Bagaimana kamisku biasanya tak perlu ditanya, namun jangan sampai malah membocorkan betapa rasa badan dan jiwaku; karena ini retroaksi. Lebih baik aku ceritakan padamu mengenai gadis cilik bertelinga caplang berkumis tipis. Kalau kumisku bukan tipis, melainkan jarang. Bilakah digunakan bukan-melainkan, bila tidak-tetapi, rasanya seperti kuda mati tertimpa mempelam. Bapak sampai, seperti biasa, tidak bisa menahan diri untuk berkomentar seberapa besar mangganya. Mangga kwini biasanya besar, Pak, dan mungkin tengkorak kudanya terbuat dari kardus. Matilah.
Lagipula, daripada berbicara mengenai betapa Takwa tidak suka aku terus menyalah-nyalahkan Suto Kebo, lebih baik aku mengomentari gaya bernyanyi Ryan yang masif. Entah dia tahu atau tidak ada varietas anjing yang disebut Mastiff. Aku juga lupa apa istimewanya varietas ini dalam keluarga anjing. Hanya aku ingat, betapa menyenangkannya terkadang menemui keluarga anjing di antara koleksi pustaka dasar yang nyaris lengkap. Sampai hari ini aku tidak habis pikir mengapa anjing ada keluarganya sementara kucing tidak; meski kucing sudah menjadi hama.
Uah, ternyata selama ini aku salah. Aku kira mau dibawa ke mana itu lagunya masif, ternyata armada. Sementara itu, menghapus jejakmu selalu mengingatkanku pada suasana ruang bercengkerama rumah Yado tersayang di waktu malam. Lampu neon tabung seratus watt menerangi, duduk di kursi plastik bintang singa yang nyaman berleyeh-leyeh, menonton tivi bisa jadi liga Inggris ketika Liverpool sedang berlaga. Semua itu dari waktu-waktu yang masih jauh lebih muda. Entah mengapa ini juga mengingatkanku pada puding roti, bisa dari Citos ataupun Sency.
Mungkin ingatan-ingatan akan waktu-waktu yang menyenangkan dalam hidup akan membuat seseorang bertahan hidup. Selama ini aku bertahan hidup hanya untuk menghadirkan kembali waktu-waktu seperti itu, terutama, seperti judul blog ini, dari masa-masa di Kemayoran. Entah mengapa, meski masa-masa di Radio Dalam, Cimone, Radio Dalam lagi, Magelang, Surabaya, Radio Dalam lagi, sekitar UI, Maastricht, sekitar UI lagi, tepi Cikumpa, Amsterdam, tepi Cikumpa lagi tak kalah menyenangkan, Kemayoran selalu mendapat tempat istimewa di hatiku.
Tempat-tempat yang aku sebut di sekitar UI di atas sebenarnya banyak sekali dan seharusnya dirinci. Namun penyebutan dan perincian itu memerlukan suasana hati yang sangat khusus untuk masing-masingnya, karena tiap-tiap tempat itu menimbulkan nuansa kesenangan yang berbeda. Ambil contoh, Kost Annisa misalnya. Landasan mobil yang berdebu di musim kemarau, becek di musim penghujan memberikan sensasi-sensasi yang berbeda-beda sepanjang tahunnya. Satu dari lainnya tidak kalah menyenangkan, meski turunan Cemong acap berak tahi di situ.
Bahkan malam-malam di lorong-lorong dan selasar-selasar Fakultas Hukum Universitas Indonesia pun memberi sensasi-sensasi yang berbeda-beda dalam tiap masanya. Terkadang kini melewati pantry dekanat seakan tiada yang penting darinya, padahal entah berapa malam aku habiskan ber-party line di situ acap sampai subuh menjelang. Biasanya itu aku lakukan setelah menyantap habis piring terbang yang tidak dimakan para pimpinan fakultas atau dosen-dosen lainnya. Berbincang dengan lawan bicara bersuara lembut seperti Mila Bonita sambil berkepul-kepul.
Aku masih sangat muda ketika itu, mungkin 22 tahun, ketika aku sakit flu lumayan berat. Berjalan dari Gang Mesjid, aku menuju ke kampus karena memang tidak ada tempat lain yang dapat dituju. Dengan badan demam menggigil begitu, tentu aku langsung ke ruang senat yang ternyata terkunci. Tidak tahan lagi, aku ke Mushala al-Fath dan mencoba tidur di karpetnya, namun tidak bisa nyenyak. Aku lupa bagaimana caranya, apakah aku berhasil masuk ruang senat atau menghabiskan malam di al-Fath. Nyatanya, aku sembuh dari sakit itu dan masih hidup sampai kini.
