Apa yang kurasakan ketika seorang ibu jala dari dua orang taruna laut, satu pelaut satu marinir, merasa pusing dan kaku leher setelah memakan emping. Begitu saja aku belum dapat melupakan album cerita-cerita ternama yang dicetak dalam dua warna, senantiasa menghiburku dari kecilku. Kini setelah tua aku tetap hanya bisa membuat cerita-cerita seperti halnya dulu aku membuat cerita mengenai seekor zebra yang kesakitan gara-gara baru saja keluar ekornya. Dari mana idenya keluar ekor itu sakit, sedang pada saat itu aku tidak tahu bagaimana bayi sampai ada di muka bumi. Sampai lama aku tidak tahu apa penyebabnya.
Kita semua kesepian, kata Rita. Pernahkah aku mematung di depan San Wah sambil merasa kesepian. Aku hanya ingat ketika belum tinggal di dekatnya, aku justru membeli manisan sotong atau cumi kering, juga keripik ikan gurame bertabur micin. Aku masih ingat pada ketika itu membatin: Bass Beto pasti gila jika menemukan ini. Itu dari 15 tahun lalu. Kata Savit, jika lebih dari dua suku kata maka tuliskan lambang angkanya. Memang harus ada segala jenis orang untuk membuat dunia ini berputar dengan asyiknya. Aku kembali ke siang hari panas terik entah kapan, apakah sepulangku dari sekolah yang di seberang Blok M itu.
Bedanya dengan yang di puncak tangga lagu populer, versiku ini lebih ramai orkestrasinya, bahkan dengan saksofonnya sekali. Kini bahkan memohon ampun entah pada siapa, di teriknya siang hari bisa jadi naik angkot menuju Mal Depok ketika masih ada Abrakebabnya. Mengapa selalu kembali ke situ, sedang Suhu Yo selalu menyajikan senampan penuh sushi-sushian yang jauh lebih murah dari Albert Heijn. Sungguh asyik berayun-ayun menghentak-hentak, tak pernah tahu aku ada interlude begini. Namun sungguh asyik kembali ke masa kecil ketika kasih-sayang Bapak dan Ibu terasa bahkan dalam tiap deraan dan cubitan.
Aku menginginkanmu dengan cara yang benar, tetapi aku juga ingin kau menginginkanku. Permainan yang selalu berakhir dengan kengerian demi kengerian. Apa yang ada di depan sana adalah apa yang pernah kualami, bukan apa yang kubayangkan akan terjadi. Aku seperti seekor gorila betina, atau tepatnya orangutan ibu-ibu ketika duduk nglemburuk. Maka kembalilah aku di bawah panas terik ke kamarku nan biru di kost Babe Tafran. Sepanas terik apapun di luar, kamarku, seingatku, selalu terasa sejuk. Terlebih sebelahnya yang berubin kuning, lembab-lembab dingin, meski kamar mandinya aku lebih suka yang biru.
Jika aku masih bertahan di sini, semata karena menunggu Ahmad Sahroni. Semoga setelah ia datang nanti belum lagi turun hujan. Sungguh banyak yang harus kukerjakan, yang kutunda-tunda. Kurasa tidak begini cara Sopuyan bekerja. Ia pasti lebih efisien. Aku yang merasa seniman ini, ternyata karya-karyaku diludahi orang, dikentuti, dianggap sepi. Entah mengapa tiap-tiap merasa begini aku merasa seperti ingin melempar tali berpengait di ujungnya, menyangkut entah di mana, terus untuk apa. Tidak segitunya pula aku menyukai selusin yang jorok, meski mungkin itu pula yang akan kulakukan setelah ini, atau yang sejenis itu. Entahlah.
Perasaan ini selalu menghantui sejak aku puber, sejak aku seumur Adjie sekarang. Apakah pikirannya yang motor tok itu menyelamatkannya dari hantu-hantu yang selalu mengerubungiku. Delusi kebesaran atau entah apa namanya, seperti sebuah kitab yang secara acak kupilih, berjudul Joshua, yang ternyata fiksi penggemar. Ini lagi, dalam dekapan seorang malaikat. Malaikat koq orang. Lantas apa. Seekor, sesosok, sebentuk. Panas gerah di Mess Pemuda, tidak memberiku peluang atau aku saja yang tidak berani menciptakan peluang, atau memang sesuatu mencegahku. Berlalu begitu saja, sedang Ani minta dibelikan boneka pada Gus Dut.
Bahkan sekarang ini, setua ini, jika mengingat Barel aku merasa kesakitan. Lantas aku berkhayal mengenai doa Ibu di pusara Bung Karno, seakan itu merupakan kepahlawanan, padahal sekadar berusaha membuat senang hati Ibuku. Ini lagi kita lahir tanpa bau, kita burung pemakan bangkai yang ternyata kita semua goyah. Astaga betapa banyak waktu terbuang, seperti sekarang ini aku membuang-buang waktu. Adakah hal lain yang dapat kulakukan sekarang. Aku merasa kelelahan, kesakitan. Mengapa pula tidak kukirimkan saja hasil pindaian tanda-tanganku. Mengapa pula memaksanya ke Depok sedang mukanya sungguh tak sedap.
