'Kurasa ini sejenis dengan pamur yang kemudian menjadi pencak angkatan muda rasio[nal]. Betul-betul menyiksa bagi yang punya masalah penutupan (closure problem). Meski begitu menulisnya, ini bukan mengenai kesenian badud dari pedalaman Pangandaran. Hanya saja jika menyanyikannya, aku suka membacanya seperti itu, dengan 'dal', sehingga harus di-qolqolah, sehingga terdengar seperti 'badudu'. Memang penjelasan yang sangat berguna... tapi ya sutra lah, let's do it again. Mari seruput lagi teh jawa dalam cangkir plastik besar teh tong tji kesukaanku.
Ini sebenarnya mengenai badut-badut yang berkeliaran di jalan-jalan Jakarta dan pinggirannya, meski ketika menyebut "badut", yang dimaksud Bang Iwan Fals adalah anggota-anggota dewan perwakilan rakyat atau penyelenggara negara dan pemerintahan pada umumnya. Jika sampai di sini, salahkah aku jika kembali ke 1997, ketika begitu semangatnya aku mempelajari hukum kenegaraan. Salahkah aku jika tiga tahun sebelumnya tidak ada yang mendukungku secara emosional kecuali ibu, bapak, dan adik-adikku. Aku sekadar bocah yang kasihan, tiada sesiapa menyayangi.
Siapa sangka akhirnya aku sendiri jadi badut. Mengapa tidak kubeli saja topeng badut dari karet di awal 1990-an itu, yang bentuknya memang menyeramkan, yang membuat takut maminya Bunbun. yang karenanya akan dilempar bapak. Malam ini, cintailah aku malam ini tidak pernah berhenti menyamankanku entah sejak kapan. Sejak di kamar praktek dr. Hardi Leman itu kurasa. Apalah namanya itu, musik-musik manis keemasan, bergambar air terjun. Entah ke mana perginya, takkan kembali, seperti segala sesuatu dalam hidup ini berputrefaksi. Mari busuk bersama.
Jadi badud ini semacam seni pertunjukan, dengan beberapa pemeran mengenakan kostum bagong alias babi hutan, kera atau lutung, dan harimau sang raja hutan. Selain itu ada dua orang mengenakan topeng seperti yang terlihat dalam gambar. Aku tak hendak menganalisis apapun, jangankan di sini, di benak pun tak. Seperti halnya dengan badut-badut yang bertebaran di tepi-tepi jalan-jalan Jakarta dan pinggirannya, takkan kukomentari. Aku bahkan takkan bertanya-tanya apa sebabnya Ronald McDonald sudah tidak ditemui lagi di Indonesia, Ronald dan gengnya itu.
Selama ini hanya 'ku batin. Baru kali ini 'ku ungkap. 'Ku rasa, Pak Albert Nainggolan Lumbanraja sudah meninggal. Sampai beberapa tahun yang lalu beliau terus gigih menganjurkan. Sudah beberapa tahun ini tidak 'ku terima lagi anjurannya. Aku seharusnya bangga, karena banyak tokoh nasional sekaliber Mbak Titiek Soeharto yang juga menerima anjuran itu. Begitulah hidup seorang pejuang, secara beliau adalah seorang marinir korps baret ungu, pantang menyerah selama hayat masih dikandung badan. Jika benar dikau telah tiada, Pak Albert, aku masih terus berjuang.
Memperjuangkan apa, dengan perut membuncit begini, kepala botak begini. Uah, mungkinkah seorang lelaki dan seorang perempuan yang mengiringi dansa step Howard Wolowitz sebelum bercengkerama dengan Letnan Kara Thrace dan Bernadette Rostenkowski di ranjangnya -meski ketika ia kebingungan, George Takei muncul mencoba menambah kebingungannya- adalah rendisinya Paolo Mantovani. Meskipun semenjak 1 Januari 2025, teori ledakan besar tidak lagi dapat ditemukan di bioskop jejaring jelantara, aku tak ambil peduli. Biasa. Biarlah baygon jadi baygon.
Ya sutra lah let's do it again! Biar saja aku bersenda-canda di salju sambil menenteng kantong belanjaan. Kemudaan yang sudah tidak terlalu muda namun tetap tersia-siakan. Menjulur-julur selalu kian kemari, seperti kepala bodoh versi bintara peleton Huda dari Batalyon Sikatan. Bintara peletonku sendiri sebetulnya Sersan Muslih asli Madura, komandanku Letnan Kalok Awidura. Ah ya, di sinilah akhirnya aku benar-benar mendapat ranjang bawah, di atasku Kristiono. Dari pintu, ranjang kami kedua di kanan; di pojok Suryo Triatmojo (bawah) / David Hastiadi (atas).
