Mengapa tiba-tiba aku sok menjadi cendekiawan hukum, aku 'kan 'dut badut-badut jaman sekarang 'mong omong-omong sembarang. Menyenangi, menguliti yang aku suka hanya kerat-kerat ayam goreng tak bertulang. Menguliti binatang, apalagi manusia, aku tidak suka. Terlebih mengiris sedikit-sedikit di sana-sini seonggok daging manusia hidup yang terikat pada salib bersilang. Kabarnya, jika ujung-ujung syaraf bersentuhan dengan udara karena adanya luka, maka itulah yang diterima dan dipahami oleh otak sebagai perih atau nyeri; ketersengatan merayapi.
Begini lebih baik, mengingatkanku pada dermaga kecil dengan restoran pada ujungnya. Sayang aku sering mengunjunginya ketika masih pandemi. Mungkin ketika pandemi sudah reda seperti sekarang, terlebih di musim panas ini, akan aku lihat betapa pasangan-pasangan dan keluarga-keluarga bersenda-canda sambil bersantap, setelah menyandarkan dan menambatkan perahu-perahu mereka. Nyatanya, di Belanda sana, bahkan di puncak musim panas, matahari sudah berkurang gagahnya sekitar jam tujuh tiga puluh. Setelah itu sungguh nyaman belaka, segar udara dihirup.
Tiada kesakitan 'ku rasa ketika cinta melanda. 'Ku hentikan tepat di sini karena aku tidak tahu bagaimana melanjutkan sesuatu yang bahkan tidak mungkin dimulai. Sekadar dibayangkan pun tidak. Bagaikan lelaki Batak yang menyukai remaja-remaja pria berwajah manis, sampai disiapkan air hangat untuk mandi sepulang dari mana-mana. Apalah bedanya dengan seorang lelaki lembut berkumis tipis, berjualan mie ayam sedangkan ramahnya agak terlalu berlebihan. Kasihan orang-orang sakit ini. Sebaiknya penderitaan mereka, agar tidak menjadi-jadi, segera diakhiri.
Lantas bagaimana dengan lelaki gemuk heteroseksual yang bergoyang-goyang di tepian ombak laut seraya memandang nyalang goyang pinggul gadis remaja bau kencur. Aku yakin ia, meski heteroseksual, tidak tahu main bass. Jika saja ia tahu, mungkin ia akan lebih suka memejamkan mata, menggigit bibir sendiri seraya membiarkan dentam-dentam senar bassnya merasuk sukma. Orang begini meski bom atom meledak dua kali di sekitarnya akan terus kerasukan, meski sudah pindah alam. Sedangkan yang tidak tahu main bass itu entahlah, semoga Tuhannya menolongnya.
Aku lupa di mana tepatnya toko penjual pernak-pernik tentara itu. Apa saja pernah 'ku beli di situ, sangkur, belati, rompi, entah-entah. Aku tidak pernah menyesali perhatianku pada hal-hal yang berbau keprajuritan, sama seperti aku tidak menyesali kenyataan hidup seperti banci berkelamin tunggal. Aku hanya ingat, sangkur yang 'ku beli ternyata dibuat dari material yang buruk maka mudah patah. Belati korps pasukan intelijen taktis bertahan lebih lama, sampai berkarat-karat dipakai bercocok-tanam Ibu. Aku tidak pernah suka bercerita mengenai tentara.
Maka 'ku susuri jalan-jalan malam di manapun: Jakarta, Depok, Lamongan, Amsterdam. 'Ku bawa sepucuk revolver dan sebilah belati denganku. Pernah 'ku letuskan, pernah 'ku tikamkan, sungguh aku tidak ingat. Setelah tua begini aku lebih suka disebut lemah mental daripada terganggu jiwa. Tidak pernah lagi dalam hidupku 'ku bawa-bawa senjata dalam bentuk apapun. Bahkan jika aku terlihat seperti menyerang apapun, aku tidak bersenjata. Bahkan pistol pribadi berbalut kulit berambut dalam celanaku pun tidak pernah dikeluarkan dari sarungnya yang kain tetoron.
Tidak seperti Mentor Yusuf yang pasti sudah pernah menggunakan secara legal berbagai-bagai senjata api maupun tajam dalam hidupnya. Namun ia pasti tidak pernah meledakkan atau menikamkan senjatanya dengan penuh kemarahan, atau pernah. Masa ia tidak pernah dikirim ke Timor Timur, 'ku rasa pernah. Maka itulah Leo Kristi bernyanyi mengenainya membela orang-orang berbahasa Tetun yang, katanya, darahnya membasahi sabana. 'Ku rasa aku akan membela Leo Kristi, orang Aceh, Ambon, Poso dan menyalahkan Oom Yasin serta siapapun itu sejenisnya.
