat-nikmat sedapnya.
Ini melemparkanku kira-kira sepuluh tahun ke depan, atau kurang dari itu sedikit, di tangga antara gedung C dan E, ada juga tukang siomay pikul yang sedap. Hari-hariku di kost Babe Tafran entah di kamar yang mana. Deretan selatan paling barat, adakah aku yang mengecatnya biru muda setelah melubangi dinding sebelah baratnya. Itu pasti setelah gudangnya dirubuhkan. Di luar boleh panas, namun di dalam kamar tetap sejuk. Apalagi di tengah-tengah musim penghujan. Bilakah itu, awal 2008. Membaca skrip Ca Bau Kan, Iblis dan Nona Prym, Reader's Digest yang ada keroncong tugunya, berbagai NatGeo lama, lima belas tahun lalu.
Seperti di awal tahun ini aku berkenalan dengan dimanjakan cintamu, awal 2019 aku dikenalkan pada itu kamu dan bersalah. Aku hanya bisa maju atau berputar-putar saja di tempat, atau mungkin bergelesotan di tempat, entah itu tanah becek atau aspal basah. Entah bagaimana aku di Lily Rochly, entah menyanyikanku tak sanggup berhenti mencintaimu, entah artis ibukota yang menyanyikannya bersama mentor Joko Supriyanto. Aku menghabiskan waktu sangat lama hanya memandangi mentor-mentor Tory Subiyantoro dan Joko Supriyanto. Aku, kurasa, memang tidak tercipta untuk menjadi seperti mereka. Aku yang tolol ini.
Maka bantulah aku untuk menangis, ketika gusi kiri bawahku terasa aneh setelah memakan beberapa potong apel. Aku suka apel, tapi perutku sepertinya tidak terlalu. Sepuluh sampai lima belas tahun yang lalu mungkin masih bisa kurasakan kesedapan bicara asal-asalan, namun kini aku kehabisan kesedapan. Suara tante Connie memang masih cantik sepanjang masa, tetapi efek yang ditimbulkannya tidak sedahsyat sepuluh sampai lima belas tahun lalu, apalagi tiga puluh tahun lalu. Ya, waktu aku masih seumuran kambing. Tadi sempat terpikir untuk melukiskan hidup yang begitu-begitu saja dalam tahun-tahun yang amat panjang.
Antara awal 1996 sampai 2008, misalnya. Dua belas tahun yang sangat panjang, yang ketika dijalani dari hari ke hari berjalan dari rumah Pak Rinan di atas tebing tepian Ciliwung ke arah gang realita, menyeberang rel sampai ke halte UI, tentunya harus naik bis kuning sampai kampus. Semester dua yang penuh semangat di awal 1997, semester tiganya bubar jalan di musim kemarau panjang akibat el nino kali pertama. Sempat 'nyangkut di mana entah yang ada David Sibuea, namun tentu tidak lama. Berarti kapankah itu mulai di rumah Pak Rinan, bisa jadi di musim kemarau 1997 itu juga, aku tidak ingat pasti. Masih kualami debu beterbangan di jalan yang baru kutahu namanya Lenteng Agung Timur.
Ya, kurasa semester empat itulah, di ruang antara ruang tidur dan dapur. Hanya suatu kenangan di antara suvenir-suvenir. Rak buku kecil kebanggaanku, dari dulu gawaiku tidak pernah banyak. Itu-itu saja. Ketika hujan mulai mengguyur di akhir 1997 itu, di tengah-tengah krisis moneter, aku makan sekoteng. Ada juga tukang sate gerobak yang masih meneriakkan dagangannya. Pernah juga, seingatku, sore-sore tidur-tidur ayam, lamat-lamat terdengar 99.5 Delta FM the best oldies station in town, terdengar tukang siomay pikul lewat. Bagaimana bunyinya, ya. Siomay pikul murahan yang selalu kukenang nikmat-nikmat sedapnya.
Ini melemparkanku kira-kira sepuluh tahun ke depan, atau kurang dari itu sedikit, di tangga antara gedung C dan E, ada juga tukang siomay pikul yang sedap. Hari-hariku di kost Babe Tafran entah di kamar yang mana. Deretan selatan paling barat, adakah aku yang mengecatnya biru muda setelah melubangi dinding sebelah baratnya. Itu pasti setelah gudangnya dirubuhkan. Di luar boleh panas, namun di dalam kamar tetap sejuk. Apalagi di tengah-tengah musim penghujan. Bilakah itu, awal 2008. Membaca skrip Ca Bau Kan, Iblis dan Nona Prym, Reader's Digest yang ada keroncong tugunya, berbagai NatGeo lama, lima belas tahun lalu.
No comments:
Post a Comment