Kita semua kesepian, kata Rita. Pernahkah aku mematung di depan San Wah sambil merasa kesepian. Aku hanya ingat ketika belum tinggal di dekatnya, aku justru membeli manisan sotong atau cumi kering, juga keripik ikan gurame bertabur micin. Aku masih ingat pada ketika itu membatin: Bass Beto pasti gila jika menemukan ini. Itu dari 15 tahun lalu. Kata Savit, jika lebih dari dua suku kata maka tuliskan lambang angkanya. Memang harus ada segala jenis orang untuk membuat dunia ini berputar dengan asyiknya. Aku kembali ke siang hari panas terik entah kapan, apakah sepulangku dari sekolah yang di seberang Blok M itu.
Bedanya dengan yang di puncak tangga lagu populer, versiku ini lebih ramai orkestrasinya, bahkan dengan saksofonnya sekali. Kini bahkan memohon ampun entah pada siapa, di teriknya siang hari bisa jadi naik angkot menuju Mal Depok ketika masih ada Abrakebabnya. Mengapa selalu kembali ke situ, sedang Suhu Yo selalu menyajikan senampan penuh sushi-sushian yang jauh lebih murah dari Albert Heijn. Sungguh asyik berayun-ayun menghentak-hentak, tak pernah tahu aku ada interlude begini. Namun sungguh asyik kembali ke masa kecil ketika kasih-sayang Bapak dan Ibu terasa bahkan dalam tiap deraan dan cubitan.
Aku menginginkanmu dengan cara yang benar, tetapi aku juga ingin kau menginginkanku. Permainan yang selalu berakhir dengan kengerian demi kengerian. Apa yang ada di depan sana adalah apa yang pernah kualami, bukan apa yang kubayangkan akan terjadi. Aku seperti seekor gorila betina, atau tepatnya orangutan ibu-ibu ketika duduk nglemburuk. Maka kembalilah aku di bawah panas terik ke kamarku nan biru di kost Babe Tafran. Sepanas terik apapun di luar, kamarku, seingatku, selalu terasa sejuk. Terlebih sebelahnya yang berubin kuning, lembab-lembab dingin, meski kamar mandinya aku lebih suka yang biru.
Jika aku masih bertahan di sini, semata karena menunggu Ahmad Sahroni. Semoga setelah ia datang nanti belum lagi turun hujan. Sungguh banyak yang harus kukerjakan, yang kutunda-tunda. Kurasa tidak begini cara Sopuyan bekerja. Ia pasti lebih efisien. Aku yang merasa seniman ini, ternyata karya-karyaku diludahi orang, dikentuti, dianggap sepi. Entah mengapa tiap-tiap merasa begini aku merasa seperti ingin melempar tali berpengait di ujungnya, menyangkut entah di mana, terus untuk apa. Tidak segitunya pula aku menyukai selusin yang jorok, meski mungkin itu pula yang akan kulakukan setelah ini, atau yang sejenis itu. Entahlah.
Perasaan ini selalu menghantui sejak aku puber, sejak aku seumur Adjie sekarang. Apakah pikirannya yang motor tok itu menyelamatkannya dari hantu-hantu yang selalu mengerubungiku. Delusi kebesaran atau entah apa namanya, seperti sebuah kitab yang secara acak kupilih, berjudul Joshua, yang ternyata fiksi penggemar. Ini lagi, dalam dekapan seorang malaikat. Malaikat koq orang. Lantas apa. Seekor, sesosok, sebentuk. Panas gerah di Mess Pemuda, tidak memberiku peluang atau aku saja yang tidak berani menciptakan peluang, atau memang sesuatu mencegahku. Berlalu begitu saja, sedang Ani minta dibelikan boneka pada Gus Dut.
Bahkan sekarang ini, setua ini, jika mengingat Barel aku merasa kesakitan. Lantas aku berkhayal mengenai doa Ibu di pusara Bung Karno, seakan itu merupakan kepahlawanan, padahal sekadar berusaha membuat senang hati Ibuku. Ini lagi kita lahir tanpa bau, kita burung pemakan bangkai yang ternyata kita semua goyah. Astaga betapa banyak waktu terbuang, seperti sekarang ini aku membuang-buang waktu. Adakah hal lain yang dapat kulakukan sekarang. Aku merasa kelelahan, kesakitan. Mengapa pula tidak kukirimkan saja hasil pindaian tanda-tanganku. Mengapa pula memaksanya ke Depok sedang mukanya sungguh tak sedap.
No comments:
Post a Comment