Begini lebih baik, mengingatkanku pada dermaga kecil dengan restoran pada ujungnya. Sayang aku sering mengunjunginya ketika masih pandemi. Mungkin ketika pandemi sudah reda seperti sekarang, terlebih di musim panas ini, akan aku lihat betapa pasangan-pasangan dan keluarga-keluarga bersenda-canda sambil bersantap, setelah menyandarkan dan menambatkan perahu-perahu mereka. Nyatanya, di Belanda sana, bahkan di puncak musim panas, matahari sudah berkurang gagahnya sekitar jam tujuh tiga puluh. Setelah itu sungguh nyaman belaka, segar udara dihirup.
Tiada kesakitan 'ku rasa ketika cinta melanda. 'Ku hentikan tepat di sini karena aku tidak tahu bagaimana melanjutkan sesuatu yang bahkan tidak mungkin dimulai. Sekadar dibayangkan pun tidak. Bagaikan lelaki Batak yang menyukai remaja-remaja pria berwajah manis, sampai disiapkan air hangat untuk mandi sepulang dari mana-mana. Apalah bedanya dengan seorang lelaki lembut berkumis tipis, berjualan mie ayam sedangkan ramahnya agak terlalu berlebihan. Kasihan orang-orang sakit ini. Sebaiknya penderitaan mereka, agar tidak menjadi-jadi, segera diakhiri.
Lantas bagaimana dengan lelaki gemuk heteroseksual yang bergoyang-goyang di tepian ombak laut seraya memandang nyalang goyang pinggul gadis remaja bau kencur. Aku yakin ia, meski heteroseksual, tidak tahu main bass. Jika saja ia tahu, mungkin ia akan lebih suka memejamkan mata, menggigit bibir sendiri seraya membiarkan dentam-dentam senar bassnya merasuk sukma. Orang begini meski bom atom meledak dua kali di sekitarnya akan terus kerasukan, meski sudah pindah alam. Sedangkan yang tidak tahu main bass itu entahlah, semoga Tuhannya menolongnya.
Aku lupa di mana tepatnya toko penjual pernak-pernik tentara itu. Apa saja pernah 'ku beli di situ, sangkur, belati, rompi, entah-entah. Aku tidak pernah menyesali perhatianku pada hal-hal yang berbau keprajuritan, sama seperti aku tidak menyesali kenyataan hidup seperti banci berkelamin tunggal. Aku hanya ingat, sangkur yang 'ku beli ternyata dibuat dari material yang buruk maka mudah patah. Belati korps pasukan intelijen taktis bertahan lebih lama, sampai berkarat-karat dipakai bercocok-tanam Ibu. Aku tidak pernah suka bercerita mengenai tentara.
Maka 'ku susuri jalan-jalan malam di manapun: Jakarta, Depok, Lamongan, Amsterdam. 'Ku bawa sepucuk revolver dan sebilah belati denganku. Pernah 'ku letuskan, pernah 'ku tikamkan, sungguh aku tidak ingat. Setelah tua begini aku lebih suka disebut lemah mental daripada terganggu jiwa. Tidak pernah lagi dalam hidupku 'ku bawa-bawa senjata dalam bentuk apapun. Bahkan jika aku terlihat seperti menyerang apapun, aku tidak bersenjata. Bahkan pistol pribadi berbalut kulit berambut dalam celanaku pun tidak pernah dikeluarkan dari sarungnya yang kain tetoron.
Tidak seperti Mentor Yusuf yang pasti sudah pernah menggunakan secara legal berbagai-bagai senjata api maupun tajam dalam hidupnya. Namun ia pasti tidak pernah meledakkan atau menikamkan senjatanya dengan penuh kemarahan, atau pernah. Masa ia tidak pernah dikirim ke Timor Timur, 'ku rasa pernah. Maka itulah Leo Kristi bernyanyi mengenainya membela orang-orang berbahasa Tetun yang, katanya, darahnya membasahi sabana. 'Ku rasa aku akan membela Leo Kristi, orang Aceh, Ambon, Poso dan menyalahkan Oom Yasin serta siapapun itu sejenisnya.
No comments:
Post a Comment