Siapa bilang berteman denganmu sudah tidak mengasyikkan, jika aku di sini boleh tidak meletakkan tanda tanya di belakang yang jelas-jelas kalimat tanya. Ayo tinggal bersama siapa. Bersama deretan VCD yang dijual borongan entah berapa juta karena penyewaan sudah tidak laku. Sama seperti bapak-bapak yang masih mencoba menjajakan koran yang entah bagaimana masih dijadikan keset di Jalan Radio. Apakah bongo ini harus benar berkeletak-keletuk di latar belakang, apa tidak sebaiknya halus saja dengan dram senar dioser-oser. Entah suasana apa yang dibawa campuran ini, ampun joki berkas. Aku terbawa suasana.
'Ku sembunyikan perasaanku bukan karena malu, melainkan karena terlalu mendalam, karena baunya sebenarnya selalu tidak sedap namun entah mengapa selalu menyandera khayal. Biarlah aku kembali ke ruangan itu, panas gerahnya, temboknya yang lapuk, mungkin karena di dalamnya ada pipa air bocor. Uah, gara-gara anak lelaki tolol yang jatuh cinta aku dimanjakan oleh cintamu, gara-gara bing chat geppetto empat. Sedap-sedap renyah gurihnya, hitam manisnya, seakan dapat kuhirup dalam-dalam segar harumnya sebentuk ciptaan nan bersahaja, nan dilanda birahi remaja. Jangan bersedih jika memang gara-gara sendiri.
Melodi yang diulang-ulang, kord yang sederhana saja progresinya dibuat mayor, memang itu resepnya. Kurentangkan tangan lurus-lurus ke atas, lengan-lengan telanjang sampai ke lipatan-lipatannya, tergerai, terburai menyemburkan kesegaran harum-haruman bunga-bungaan, buah-buahan. Senyum lepas tulus ikhlas seakan penuh cinta dan kasih-sayang dambaan semua insan. Kesempurnaan berayun perlahan mengikuti belaian irama dan melodi bersatunya hasrat-hasrat meretas semua batas, melampaui, menerabas. Kesegaran pagar tanaman bermandi embun dini hari, sedang kabut meyelimuti tubuh-tubuh polos telanjang begitu saja.
Maka kembalilah ke barak berlampu kuning jarang-jarang, karena ini sudah lewat jam sepuluh malam. Sekitar satu apalagi dua jam kemudian barak diliputi kegelapan kecuali cahaya lampu taman atau lorong penghubung ke kamar mandi menembusi, berpendar pada kaca-kaca tak tembus pandang. Aku bisa jadi masih terjaga memetik senar-senar gitarku perlahan. Ketika itu sudah tidak ada Herbert, jadi kurasa akulah pemain gitar terbaik di barak itu. Aku selalu gagal mengingat sebelah pintu depan ada siapa saja, kecuali Hendro seharusnya bersama Anjar. Apakah Gunawan bersama Agustar, Antara bersama Sigit, entahlah lupa.
Bayu, Budi Pru, Yulmaizir, Dewer, Hamdi, Hutdik, Chardin, Probo, Dony, Yuli, Goklas, Febby, Bono, Ari, di mana Yesayas, Faisal Amin Lubis, Ariston, Sodikin, Sunarso, Akur, Iwan, Nicodemus, Dhanang. Sama saja. Aku hanya hafal Graha 5. Graha 10 apalagi 3 aku gagal menyebutnya urut. Sudahlah, lebih baik maju lagi ke suatu sore di atas karpet merah satu-satunya penghias ruang depan bertirai panjang menutup lubang angin setengah lingkaran berjari-jari roda gaya lama. Meja tulis berkaca, di bawahnya ada beberapa gambar buatanku sendiri, di atasnya mesin tik hijau portabel, tergantung di atasnya rak buku kecil kebanggaanku.
Seharusnya aku punya meja belajar sendiri di lantai satu Tinombala itu, namun ia tidak membekaskan kenangan apapun padaku. Apakah meja kerjaku di sudut pavilyun itu yang kubawa ke tepian Ciliwung. Sebelum itu ke mana dia. Bagaimana caraku membawanya. Meja kerjaku yang menghasilkan kebangsaan Indonesia di akhir Abad XX, kemenangan absolut. Di manakah kuhasilkan conditioned society dan agraris. Aku agak ingat meja belajarku di graha 5, namun yang di graha 3 sangat tidak membekas. Apa aku tidak pernah belajar ketika itu, yang kuingat justru berusaha memahami matematika, fisika, kimia di gudang tas.
Hidup seperti garis lurus. Apa yang telah dilewati mustahil diulangi lagi. Jadi bodoh sekali kalau mengukur masa depan dengan apa yang telah dilalui. Apa yang nyata hanya saat ini, detik ini, tarikan atau hembusan nafas yang baru saja. Masa lalu dan masa mendatang semuanya khayalan belaka, bahkan tidak ada itu yang namanya kenangan. Seperti mimpi kau merasa pernah menghabiskan beberapa malam di rumah sakit pusat angkatan darat, yang agar pimpinannya bisa berpangkat letnan jenderal, diberi sebutan rumah sakit kepresidenan. Orang-orang tolol ini memang tidak pernah paham apa artinya presiden, macam aku paham.