Lagipula, daripada berbicara mengenai betapa Takwa tidak suka aku terus menyalah-nyalahkan Suto Kebo, lebih baik aku mengomentari gaya bernyanyi Ryan yang masif. Entah dia tahu atau tidak ada varietas anjing yang disebut Mastiff. Aku juga lupa apa istimewanya varietas ini dalam keluarga anjing. Hanya aku ingat, betapa menyenangkannya terkadang menemui keluarga anjing di antara koleksi pustaka dasar yang nyaris lengkap. Sampai hari ini aku tidak habis pikir mengapa anjing ada keluarganya sementara kucing tidak; meski kucing sudah menjadi hama.
Uah, ternyata selama ini aku salah. Aku kira mau dibawa ke mana itu lagunya masif, ternyata armada. Sementara itu, menghapus jejakmu selalu mengingatkanku pada suasana ruang bercengkerama rumah Yado tersayang di waktu malam. Lampu neon tabung seratus watt menerangi, duduk di kursi plastik bintang singa yang nyaman berleyeh-leyeh, menonton tivi bisa jadi liga Inggris ketika Liverpool sedang berlaga. Semua itu dari waktu-waktu yang masih jauh lebih muda. Entah mengapa ini juga mengingatkanku pada puding roti, bisa dari Citos ataupun Sency.
Mungkin ingatan-ingatan akan waktu-waktu yang menyenangkan dalam hidup akan membuat seseorang bertahan hidup. Selama ini aku bertahan hidup hanya untuk menghadirkan kembali waktu-waktu seperti itu, terutama, seperti judul blog ini, dari masa-masa di Kemayoran. Entah mengapa, meski masa-masa di Radio Dalam, Cimone, Radio Dalam lagi, Magelang, Surabaya, Radio Dalam lagi, sekitar UI, Maastricht, sekitar UI lagi, tepi Cikumpa, Amsterdam, tepi Cikumpa lagi tak kalah menyenangkan, Kemayoran selalu mendapat tempat istimewa di hatiku.
Tempat-tempat yang aku sebut di sekitar UI di atas sebenarnya banyak sekali dan seharusnya dirinci. Namun penyebutan dan perincian itu memerlukan suasana hati yang sangat khusus untuk masing-masingnya, karena tiap-tiap tempat itu menimbulkan nuansa kesenangan yang berbeda. Ambil contoh, Kost Annisa misalnya. Landasan mobil yang berdebu di musim kemarau, becek di musim penghujan memberikan sensasi-sensasi yang berbeda-beda sepanjang tahunnya. Satu dari lainnya tidak kalah menyenangkan, meski turunan Cemong acap berak tahi di situ.
Bahkan malam-malam di lorong-lorong dan selasar-selasar Fakultas Hukum Universitas Indonesia pun memberi sensasi-sensasi yang berbeda-beda dalam tiap masanya. Terkadang kini melewati pantry dekanat seakan tiada yang penting darinya, padahal entah berapa malam aku habiskan ber-party line di situ acap sampai subuh menjelang. Biasanya itu aku lakukan setelah menyantap habis piring terbang yang tidak dimakan para pimpinan fakultas atau dosen-dosen lainnya. Berbincang dengan lawan bicara bersuara lembut seperti Mila Bonita sambil berkepul-kepul.
Aku masih sangat muda ketika itu, mungkin 22 tahun, ketika aku sakit flu lumayan berat. Berjalan dari Gang Mesjid, aku menuju ke kampus karena memang tidak ada tempat lain yang dapat dituju. Dengan badan demam menggigil begitu, tentu aku langsung ke ruang senat yang ternyata terkunci. Tidak tahan lagi, aku ke Mushala al-Fath dan mencoba tidur di karpetnya, namun tidak bisa nyenyak. Aku lupa bagaimana caranya, apakah aku berhasil masuk ruang senat atau menghabiskan malam di al-Fath. Nyatanya, aku sembuh dari sakit itu dan masih hidup sampai kini.
No comments:
Post a Comment