Inti suara A20i ini memang sedap. Terutama ketika stereo nirkabel sejati--setelah menunggu sekitar dua tahunan--menjadi hanya EUR 12,4 sahaja. Sudah langsung menyumpal kuping, sedap pula. Lantas mengapa putus itu sulit membawa kesakitan pada kemaluan yang tak kunjung sirna. Hanya kejelasan bunyi-bunyian yang dibawa Inti suara membuatnya tertahankan. Selebihnya, seperti putri mikum, jika kau biarkan hidup, kau biarkan makan, maka besar dia, beranak-pinak dia. Tendangan bass serasa detak-detaknya nyaman. Di paragraf ini harus berhenti. Masuk dhuhur.
Apa benar yang membuatmu malas mengerjakan apapun. Tentu karena harus mengerjakan suruhan orang, bukan kemauanmu sendiri. Mendungnya cuaca seperti cermin bagi suasana hatiku, meski ini sekadar ragaan bodoh. Nah, ini malah cocok. Bajingan nekat. Apa yang menahanku darinya kecuali cinta. Setua ini aku sudah tidak berani jauh-jauh dari cinta sebagai pengingatku akan Cinta. Cinta tentu saja bukan syahwat. Dari waktu ke waktu cinta pada Cinta akan membuncah, seperti air muncrat dari pancuran bambu sungguhan; bukan sambung ke selang.
Aku menunggang, mengendali tungganganku, melintasi langit malam. Tengkorak kepalaku berkobar-kobar seperti halnya tungganganku. Bisa jadi aku tertawa terbahak-bahak dengan tawaku yang biasa, dibuat-buat dan menjengkelkan; karena kalau aku sungguh-sungguh tertawa, bunyinya mengikik tertahan. Bayangan-bayangan ini memang telah menemaniku sedari kecil, ketika aku dan lapangan udara hanya dipisahkan sebaris tembok yang tiada seberapa tinggi. Tinggiku memang hanya 171 cm, bahkan mungkin tak setinggi Bapakku yang sampai 173 cm.
Untunglah jiwaku dibuai-buai oleh senandung pecinta-pecinta muda, meski ketika muda aku tidak pernah bercinta. 'Ku susuri jalan-jalan ibukota ketika malam sudah sedemikian renta, bahkan sudah merekah bertunas dini hari yang baru. Ketika itu pun aku bukan bajingan. Aku hanya lelaki muda yang kebanyakan berpikir. Maka kembalilah lagi padaku malam-malam berteman pengolah kata pelopor, menumpahkan benar-benar segala yang menggelegak menggangu ketenangan jiwa. Aku belum pernah berhenti begitu. Menulis adalah akibat jiwa yang bergolak.
Hanya petikan jemari Pakde Bruce Welch pada Fender Stratocasternya sajalah yang menenangkan gejolak jiwaku, membuatnya mengalun-alun seperti ombak di pantai senda gurauan. Terlebih ketika isi buku saku menghancurkan hatiku tanpa pernah 'ku tahu dan sadari ketika itu terjadi. Hanya beberapa saat kemudian terasa betapa pilu dan nelangsa seorang lelaki muda, menyusuri kelamnya relung-relung malam, disiksa oleh pikiran-pikirannya sendiri. Hai, lelaki-lelaki muda, jangan kau sia-siakan kemudaanmu. Lupakan pikiran-pikiran tolol. Jadi lumrah, jadilah biasa.
Tiada tersisa padaku dari kemudaan kecuali kedunguan dan kepongahan. Kini, setua ini, tiada seorang pun 'kan menyayangi. Akankah 'ku terus-teruskan merampak-berondongkan tuts-tuts pada mesin tik portabel berwarna hijau. Apakah karena 'ku hantamkan jari-jariku dengan segenap ledakan di tiap-tiap pembuluh dan urat nadiku, maka hasilnya sampai membekas ke sebalik kertas; ataukah karena mutu kertasnya kurang baik. Maka selalu saja 'ku salin, biasanya setidaknya dua. Satu untuk dikumpulkan, satu untuk disimpan sendiri sebagai arsip. Aslinya entah.
Aslinya bisa jadi disanding bersamaku ketika menikmati semangkuk sop buatan Mamanya Oscar dengan nasi. Masih saja di situ ketika 'ku nikmati mun tahu, angsiu tahu, dan entah apa lagi ketika Oscar masih menjadi boss sampai sekadar jongos. Masih juga di situ dengan sayur tahu kuning, telur bulat balado, dan entah apa tambahannya lagi; bisa jadi sayur kacang dengan tempe. Bahkan di malam hari ibunya Soleh menggoreng nasi atau kwetiau adalah waktu-waktu yang sekadar dijalani dari hari ke hari. Tidur di kamar Jenny yang selalu rapi, agak wangi selalu saja di siang bolong.
