Aku tak butuh siapapun untuk memberitahuku bahwa tidak ada seorangpun berminat mengetahui siapa dan seperti apa diriku. Mau dari jalan benda, grinting, jembatan utara dan selatan, sampai petogogan, aku hanya berkata pada diriku sendiri: Menyendiri, bersembunyi dari orang banyak, dunia luar, udara bebas, tidak perlu lantas pilek burung, sampai keluar nanah bercampur darah. Sel harus selalu rapi. Debu sedikit di sana sini tidak apalah, toh tidak ada si saku tinggi dengan sarung tangan putihnya. Namun perlengkapan tidur harus terlipat rapi tidak terkecuali.
Terlebih dengan bibi Diah Daniar menemani pembantunya Toro dan Tito menyeterika di rumahnya yang terasa lebih mewah dari rumahku, tidak membuatku ingin tinggal di situ. Mungkin dari dulu rumah Toro sudah berpendingin udara. Rumahku tidak memerlukan itu karena hatiku selalu terasa sejuk nyaman. Bahkan mencangkung di dahan kol banda favoritku lepas tengah hari sepulang sekolah pun terasa sungguh nyamannya. Di bawahnya, di balik seng bekas area servis itu apalagi, sejuk nyaman belaka. Lantas apa kiranya yang dirasakan kakekku dengan hati bersirosis.
Sekelebat keterendusan ketika bocah lelaki bertulang lunak berhati baik melahap sambal orang-orang Bugis tanpa bertanya, menenggak hampir sekotak susu dingin milik keluarga Bugis itu. Mana pernah kusangka akan berakhir demikian, ketika sampai kini mulutku terkunci sedang kuncinya kubuang di kanal-kanal Uilenstede entah yang mana. Tiada banyak berbeda dengan menemploknya blasteran binturong dan bengkarung dengan tidak profesionalnya. Memang tidak boleh banyak-banyak dalam setiap waktunya, seperti pandang kedua mata yang terlalu dekat jaraknya.
Tiada seberapa mengherankan jika khayalku bahkan telah mengembara ke relung-relung yang belum pernah ditelusupi bocah di bawah sepuluh tahun. Diulangi lagi sebelum ulang tahun keduabelas di depan gardu listrik samping kelurahan lama, polanya sama. Aku memang seorang esensialis, telah kusadari sejak kususuri lorong-lorong anggrek dan pradnya paramita, bahkan mungkin setia kawan. Entah mengapa sofa itu juga yang terbayang dan permintaan yang akhirnya terujar sekitar lima tahun kemudian, diluluskan pula sedang ia bersimbah keringat bau terasi.
Sebaliknya, aku tidak pernah serius dengan jurusan bertolak-belakang. Aku bahkan tidak tahu berapa sudut tepatnya. Jika yang ini kukata serius maka yang satunya apa. Dari kecil aku memang selalu merasa kesepian, hanya berteman pengetahuan seluruh dunia, bahkan alam seisinya; kecuali ketika 'ku memutuskan untuk berhenti memikirkan angkasa luar dan fokus pada dunia prasejarah yang sampai kini tidak pernah berhenti memukau hati. Jika sudah begini, keseriusanku pada main-mainan dunia berkurang, bahkan bisa lupa sama-sekali; maka inilah aku coba sekarang.
Jika keindahan dan kejijikan tidak banyak bedanya bagiku, bahkan sering berjalin-berkelindan, mengapa tidak berpumpun pada yang indah-indah saja. Mengapa harus terus mengendus-endus kotoran kuku ibu jari kaki, menyesapi busuk-busuknya yang memabukkan, lantas menggigit-gigit kecil-kecil renyah-getirnya, membuat bapak-bapak di sebelah bergidik kejijikan. Mengapa tidak terus berusaha memompa pengetahuan ke dalam urat-urat nadi, mengalirkannya ke sekujur hati nurani dan hati sanubari. Itulah inti, saripati keindahan tanpa kebusukan yang muak memabukkan.
Seindah, sepermai apapun kecantikan dunia fana ini, pasti akan busuk memuakkan jua di akhirnya; setidaknya jika tidak mandi sudah lebih dari seminggu. Maka buanglah busuknya, jauhi kemuakan, dekati keindahan, kepermaian yang terpermana; dan itu adanya pada pengetahuan-pengetahuan baik yang langsung dikurniakan atau yang kauusahakan sendiri, susah-payah atau riang-gembira. Tahu beda dengan merasa tahu. Jika benar-benar tahu kau tidak akan pernah merasa. Jika merasa tahu kau tidak akan pernah benar-benar tahu, kecuali goreng-goreng tahu-susu.