Ini sebenarnya mengenai badut-badut yang berkeliaran di jalan-jalan Jakarta dan pinggirannya, meski ketika menyebut "badut", yang dimaksud Bang Iwan Fals adalah anggota-anggota dewan perwakilan rakyat atau penyelenggara negara dan pemerintahan pada umumnya. Jika sampai di sini, salahkah aku jika kembali ke 1997, ketika begitu semangatnya aku mempelajari hukum kenegaraan. Salahkah aku jika tiga tahun sebelumnya tidak ada yang mendukungku secara emosional kecuali ibu, bapak, dan adik-adikku. Aku sekadar bocah yang kasihan, tiada sesiapa menyayangi.
Siapa sangka akhirnya aku sendiri jadi badut. Mengapa tidak kubeli saja topeng badut dari karet di awal 1990-an itu, yang bentuknya memang menyeramkan, yang membuat takut maminya Bunbun. yang karenanya akan dilempar bapak. Malam ini, cintailah aku malam ini tidak pernah berhenti menyamankanku entah sejak kapan. Sejak di kamar praktek dr. Hardi Leman itu kurasa. Apalah namanya itu, musik-musik manis keemasan, bergambar air terjun. Entah ke mana perginya, takkan kembali, seperti segala sesuatu dalam hidup ini berputrefaksi. Mari busuk bersama.
Jadi badud ini semacam seni pertunjukan, dengan beberapa pemeran mengenakan kostum bagong alias babi hutan, kera atau lutung, dan harimau sang raja hutan. Selain itu ada dua orang mengenakan topeng seperti yang terlihat dalam gambar. Aku tak hendak menganalisis apapun, jangankan di sini, di benak pun tak. Seperti halnya dengan badut-badut yang bertebaran di tepi-tepi jalan-jalan Jakarta dan pinggirannya, takkan kukomentari. Aku bahkan takkan bertanya-tanya apa sebabnya Ronald McDonald sudah tidak ditemui lagi di Indonesia, Ronald dan gengnya itu.
Selama ini hanya 'ku batin. Baru kali ini 'ku ungkap. 'Ku rasa, Pak Albert Nainggolan Lumbanraja sudah meninggal. Sampai beberapa tahun yang lalu beliau terus gigih menganjurkan. Sudah beberapa tahun ini tidak 'ku terima lagi anjurannya. Aku seharusnya bangga, karena banyak tokoh nasional sekaliber Mbak Titiek Soeharto yang juga menerima anjuran itu. Begitulah hidup seorang pejuang, secara beliau adalah seorang marinir korps baret ungu, pantang menyerah selama hayat masih dikandung badan. Jika benar dikau telah tiada, Pak Albert, aku masih terus berjuang.
Memperjuangkan apa, dengan perut membuncit begini, kepala botak begini. Uah, mungkinkah seorang lelaki dan seorang perempuan yang mengiringi dansa step Howard Wolowitz sebelum bercengkerama dengan Letnan Kara Thrace dan Bernadette Rostenkowski di ranjangnya -meski ketika ia kebingungan, George Takei muncul mencoba menambah kebingungannya- adalah rendisinya Paolo Mantovani. Meskipun semenjak 1 Januari 2025, teori ledakan besar tidak lagi dapat ditemukan di bioskop jejaring jelantara, aku tak ambil peduli. Biasa. Biarlah baygon jadi baygon.
Ya sutra lah let's do it again! Biar saja aku bersenda-canda di salju sambil menenteng kantong belanjaan. Kemudaan yang sudah tidak terlalu muda namun tetap tersia-siakan. Menjulur-julur selalu kian kemari, seperti kepala bodoh versi bintara peleton Huda dari Batalyon Sikatan. Bintara peletonku sendiri sebetulnya Sersan Muslih asli Madura, komandanku Letnan Kalok Awidura. Ah ya, di sinilah akhirnya aku benar-benar mendapat ranjang bawah, di atasku Kristiono. Dari pintu, ranjang kami kedua di kanan; di pojok Suryo Triatmojo (bawah) / David Hastiadi (atas).