Sudah lama bahkan mengetiki saja aku malas, apalagi menyentuh benda itu. Aku bahkan tidak tahu lagi untuk apa sebenarnya aku bersamamu. Jika sedang apa maka aku bersamamu, terlebih ketika tidak ada minuman hangat bersamaku sedang udara lebih dari sekadar sejuk. Apa aku harus pergi ke warung kopinya Rapin dan membeli entah sekadar apa. Mungkin harus kulakukan mengendap-endap, karena meski kuliah 2 sks pun seharusnya sekarang belum selesai. Ah, kucoba saja, sekarang juga. Sudah. Aku memang sedang malas menulis, padahal aku sangat ingin menulis.
Cintaku memang selalu pada dan untuk Cantik, tidak bisa lain, meski aku baru saja minum coklat yang tidak hangat apalagi panas. Kukorek-korek lubang-lubang hidungku sambil melamun membayangkan kemarin-kemarin, ketika bis kuning digantikan oleh kontainer hijau dan anak-anak perempuan atau lelaki tidak henti-hentinya berfoto di pelataran. Jika aku mau pulang sekarang juga sebenarnya bisa saja, namun aku sudah berjanji untuk mengisi kelas hukum administrasi negara sore nanti. Aku mengetiki seakan mengetuk-ngetuk tuts-tuts piano dengan penuh perasaan padamu.
Sepagian ini aku sudah mengasup cairan hampir satu setengah liter masih kurang satu gelas ukuran sedang. Kini bahkan sudah pagi lagi dan baru sekitar 600-an ml air sejuk kuminum. Aku masih menyanding sekitar 400-an ml air hangat di ruangan Mas Santo yang mubazir besarnya ini sambil ditemani Penelope. Ada padaku kekhawatiran, namun tepatnya beberapa sekaligus, dan itu sungguh tidak baik. Rapin ditemani anak istrinya berjalan pagi di sekeliling kampus, dan Penelope pagi ini terdengar lebih modern dan ramai. Tidak seperti biasanya, lamat-lamat.
Memang mengenang ditemani Paul Mauriat lebih sedap daripada versi manapun, kemajuan teknologi digital dan multimedia yang bagaimanapun. Maka pemutar musik, setidaknya bagiku, akan terus relevan. Sudah November di sini. Belahan bumi utara tentu sudah mulai terasa dingin. Bahkan di kampungnya Xiaodong sudah minus satu. Kurasa cinta dapat membuat orang menahankan apapun, dan aku bahkan tidak berada dalam keadaan sanggup berfilsafat atau sekadar berpikir sekalipun. Stasiun kerjaku ini memang tidak tepat posisinya, di tengah keramaian.
Aku sebenarnya sekadar ingin menikmati teh halua, malah berusaha menyelesaikan entri yang entah sudah kumulai sejak kapan. Ini bukan waktu-waktu untuk dicatat. Ini waktu-waktu sekadar untuk ditahankan. Teh halua panas ini sudah pasti akan memeras keringatku. Apakah aku harus melepaskan kaus dalam angsaku ini, kurasa tepat itu yang akan kulakukan. Makan siang roti lapis tuna mayones dengan banyak sayur-sayuran seharga EUR 2,38 membuatku bertekad untuk tidak sering-sering melakukannya, lebih baik mie ayam hijau jamur, lebih baik lagi capcay.
Haruskah kukatakan betapa sulitnya menyelesaikan entri yang satu ini. Beginilah jika kau tidak sedang benar-benar ingin mengetiki, sekadar tidak tahu lagi harus bagaimana. Dalam keadaan seperti ini aku bahkan terpasung, tak terlempar-lempar dalam lompatan-lompatan kuantum. Bisa jadi aku pulang pesiar sekitar waktu ashar sambil menenteng kantung kresek penuh berisi belanjaan, biasanya mie instan dan susu kedelai bubuk. Lantas bagaimana kuhabiskan waktu sampai menjelang sore dan harus mandi dan bersiap-siap makan malam lalu belajar malam di perpus.
