Menjelang tengah malam ini, aku tidak ingin berbicara mengenai taman firdaus atau kunci pembukanya. Aku hanya kangen pada goblokku kini. Begitulah aku menulis goblok dengan "k" bukan "g" agar dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Aku bahkan sampai harus memeriksa kamus bahasa Inggris dan Indonesia sekaligus untuk memastikan nama pekerjaanku, yaitu, teoretisi hukum. Uah, terdengar sedap jika ditulis begitu, terlebih jika ditingkahi oleh seluruh cintaku dalam irama latin lautan teduh. Ternyata tingkah hanya boleh satu di sini.
Ke mana kini 'ku 'kan mengembara, jauh atau dekat tidak menjadi masalah. Aku hanya harus merentang masa dan merampakkan ketak-ketik jari-jemari. Terlebih kenyataan bahwa aku tidak pernah bisa melupakan Simon van der Valk sampai detik ini, seakan mengaminkan doa-doa Ibuku mengenai Amsterdam. Sedihnya, aku ini tiada lebih dari sekadar pembual. Naga yang ekstrim, suka membesar-besarkan persoalan. Itulah juga mungkin penyebab ketertarikanku pada teori hukum. Kebanyakan gaya, meski memang benar aku didoakan Kakekku menjadi seorang pemikir.
Kesenduan ini entah mengapa membawaku ke Pelabuhan Mutiara. Entah apa yang kuminum-minum pada saat itu, bourbon, sherry, atau whisky. Namun itu sebenarnya Jalan Yado 2 sisi selatan. Ya, karena aslinya jalan itu dibelah oleh Blok E berpunggung-punggungan, tetapi memang nomornya tidak berurutan. Jika dimulai dari sudut tenggara, itulah E1. Sudut timur lautnya E2. Namun di sebelah barat E1, E3 dan E4 berurut-urutan. Selanjutnya, E6, 8, dan 10 di sisi selatan, sedangkan E5, 7, dan 9 di sebaliknya. Mungkin karena membingungkan, sisi utara mempertahankan nama Yado 2, sedangkan sisi selatan diberi nama baru menjadi Yado 5.
Lantas sebelah kanan K28 terdapat K27 rumah Oom Munthe, K26 rumah Oom Irsan, K25 rumah Pak Mustafa. Ke sebelah kiri rumah Pak Effendi, Pak Parmo, Pak Barjo, Pak Tono... sampai di sini aku tidak yakin urutannya, pokoknya ada Pak Ismail, Pak Sujud, Pak Kartono, dan Oom.. aduh lupa. Bapaknya Dito dan Todi pokoknya. Nomornya aku juga tidak yakin, karena seingatku rumah Oom Otje dan Tante Nelly nomor K33. Inilah Kompleks Angkasa Pura Kemayoran Gempol di Apron Timur, ilham utama dari goblok ini, tempat nan amat indah permai menyamankan hati.
Ada pula Cimone Gama 1 nomor 26. Semua ini jika 'ku tuliskan menyakitkan dada, membuat sesak. Jelasnya, aku masih harus ada di dunia ini. Aku mungkin masih harus memastikan hukum adat menjadi entah apa-apa. Mungkin aku masih harus menyelamatkan peninggalan Pak Benny dan Pak Teddy. Mungkin aku masih harus terus mencari cara untuk ambil bagian dalam upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Si Tolol ini baru saja tahu lho bedanya sosialisme komunis dan sosial demokrat. Memang tertarik padanya saja sudah tolol.
Oom Novi meninggal sekira setahun sebelum Bapak. Oom Novi dan Oom Irsan itulah teman-teman seangkatan Bapak di Curug dahulu. Nama yang selalu 'ku dengar sedari kecil, yang setiap kali mendengarnya selalu menerbitkan rasa bangga, seperti selalu bangganya aku pada Bapak. Anakku yang manakah yang bangga padaku. Pada titik ini aku terlempar ke Lantai 4 Gedung D FHUI, ketika perasaan gila melanda seorang perempuan muda seraya menidurkan anak-anaknya. Sungguh aku yang ada kecenderungan ini merasa baiknya terjun saja demi cantiknya melodi.
Inilah cinta dalam hidupku. Entah berapa lama lagi aku hidup, 'kan 'ku jalani dengan cinta ini. Segala kesakitan fisik mental kontan hilang bersama cintanya yang tidak pernah terbayangkan olehku sebelumnya. Aku hanya tahu tersedia bagiku separuh jiwaku entah di mana. Aku selalu tahu rambutnya cantik, tebal mengombak begitu, Akan halnya sekarang telah dihiasi berlembar-lembar uban justru menambah kecantikannya. Meski tidak pernah terbayang tepatnya bagaimana, inilah cinta bagiku. Di hidup yang ini, di hidup yang manapun, engkaulah cinta dalam hidupku.
