Ini malah maju sekitar tiga tahunan, mungkin setelah teman-temanku AAL XLIII menyelesaikan pendidikan perwira siswanya atau sekitar itu. Adakah aku di ruang kecil yang peruntukan aslinya mungkin dapur, karena ada jendela seperti loket yang menghubungkan dengan separuh yang mungkin seharusnya ruang makan. Namun di sekitar akhir 1998 itu, ruang itu menjadi ruang menonton televisi. Adakah aku sambil merokok atau makan mie telor dengan onderdil lengkap, ketika itu gunaku masih sedikit sekali jika bukan sama sekali tidak ada. Kaudapat apa yang kauberi.
Kalau yang satu ini selalu membuatku merasa sangat baru setiap saat, sepanjang hidupku hingga kini. Ia bisa di mana saja. Seperti malam ini, aku menginginkannya di McD Blok M Plaza. Belum terlalu malam, entah dari mana aku. Lurus dari pintu utama Blok M Mall, menyusuri Jl. Sultan Hasanuddin Dalam, menyeberang ke Blok M Plaza. Masuk untuk mendinginkan badan sambil lewat, membeli es krim contong Rp. 500, untuk lanjut berjalan kaki melalui Jl. Sampit II, belok kiri ke Jl. Sampit I untuk belok kanan ke Jl. Melawai Raya. Setelah bunderan lanjut lurus ke Jl. Gandaria Tengah III, untuk kemudian belok kiri ke Jl. Radio IV. Sampai mentok belok kanan ke Jl. Kramat Pela, langsung belok kiri ke Jl. Radio Dalam; setelah itu bisa lewat Deperdag II atau langsung saja Yado I.
Di titik ini, aku berada di ruang hidup E9. Entah apa yang kulakukan pagi-pagi di depan televisi. Di saluran apa dulu aku menonton suara, ketika itulah aku diajak tinggal bersama. Itu bahkan belum masuk 2013, bahkan belum musim penghujannya. Lalu kapan aku menggelosor di sampahan selurusan rektorat dengan VarioSty, sedang anak-anak kecil memperingatkanku. Betapa tak berdayanya kenangan-kenangan akan masa lalu. Ke mana perginya bapak dan ibu tua yang tinggal di warung gubugnya bersama beberapa ekor kucing, menjual nasi uduk sederhana.
Ini, kalau pun kenangan, belum lama. Ini gara-gara Bing, aku berkenalan dengannya, dimanjakan oleh cintanya. Jam sepuluh pagi berdua saja di ruang HAN bersama Fajar Ricky Setiawan, entah berapa kali yang seperti ini terjadi, seperti berdua saja bersama Pak Sukmono dulu. Betapa ketika menjalani hari-hari di Amsterdam atau Amstelveen aku mengenang-ngenang hari-hari seperti ini. Memang seperti ini saja hidup di dunia. Syukurlah jika masih ada cinta, semoga ada cinta bagi semua. Hanya cinta yang sanggup menghangatkan dan menyejukkan, menyamankan suasana.
Cinta bukan gairah yang menjompak-jompak, menggelinjang tergial-gial. Bukan, cinta berdegup perlahan, mendengkur santai, melemaskan dinding-dinding pembuluh darah, membuat otot-otot jantung rileks seperti sedang beryoga, yakni, yoganya alam semesta. Bukan di sini tempat memuji, menyucikan, mengagungkan, meski bolehlah yang esoteris menjelma menjadi eksoteris, yang eksoteris lesap merembes ke dalam esoteris. Bolehlah di sini karena di mana lagi tiada tanda tanya apatah seru. Selalu hijau tak pernah kanak-kanak jua tak kunjung menua.
Sebungkus nasi kuning merdeka, bukan itu yang terlalu memeras sari derita dari seseorang yang biasa dicintai. Mengerikan sekali, maka aku segera berlalu, sedang ia berpesan "tinggalkan lampu menyala untukku." Masalahnya lampu apa yang akan menandakan bahwa kau ada di rumah menungguku, lampu neon, bohlam, pelita berbahan bakar minyak masak atau kerosen, atau LED sekalian. Apapun itu, yang terpenting adalah sebotol teh Hi-C, sekotak susu ultra dingin rasa stroberi atau coklat, yang kugunting kujadikan tempat sabun pertamaku di Barepan, dan coklat top.
Selanjutnya, agak tiga bulan setelahnya langsung berlari 10 km di pagi hari. Seberapa melelahkan aku tak ingat, hanya yang selalu terkenang, teh hangat manis jambu dan biskuit TB-1 banyak-banyak. Setelahnya pulang ke Graha 10, seingatku mendung seharian dari pagi hingga entah mungkin petang hari. Apakah ketika itu menulis surat atau mencuci baju atau kelelahan untuk melakukan semua itu, sekarang saja aku mengantuk karena semalam tidur hanya sekitar lima jam, mulai jam setengah tiga sampai setengah delapan atau sekitar itu: Sabtu di taman Kyai Langgeng.