Apa benar yang membuatmu malas mengerjakan apapun. Tentu karena harus mengerjakan suruhan orang, bukan kemauanmu sendiri. Mendungnya cuaca seperti cermin bagi suasana hatiku, meski ini sekadar ragaan bodoh. Nah, ini malah cocok. Bajingan nekat. Apa yang menahanku darinya kecuali cinta. Setua ini aku sudah tidak berani jauh-jauh dari cinta sebagai pengingatku akan Cinta. Cinta tentu saja bukan syahwat. Dari waktu ke waktu cinta pada Cinta akan membuncah, seperti air muncrat dari pancuran bambu sungguhan; bukan sambung ke selang.
Aku menunggang, mengendali tungganganku, melintasi langit malam. Tengkorak kepalaku berkobar-kobar seperti halnya tungganganku. Bisa jadi aku tertawa terbahak-bahak dengan tawaku yang biasa, dibuat-buat dan menjengkelkan; karena kalau aku sungguh-sungguh tertawa, bunyinya mengikik tertahan. Bayangan-bayangan ini memang telah menemaniku sedari kecil, ketika aku dan lapangan udara hanya dipisahkan sebaris tembok yang tiada seberapa tinggi. Tinggiku memang hanya 171 cm, bahkan mungkin tak setinggi Bapakku yang sampai 173 cm.
Untunglah jiwaku dibuai-buai oleh senandung pecinta-pecinta muda, meski ketika muda aku tidak pernah bercinta. 'Ku susuri jalan-jalan ibukota ketika malam sudah sedemikian renta, bahkan sudah merekah bertunas dini hari yang baru. Ketika itu pun aku bukan bajingan. Aku hanya lelaki muda yang kebanyakan berpikir. Maka kembalilah lagi padaku malam-malam berteman pengolah kata pelopor, menumpahkan benar-benar segala yang menggelegak menggangu ketenangan jiwa. Aku belum pernah berhenti begitu. Menulis adalah akibat jiwa yang bergolak.
Hanya petikan jemari Pakde Bruce Welch pada Fender Stratocasternya sajalah yang menenangkan gejolak jiwaku, membuatnya mengalun-alun seperti ombak di pantai senda gurauan. Terlebih ketika isi buku saku menghancurkan hatiku tanpa pernah 'ku tahu dan sadari ketika itu terjadi. Hanya beberapa saat kemudian terasa betapa pilu dan nelangsa seorang lelaki muda, menyusuri kelamnya relung-relung malam, disiksa oleh pikiran-pikirannya sendiri. Hai, lelaki-lelaki muda, jangan kau sia-siakan kemudaanmu. Lupakan pikiran-pikiran tolol. Jadi lumrah, jadilah biasa.
Tiada tersisa padaku dari kemudaan kecuali kedunguan dan kepongahan. Kini, setua ini, tiada seorang pun 'kan menyayangi. Akankah 'ku terus-teruskan merampak-berondongkan tuts-tuts pada mesin tik portabel berwarna hijau. Apakah karena 'ku hantamkan jari-jariku dengan segenap ledakan di tiap-tiap pembuluh dan urat nadiku, maka hasilnya sampai membekas ke sebalik kertas; ataukah karena mutu kertasnya kurang baik. Maka selalu saja 'ku salin, biasanya setidaknya dua. Satu untuk dikumpulkan, satu untuk disimpan sendiri sebagai arsip. Aslinya entah.
Aslinya bisa jadi disanding bersamaku ketika menikmati semangkuk sop buatan Mamanya Oscar dengan nasi. Masih saja di situ ketika 'ku nikmati mun tahu, angsiu tahu, dan entah apa lagi ketika Oscar masih menjadi boss sampai sekadar jongos. Masih juga di situ dengan sayur tahu kuning, telur bulat balado, dan entah apa tambahannya lagi; bisa jadi sayur kacang dengan tempe. Bahkan di malam hari ibunya Soleh menggoreng nasi atau kwetiau adalah waktu-waktu yang sekadar dijalani dari hari ke hari. Tidur di kamar Jenny yang selalu rapi, agak wangi selalu saja di siang bolong.
'Tuk Mengenang Jenny, Lemonado, Santiago!
No comments:
Post a Comment