Aku pasti tidak sendirian ketika itu. Banyak yang sepertiku fokus pada masa depan. Tidak ada waktu untuk cinta-cintaan. Inilah yang kudapati pada masa depanku, dan aku merasa lebih baik daripada ketika itu. Aku kini ada yang mencintai, meski selimut peony itu selalu setia menemani. Kehangatan yang pernah diberikannya padaku, pada kami semua tak mudah terlupakan. Kami bertukar bau, sampai peonu berbauku namun aku tak berbau peony. Adakah ketika itu kasurku tidak berselimut, yang jelas udara Magelang selalu dingin ketika itu, terlebih ketika malam hari.
Adegan pertempuran antara Bukbis a.k.a Pratalamaryam vs. Anoman (Armando Yonas) |
Sepagian ini aku sudah mengasup cairan hampir satu setengah liter masih kurang satu gelas ukuran sedang. Kini bahkan sudah pagi lagi dan baru sekitar 600-an ml air sejuk kuminum. Aku masih menyanding sekitar 400-an ml air hangat di ruangan Mas Santo yang mubazir besarnya ini sambil ditemani Penelope. Ada padaku kekhawatiran, namun tepatnya beberapa sekaligus, dan itu sungguh tidak baik. Rapin ditemani anak istrinya berjalan pagi di sekeliling kampus, dan Penelope pagi ini terdengar lebih modern dan ramai. Tidak seperti biasanya, lamat-lamat.
Memang mengenang ditemani Paul Mauriat lebih sedap daripada versi manapun, kemajuan teknologi digital dan multimedia yang bagaimanapun. Maka pemutar musik, setidaknya bagiku, akan terus relevan. Sudah November di sini. Belahan bumi utara tentu sudah mulai terasa dingin. Bahkan di kampungnya Xiaodong sudah minus satu. Kurasa cinta dapat membuat orang menahankan apapun, dan aku bahkan tidak berada dalam keadaan sanggup berfilsafat atau sekadar berpikir sekalipun. Stasiun kerjaku ini memang tidak tepat posisinya, di tengah keramaian.
Aku sebenarnya sekadar ingin menikmati teh halua, malah berusaha menyelesaikan entri yang entah sudah kumulai sejak kapan. Ini bukan waktu-waktu untuk dicatat. Ini waktu-waktu sekadar untuk ditahankan. Teh halua panas ini sudah pasti akan memeras keringatku. Apakah aku harus melepaskan kaus dalam angsaku ini, kurasa tepat itu yang akan kulakukan. Makan siang roti lapis tuna mayones dengan banyak sayur-sayuran seharga EUR 2,38 membuatku bertekad untuk tidak sering-sering melakukannya, lebih baik mie ayam hijau jamur, lebih baik lagi capcay.
Haruskah kukatakan betapa sulitnya menyelesaikan entri yang satu ini. Beginilah jika kau tidak sedang benar-benar ingin mengetiki, sekadar tidak tahu lagi harus bagaimana. Dalam keadaan seperti ini aku bahkan terpasung, tak terlempar-lempar dalam lompatan-lompatan kuantum. Bisa jadi aku pulang pesiar sekitar waktu ashar sambil menenteng kantung kresek penuh berisi belanjaan, biasanya mie instan dan susu kedelai bubuk. Lantas bagaimana kuhabiskan waktu sampai menjelang sore dan harus mandi dan bersiap-siap makan malam lalu belajar malam di perpus.
Aku pasti tidak sendirian ketika itu. Banyak yang sepertiku fokus pada masa depan. Tidak ada waktu untuk cinta-cintaan. Inilah yang kudapati pada masa depanku, dan aku merasa lebih baik daripada ketika itu. Aku kini ada yang mencintai, meski selimut peony itu selalu setia menemani. Kehangatan yang pernah diberikannya padaku, pada kami semua tak mudah terlupakan. Kami bertukar bau, sampai peonu berbauku namun aku tak berbau peony. Adakah ketika itu kasurku tidak berselimut, yang jelas udara Magelang selalu dingin ketika itu, terlebih ketika malam hari.
No comments:
Post a Comment