Aku tidak butuh apa-apa lagi selain buku krom-ku ini. Tidak lagi penting bagiku apakah aku membangkitkan bangsa-bangsa seperti pernah 'ku lakukan dalam dinginnya udara malam Maastricht, sementara Sam entah sedang berbual dengan pacar perempuannya. Tidak juga penting bagiku apakah satu peleton pemanah komposit ditempatkan di Tanjung Kacrut atau tidak. Aku bahkan sudah tidak pernah peduli apakah aku mengenakan kancut atau tidak semenjak rayapku mati. Jika hiburanku tinggal begini, mengitiki ketiak sendiri, peduli apa tiada mengapa bagiku.
Namun memandang ke luar jendela begini, ke jalan aspal campuran panas yang dahulu tanah becek berbatu, memang mendatangkan suasana tersendiri. Apakah ini rasa bertambah muda beberapa tahun atau kembali ke tahun-tahun yang lebih muda, aku tak tahu dan tak mau tahu. Hanya 'ku tahu, telah lebih waktu sepuluh tahun beranjak, tak juga 'ku tahu adakah dosa-dosaku sudah diampuni. Apa aku harus diinjak-injak dahulu, sampai terburai isi perut dari duburku, baru 'ku tahu 'ku t'lah diampuni.
Jika kau sudah tahu dan bisa membayangkan betapa Bianca tidak ada putih-putihnya dan Brisia adalah agar tidak seperti mayat, maka tidak ada lagi yang cukup berarti. Membangkitkan bangsa-bangsa, menghancurkan peradaban-peradaban, menyiapkan sarapan yang sangat sederhana sudah tidak pernah dilakukan. Hanya meja ini, yang diletakkan tepat di bawah jendela seperti ketika masih musim dingin di Amstelveen, masih memberiku rasa nyaman. Selebihnya hanya kenangan memilin-milin kotoran hidung sedang air mata bersimbah. Aku tak perlu sedu-sedan itu.
Mungkin malah lebih penting membahas mengenai kelompok kekurangan dana itu. Aku dapat merasakan tidak semuanya hewani. Ada pula yang nabati. Uah, seandainya semua saja nabati tentu lebih mantap, karena yang hewani, meski bagus dikata semua orang, selalu saja bau. Kau bisa menyamarkannya dengan minyak wangi seember atau sepabrik sekalian, bau sabun atau buah-buahan, tetap saja kau bau; dan baumu memuakkan. Tidak peduli jika kau anak haram tentara Jerman yang dibawa lari ibumu dari Norwegia ke Swedia, lantas kini jadi seorang bangsawan: Tetap bau!
Terlebih lidah yang melata-lata membasahi sekujur wajah, wajah sekujur minta dibasahi ludah. Wanita peludah. Hahaha mari kita lihat apakah tepat terjemahannya. Jika sama-sama diperkosa tentara Jepang berkali-kali bisa jadi disebut Tinung saja, meski aku sudah tentu jengkel jika ternyata Granier diperankan Ferry Salim. Mengerjakan pekerjaan rumah, cuih, ada saja orang-orang yang merasa berhak menciptakan jargon-jargon, seperti terus terang terang terus, meski apapun pasti lebih baik dari quasi Assilikidik. Ingin rasanya 'ku ambyar ke dalam pintu air itu lagi.
Tiada apapun yang perlu dirusak, dihancurkan lagi. Tiada rumah-rumah petani atau pion yang kurang lurus, yang karenanya harus dihancurkan lantas diluruskan. Tiada lagi pendeta yang berdoa-doa memanggil-manggil bangunan-bangunan penghasil berbagai hantu dan mahluk menyeramkan, menjijikkan, berbau memuakkan. Semua itu sekadar ketololan yang digantikan oleh mengitiki ketiak sendiri, semata karena tiada ketiak yang mau dan dapat dikitiki. Ketika seorang wanita menyerahkan tubuhnya untuk tempat bersemai bibit seorang pria, sampai melahirkan anaknya.
Siapa bilang pula pikiranku selalu buruk, selalu mendung dan murung. Aku melihat persekitaranku seperti seorang pelancong mengagumi indah pemandangan yang tak pernah dilihatnya, sampai-sampai aku tidak ingin beranjak. Wajarlah jika Vo Nguyen Giap mengidolakan Napoleon, aku saja tidak berani sekadar mengidolakan Giap. Jelasnya, aku bukan seorang pengintai, petembak runduk, atau apapun sejenisnya, amfibi, reptil, atau mamalia sekalipun. Aku, seperti kata instruktur latihan senior Hartman, sekadar muntahan sang pemabuk tolol yang hanya tahu minum anggur.