Ke mana kini 'ku 'kan mengembara, jauh atau dekat tidak menjadi masalah. Aku hanya harus merentang masa dan merampakkan ketak-ketik jari-jemari. Terlebih kenyataan bahwa aku tidak pernah bisa melupakan Simon van der Valk sampai detik ini, seakan mengaminkan doa-doa Ibuku mengenai Amsterdam. Sedihnya, aku ini tiada lebih dari sekadar pembual. Naga yang ekstrim, suka membesar-besarkan persoalan. Itulah juga mungkin penyebab ketertarikanku pada teori hukum. Kebanyakan gaya, meski memang benar aku didoakan Kakekku menjadi seorang pemikir.
Kesenduan ini entah mengapa membawaku ke Pelabuhan Mutiara. Entah apa yang kuminum-minum pada saat itu, bourbon, sherry, atau whisky. Namun itu sebenarnya Jalan Yado 2 sisi selatan. Ya, karena aslinya jalan itu dibelah oleh Blok E berpunggung-punggungan, tetapi memang nomornya tidak berurutan. Jika dimulai dari sudut tenggara, itulah E1. Sudut timur lautnya E2. Namun di sebelah barat E1, E3 dan E4 berurut-urutan. Selanjutnya, E6, 8, dan 10 di sisi selatan, sedangkan E5, 7, dan 9 di sebaliknya. Mungkin karena membingungkan, sisi utara mempertahankan nama Yado 2, sedangkan sisi selatan diberi nama baru menjadi Yado 5.
Lantas sebelah kanan K28 terdapat K27 rumah Oom Munthe, K26 rumah Oom Irsan, K25 rumah Pak Mustafa. Ke sebelah kiri rumah Pak Effendi, Pak Parmo, Pak Barjo, Pak Tono... sampai di sini aku tidak yakin urutannya, pokoknya ada Pak Ismail, Pak Sujud, Pak Kartono, dan Oom.. aduh lupa. Bapaknya Dito dan Todi pokoknya. Nomornya aku juga tidak yakin, karena seingatku rumah Oom Otje dan Tante Nelly nomor K33. Inilah Kompleks Angkasa Pura Kemayoran Gempol di Apron Timur, ilham utama dari goblok ini, tempat nan amat indah permai menyamankan hati.
Ada pula Cimone Gama 1 nomor 26. Semua ini jika 'ku tuliskan menyakitkan dada, membuat sesak. Jelasnya, aku masih harus ada di dunia ini. Aku mungkin masih harus memastikan hukum adat menjadi entah apa-apa. Mungkin aku masih harus menyelamatkan peninggalan Pak Benny dan Pak Teddy. Mungkin aku masih harus terus mencari cara untuk ambil bagian dalam upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Si Tolol ini baru saja tahu lho bedanya sosialisme komunis dan sosial demokrat. Memang tertarik padanya saja sudah tolol.
Oom Novi meninggal sekira setahun sebelum Bapak. Oom Novi dan Oom Irsan itulah teman-teman seangkatan Bapak di Curug dahulu. Nama yang selalu 'ku dengar sedari kecil, yang setiap kali mendengarnya selalu menerbitkan rasa bangga, seperti selalu bangganya aku pada Bapak. Anakku yang manakah yang bangga padaku. Pada titik ini aku terlempar ke Lantai 4 Gedung D FHUI, ketika perasaan gila melanda seorang perempuan muda seraya menidurkan anak-anaknya. Sungguh aku yang ada kecenderungan ini merasa baiknya terjun saja demi cantiknya melodi.
Inilah cinta dalam hidupku. Entah berapa lama lagi aku hidup, 'kan 'ku jalani dengan cinta ini. Segala kesakitan fisik mental kontan hilang bersama cintanya yang tidak pernah terbayangkan olehku sebelumnya. Aku hanya tahu tersedia bagiku separuh jiwaku entah di mana. Aku selalu tahu rambutnya cantik, tebal mengombak begitu, Akan halnya sekarang telah dihiasi berlembar-lembar uban justru menambah kecantikannya. Meski tidak pernah terbayang tepatnya bagaimana, inilah cinta bagiku. Di hidup yang ini, di hidup yang manapun, engkaulah cinta dalam hidupku.
No comments:
Post a Comment