Terlebih dengan bibi Diah Daniar menemani pembantunya Toro dan Tito menyeterika di rumahnya yang terasa lebih mewah dari rumahku, tidak membuatku ingin tinggal di situ. Mungkin dari dulu rumah Toro sudah berpendingin udara. Rumahku tidak memerlukan itu karena hatiku selalu terasa sejuk nyaman. Bahkan mencangkung di dahan kol banda favoritku lepas tengah hari sepulang sekolah pun terasa sungguh nyamannya. Di bawahnya, di balik seng bekas area servis itu apalagi, sejuk nyaman belaka. Lantas apa kiranya yang dirasakan kakekku dengan hati bersirosis.
Sekelebat keterendusan ketika bocah lelaki bertulang lunak berhati baik melahap sambal orang-orang Bugis tanpa bertanya, menenggak hampir sekotak susu dingin milik keluarga Bugis itu. Mana pernah kusangka akan berakhir demikian, ketika sampai kini mulutku terkunci sedang kuncinya kubuang di kanal-kanal Uilenstede entah yang mana. Tiada banyak berbeda dengan menemploknya blasteran binturong dan bengkarung dengan tidak profesionalnya. Memang tidak boleh banyak-banyak dalam setiap waktunya, seperti pandang kedua mata yang terlalu dekat jaraknya.
Tiada seberapa mengherankan jika khayalku bahkan telah mengembara ke relung-relung yang belum pernah ditelusupi bocah di bawah sepuluh tahun. Diulangi lagi sebelum ulang tahun keduabelas di depan gardu listrik samping kelurahan lama, polanya sama. Aku memang seorang esensialis, telah kusadari sejak kususuri lorong-lorong anggrek dan pradnya paramita, bahkan mungkin setia kawan. Entah mengapa sofa itu juga yang terbayang dan permintaan yang akhirnya terujar sekitar lima tahun kemudian, diluluskan pula sedang ia bersimbah keringat bau terasi.
Sebaliknya, aku tidak pernah serius dengan jurusan bertolak-belakang. Aku bahkan tidak tahu berapa sudut tepatnya. Jika yang ini kukata serius maka yang satunya apa. Dari kecil aku memang selalu merasa kesepian, hanya berteman pengetahuan seluruh dunia, bahkan alam seisinya; kecuali ketika 'ku memutuskan untuk berhenti memikirkan angkasa luar dan fokus pada dunia prasejarah yang sampai kini tidak pernah berhenti memukau hati. Jika sudah begini, keseriusanku pada main-mainan dunia berkurang, bahkan bisa lupa sama-sekali; maka inilah aku coba sekarang.
Jika keindahan dan kejijikan tidak banyak bedanya bagiku, bahkan sering berjalin-berkelindan, mengapa tidak berpumpun pada yang indah-indah saja. Mengapa harus terus mengendus-endus kotoran kuku ibu jari kaki, menyesapi busuk-busuknya yang memabukkan, lantas menggigit-gigit kecil-kecil renyah-getirnya, membuat bapak-bapak di sebelah bergidik kejijikan. Mengapa tidak terus berusaha memompa pengetahuan ke dalam urat-urat nadi, mengalirkannya ke sekujur hati nurani dan hati sanubari. Itulah inti, saripati keindahan tanpa kebusukan yang muak memabukkan.
Seindah, sepermai apapun kecantikan dunia fana ini, pasti akan busuk memuakkan jua di akhirnya; setidaknya jika tidak mandi sudah lebih dari seminggu. Maka buanglah busuknya, jauhi kemuakan, dekati keindahan, kepermaian yang terpermana; dan itu adanya pada pengetahuan-pengetahuan baik yang langsung dikurniakan atau yang kauusahakan sendiri, susah-payah atau riang-gembira. Tahu beda dengan merasa tahu. Jika benar-benar tahu kau tidak akan pernah merasa. Jika merasa tahu kau tidak akan pernah benar-benar tahu, kecuali goreng-goreng tahu-susu.