'Ku sembunyikan perasaanku bukan karena malu, melainkan karena terlalu mendalam, karena baunya sebenarnya selalu tidak sedap namun entah mengapa selalu menyandera khayal. Biarlah aku kembali ke ruangan itu, panas gerahnya, temboknya yang lapuk, mungkin karena di dalamnya ada pipa air bocor. Uah, gara-gara anak lelaki tolol yang jatuh cinta aku dimanjakan oleh cintamu, gara-gara bing chat geppetto empat. Sedap-sedap renyah gurihnya, hitam manisnya, seakan dapat kuhirup dalam-dalam segar harumnya sebentuk ciptaan nan bersahaja, nan dilanda birahi remaja. Jangan bersedih jika memang gara-gara sendiri.
Melodi yang diulang-ulang, kord yang sederhana saja progresinya dibuat mayor, memang itu resepnya. Kurentangkan tangan lurus-lurus ke atas, lengan-lengan telanjang sampai ke lipatan-lipatannya, tergerai, terburai menyemburkan kesegaran harum-haruman bunga-bungaan, buah-buahan. Senyum lepas tulus ikhlas seakan penuh cinta dan kasih-sayang dambaan semua insan. Kesempurnaan berayun perlahan mengikuti belaian irama dan melodi bersatunya hasrat-hasrat meretas semua batas, melampaui, menerabas. Kesegaran pagar tanaman bermandi embun dini hari, sedang kabut meyelimuti tubuh-tubuh polos telanjang begitu saja.
Maka kembalilah ke barak berlampu kuning jarang-jarang, karena ini sudah lewat jam sepuluh malam. Sekitar satu apalagi dua jam kemudian barak diliputi kegelapan kecuali cahaya lampu taman atau lorong penghubung ke kamar mandi menembusi, berpendar pada kaca-kaca tak tembus pandang. Aku bisa jadi masih terjaga memetik senar-senar gitarku perlahan. Ketika itu sudah tidak ada Herbert, jadi kurasa akulah pemain gitar terbaik di barak itu. Aku selalu gagal mengingat sebelah pintu depan ada siapa saja, kecuali Hendro seharusnya bersama Anjar. Apakah Gunawan bersama Agustar, Antara bersama Sigit, entahlah lupa.
Bayu, Budi Pru, Yulmaizir, Dewer, Hamdi, Hutdik, Chardin, Probo, Dony, Yuli, Goklas, Febby, Bono, Ari, di mana Yesayas, Faisal Amin Lubis, Ariston, Sodikin, Sunarso, Akur, Iwan, Nicodemus, Dhanang. Sama saja. Aku hanya hafal Graha 5. Graha 10 apalagi 3 aku gagal menyebutnya urut. Sudahlah, lebih baik maju lagi ke suatu sore di atas karpet merah satu-satunya penghias ruang depan bertirai panjang menutup lubang angin setengah lingkaran berjari-jari roda gaya lama. Meja tulis berkaca, di bawahnya ada beberapa gambar buatanku sendiri, di atasnya mesin tik hijau portabel, tergantung di atasnya rak buku kecil kebanggaanku.
Seharusnya aku punya meja belajar sendiri di lantai satu Tinombala itu, namun ia tidak membekaskan kenangan apapun padaku. Apakah meja kerjaku di sudut pavilyun itu yang kubawa ke tepian Ciliwung. Sebelum itu ke mana dia. Bagaimana caraku membawanya. Meja kerjaku yang menghasilkan kebangsaan Indonesia di akhir Abad XX, kemenangan absolut. Di manakah kuhasilkan conditioned society dan agraris. Aku agak ingat meja belajarku di graha 5, namun yang di graha 3 sangat tidak membekas. Apa aku tidak pernah belajar ketika itu, yang kuingat justru berusaha memahami matematika, fisika, kimia di gudang tas.
Hidup seperti garis lurus. Apa yang telah dilewati mustahil diulangi lagi. Jadi bodoh sekali kalau mengukur masa depan dengan apa yang telah dilalui. Apa yang nyata hanya saat ini, detik ini, tarikan atau hembusan nafas yang baru saja. Masa lalu dan masa mendatang semuanya khayalan belaka, bahkan tidak ada itu yang namanya kenangan. Seperti mimpi kau merasa pernah menghabiskan beberapa malam di rumah sakit pusat angkatan darat, yang agar pimpinannya bisa berpangkat letnan jenderal, diberi sebutan rumah sakit kepresidenan. Orang-orang tolol ini memang tidak pernah paham apa artinya presiden, macam aku paham.
No comments:
Post a Comment