Masa tadi aku sempat terpikir untuk menulis secara koheren di sini. Sudah gila apa. Sehebat apapun sebuah kontrakan sederhana bercat putih, mungkin malah kalkarium, dengan ruang depan rapi berperabotan sederhana, tidak lantas membuat pikiranku runtut. Normalkah jika 'kubiarkan berdentam-dentam begini, sedang perut kembung entah mengapa. Aku masih ingat rasa nyaman berjalan di radio empat, karena itu masih dekat rumah atau sudah dekat rumah. Aku masih ingat rasa kemerahan jambu dan apalah itu yang tiada pernah benar-benar kucicipi. Malah berbagai kotoran kuku kaki kucongkel-congkel kukunyah-kunyah.
Aku masih ingat beruang merah anakan di bawah tebing. Aku juga ingat mentor Didit menyukainya di belakang panggung Sembilangan. Potongan-potongan ingatan itu tidak pernah membawaku ke mana-mana. Sampai hari ini pun aku masih merasa harus berjuang, harus terus menghadapi pahitnya kehidupan. Belum saatnya bagiku mencecap sedap-manisnya apapun kecuali kepingan-kepingan ingatan akan khayalan yang tidak pernah menjadi nyata. Betapa lancar aku menuliskannya ketika bahkan aku dibekasi Taurat atau siapapun. Hidupku tak pernah lepas dari penderitaan, kalau masih disiksa pula di kubur dan neraka. Ampun.
Kini, setua ini, aku masih harus maju menerjang, meski jangan sampai meradang. Kemudaan sudah lama kutinggalkan dan tidak pernah kuberi kesempatan meninggalkanku; karena aku memang tidak pernah muda. Aku selalu tua entah dari kapanpun, bahkan ketika aku berputar-putar di ubin kuning menirukan piringan hitam membunyikan Hawaii Five-O. Bahkan ketika jariku terjepit tempat tidur lipat tempatku menikmati susu formula dalam botol dot. Bahkan semenjak aku seumur Sodjo sekarang, aku selalu tua. Aku terlahir berpikir, merasakan perihnya rintihan manusia di seluruh dunia. Aku berkacak pinggang menantang dunia.
Kau tolol tapi masuk akal, John. Kukira kita akan menua bersama menyaksikan betapa Tuhan memaafkan ketololan kita. Namun sekarang, aku dirundung ketakutan berakhir tolol sepertimu, apalagi sampai berawal nista. Begitu memang permainan ini, hanya akhirnya itu yang pasti. Awalnya, pertengahannya, menjalaninya, apakah dengan tempura ubi semua atau pangan kentir atau wafuyaki yang selalu lupa isinya apa. Apa yang biasa kau makan dulu, John. Terakhir kita tidak berteman seakrab dulu. Kau lebih mengakrabi kumpulanmu para banpol PP. Aku pura-pura jadi Satpol PP tanpa berpura-pura jadi Densus 88.
Uah, kembali bersama Aris Mujiyanto dan Rooseno Adi atau Mully. Lain-lainnya aku tidak ingat, kecuali rasa itu. Rasa sayu sendu yang tidak sepenuhnya kusadari. Mana kutahu ketika itu ternyata aku bermental tempe. Bahkan ketika sudah di Magelang pun aku tidak menyadarinya. Aku memang kebanyakan berkhayal bahkan sampai sekarang. Aku makan enak saja berkhayal mengenai permainan sepak bola atau aba-aba baris-berbaris. Dapatkah aku menekuninya kembali ketika iklim sudah berubah dan dunia memanas begini rupa. Debu-debu beterbangan di pengkolan menuju rumah di atas tebing tepian Ciliwung. Aku menyendiri.
Bergubal berbalau potongan dan serpihan ingatan dan kenangan tentu selalu dari masa lampau yang telah lalu, seperti angin malam meniup di sela-sela pohon kelapa, di sekitar hanggar Mandala. Ketika itu bulan baru terbit, sebesar tampah, merah seperti jeruk matang di atas hanggar Mandala. Bau rawa campur oli bekas pesawat terbang. Adakah bahaya mengintai di dalam air hitam itu. Beranikah aku ketika sudah menjelang dewasa masuk ke dalamnya, mencobai kedalamannya. Bahkan nuansa sebaya sari bintang pelita layanan udara, aku menulis seakan terpenjara. Kelezatannya, gurih-gurih aromanya, mengapa justru aku berkubang.