Namun memandang ke luar jendela begini, ke jalan aspal campuran panas yang dahulu tanah becek berbatu, memang mendatangkan suasana tersendiri. Apakah ini rasa bertambah muda beberapa tahun atau kembali ke tahun-tahun yang lebih muda, aku tak tahu dan tak mau tahu. Hanya 'ku tahu, telah lebih waktu sepuluh tahun beranjak, tak juga 'ku tahu adakah dosa-dosaku sudah diampuni. Apa aku harus diinjak-injak dahulu, sampai terburai isi perut dari duburku, baru 'ku tahu 'ku t'lah diampuni.
Jika kau sudah tahu dan bisa membayangkan betapa Bianca tidak ada putih-putihnya dan Brisia adalah agar tidak seperti mayat, maka tidak ada lagi yang cukup berarti. Membangkitkan bangsa-bangsa, menghancurkan peradaban-peradaban, menyiapkan sarapan yang sangat sederhana sudah tidak pernah dilakukan. Hanya meja ini, yang diletakkan tepat di bawah jendela seperti ketika masih musim dingin di Amstelveen, masih memberiku rasa nyaman. Selebihnya hanya kenangan memilin-milin kotoran hidung sedang air mata bersimbah. Aku tak perlu sedu-sedan itu.
Mungkin malah lebih penting membahas mengenai kelompok kekurangan dana itu. Aku dapat merasakan tidak semuanya hewani. Ada pula yang nabati. Uah, seandainya semua saja nabati tentu lebih mantap, karena yang hewani, meski bagus dikata semua orang, selalu saja bau. Kau bisa menyamarkannya dengan minyak wangi seember atau sepabrik sekalian, bau sabun atau buah-buahan, tetap saja kau bau; dan baumu memuakkan. Tidak peduli jika kau anak haram tentara Jerman yang dibawa lari ibumu dari Norwegia ke Swedia, lantas kini jadi seorang bangsawan: Tetap bau!
Terlebih lidah yang melata-lata membasahi sekujur wajah, wajah sekujur minta dibasahi ludah. Wanita peludah. Hahaha mari kita lihat apakah tepat terjemahannya. Jika sama-sama diperkosa tentara Jepang berkali-kali bisa jadi disebut Tinung saja, meski aku sudah tentu jengkel jika ternyata Granier diperankan Ferry Salim. Mengerjakan pekerjaan rumah, cuih, ada saja orang-orang yang merasa berhak menciptakan jargon-jargon, seperti terus terang terang terus, meski apapun pasti lebih baik dari quasi Assilikidik. Ingin rasanya 'ku ambyar ke dalam pintu air itu lagi.
Tiada apapun yang perlu dirusak, dihancurkan lagi. Tiada rumah-rumah petani atau pion yang kurang lurus, yang karenanya harus dihancurkan lantas diluruskan. Tiada lagi pendeta yang berdoa-doa memanggil-manggil bangunan-bangunan penghasil berbagai hantu dan mahluk menyeramkan, menjijikkan, berbau memuakkan. Semua itu sekadar ketololan yang digantikan oleh mengitiki ketiak sendiri, semata karena tiada ketiak yang mau dan dapat dikitiki. Ketika seorang wanita menyerahkan tubuhnya untuk tempat bersemai bibit seorang pria, sampai melahirkan anaknya.
Siapa bilang pula pikiranku selalu buruk, selalu mendung dan murung. Aku melihat persekitaranku seperti seorang pelancong mengagumi indah pemandangan yang tak pernah dilihatnya, sampai-sampai aku tidak ingin beranjak. Wajarlah jika Vo Nguyen Giap mengidolakan Napoleon, aku saja tidak berani sekadar mengidolakan Giap. Jelasnya, aku bukan seorang pengintai, petembak runduk, atau apapun sejenisnya, amfibi, reptil, atau mamalia sekalipun. Aku, seperti kata instruktur latihan senior Hartman, sekadar muntahan sang pemabuk tolol yang hanya tahu minum anggur.
No comments:
Post a Comment