Kalau yang satu ini selalu membuatku merasa sangat baru setiap saat, sepanjang hidupku hingga kini. Ia bisa di mana saja. Seperti malam ini, aku menginginkannya di McD Blok M Plaza. Belum terlalu malam, entah dari mana aku. Lurus dari pintu utama Blok M Mall, menyusuri Jl. Sultan Hasanuddin Dalam, menyeberang ke Blok M Plaza. Masuk untuk mendinginkan badan sambil lewat, membeli es krim contong Rp. 500, untuk lanjut berjalan kaki melalui Jl. Sampit II, belok kiri ke Jl. Sampit I untuk belok kanan ke Jl. Melawai Raya. Setelah bunderan lanjut lurus ke Jl. Gandaria Tengah III, untuk kemudian belok kiri ke Jl. Radio IV. Sampai mentok belok kanan ke Jl. Kramat Pela, langsung belok kiri ke Jl. Radio Dalam; setelah itu bisa lewat Deperdag II atau langsung saja Yado I.
Di titik ini, aku berada di ruang hidup E9. Entah apa yang kulakukan pagi-pagi di depan televisi. Di saluran apa dulu aku menonton suara, ketika itulah aku diajak tinggal bersama. Itu bahkan belum masuk 2013, bahkan belum musim penghujannya. Lalu kapan aku menggelosor di sampahan selurusan rektorat dengan VarioSty, sedang anak-anak kecil memperingatkanku. Betapa tak berdayanya kenangan-kenangan akan masa lalu. Ke mana perginya bapak dan ibu tua yang tinggal di warung gubugnya bersama beberapa ekor kucing, menjual nasi uduk sederhana.
Ini, kalau pun kenangan, belum lama. Ini gara-gara Bing, aku berkenalan dengannya, dimanjakan oleh cintanya. Jam sepuluh pagi berdua saja di ruang HAN bersama Fajar Ricky Setiawan, entah berapa kali yang seperti ini terjadi, seperti berdua saja bersama Pak Sukmono dulu. Betapa ketika menjalani hari-hari di Amsterdam atau Amstelveen aku mengenang-ngenang hari-hari seperti ini. Memang seperti ini saja hidup di dunia. Syukurlah jika masih ada cinta, semoga ada cinta bagi semua. Hanya cinta yang sanggup menghangatkan dan menyejukkan, menyamankan suasana.
Cinta bukan gairah yang menjompak-jompak, menggelinjang tergial-gial. Bukan, cinta berdegup perlahan, mendengkur santai, melemaskan dinding-dinding pembuluh darah, membuat otot-otot jantung rileks seperti sedang beryoga, yakni, yoganya alam semesta. Bukan di sini tempat memuji, menyucikan, mengagungkan, meski bolehlah yang esoteris menjelma menjadi eksoteris, yang eksoteris lesap merembes ke dalam esoteris. Bolehlah di sini karena di mana lagi tiada tanda tanya apatah seru. Selalu hijau tak pernah kanak-kanak jua tak kunjung menua.
Sebungkus nasi kuning merdeka, bukan itu yang terlalu memeras sari derita dari seseorang yang biasa dicintai. Mengerikan sekali, maka aku segera berlalu, sedang ia berpesan "tinggalkan lampu menyala untukku." Masalahnya lampu apa yang akan menandakan bahwa kau ada di rumah menungguku, lampu neon, bohlam, pelita berbahan bakar minyak masak atau kerosen, atau LED sekalian. Apapun itu, yang terpenting adalah sebotol teh Hi-C, sekotak susu ultra dingin rasa stroberi atau coklat, yang kugunting kujadikan tempat sabun pertamaku di Barepan, dan coklat top.
Selanjutnya, agak tiga bulan setelahnya langsung berlari 10 km di pagi hari. Seberapa melelahkan aku tak ingat, hanya yang selalu terkenang, teh hangat manis jambu dan biskuit TB-1 banyak-banyak. Setelahnya pulang ke Graha 10, seingatku mendung seharian dari pagi hingga entah mungkin petang hari. Apakah ketika itu menulis surat atau mencuci baju atau kelelahan untuk melakukan semua itu, sekarang saja aku mengantuk karena semalam tidur hanya sekitar lima jam, mulai jam setengah tiga sampai setengah delapan atau sekitar itu: Sabtu di taman Kyai Langgeng.