Aku masih ingat beruang merah anakan di bawah tebing. Aku juga ingat mentor Didit menyukainya di belakang panggung Sembilangan. Potongan-potongan ingatan itu tidak pernah membawaku ke mana-mana. Sampai hari ini pun aku masih merasa harus berjuang, harus terus menghadapi pahitnya kehidupan. Belum saatnya bagiku mencecap sedap-manisnya apapun kecuali kepingan-kepingan ingatan akan khayalan yang tidak pernah menjadi nyata. Betapa lancar aku menuliskannya ketika bahkan aku dibekasi Taurat atau siapapun. Hidupku tak pernah lepas dari penderitaan, kalau masih disiksa pula di kubur dan neraka. Ampun.
Kini, setua ini, aku masih harus maju menerjang, meski jangan sampai meradang. Kemudaan sudah lama kutinggalkan dan tidak pernah kuberi kesempatan meninggalkanku; karena aku memang tidak pernah muda. Aku selalu tua entah dari kapanpun, bahkan ketika aku berputar-putar di ubin kuning menirukan piringan hitam membunyikan Hawaii Five-O. Bahkan ketika jariku terjepit tempat tidur lipat tempatku menikmati susu formula dalam botol dot. Bahkan semenjak aku seumur Sodjo sekarang, aku selalu tua. Aku terlahir berpikir, merasakan perihnya rintihan manusia di seluruh dunia. Aku berkacak pinggang menantang dunia.
Kau tolol tapi masuk akal, John. Kukira kita akan menua bersama menyaksikan betapa Tuhan memaafkan ketololan kita. Namun sekarang, aku dirundung ketakutan berakhir tolol sepertimu, apalagi sampai berawal nista. Begitu memang permainan ini, hanya akhirnya itu yang pasti. Awalnya, pertengahannya, menjalaninya, apakah dengan tempura ubi semua atau pangan kentir atau wafuyaki yang selalu lupa isinya apa. Apa yang biasa kau makan dulu, John. Terakhir kita tidak berteman seakrab dulu. Kau lebih mengakrabi kumpulanmu para banpol PP. Aku pura-pura jadi Satpol PP tanpa berpura-pura jadi Densus 88.
Uah, kembali bersama Aris Mujiyanto dan Rooseno Adi atau Mully. Lain-lainnya aku tidak ingat, kecuali rasa itu. Rasa sayu sendu yang tidak sepenuhnya kusadari. Mana kutahu ketika itu ternyata aku bermental tempe. Bahkan ketika sudah di Magelang pun aku tidak menyadarinya. Aku memang kebanyakan berkhayal bahkan sampai sekarang. Aku makan enak saja berkhayal mengenai permainan sepak bola atau aba-aba baris-berbaris. Dapatkah aku menekuninya kembali ketika iklim sudah berubah dan dunia memanas begini rupa. Debu-debu beterbangan di pengkolan menuju rumah di atas tebing tepian Ciliwung. Aku menyendiri.
Bergubal berbalau potongan dan serpihan ingatan dan kenangan tentu selalu dari masa lampau yang telah lalu, seperti angin malam meniup di sela-sela pohon kelapa, di sekitar hanggar Mandala. Ketika itu bulan baru terbit, sebesar tampah, merah seperti jeruk matang di atas hanggar Mandala. Bau rawa campur oli bekas pesawat terbang. Adakah bahaya mengintai di dalam air hitam itu. Beranikah aku ketika sudah menjelang dewasa masuk ke dalamnya, mencobai kedalamannya. Bahkan nuansa sebaya sari bintang pelita layanan udara, aku menulis seakan terpenjara. Kelezatannya, gurih-gurih aromanya, mengapa justru aku berkubang.
Maka kusantap dengan lahap sepaket kebab sulap yang aku lupa apa saja isinya. Inilah aku di sini, selalu sendiri di malam-malam temaram. Sayang sekarang sudah tidak ada minyak tanah, atau kalaupun ada mahal harganya. Apakah masih ada yang menjual lampunya, lagipula untuk apa. Jangan-jangan kebun coklat sudah dibelah jalan tol, jika bukan menjadi jalan tolnya itu sendiri. Bisa jadi golok sudah berkarat bersama dengan hajinya sekalian yang sudah dikubur entah sejak kapan. Dunia begitu saja. Tidak ada yang perlu disesali, hanya untuk dijalani. Bersiaplah untuk kehidupan yang sejati, yang sebenarnya. Ini semua cuma mimpi terindah.
No comments:
Post a Comment