Lenyap semua kebat-berkebit gara-gara ribet menggambarkan, atau memberi gambaran. Hanya untuk dihapus karena lengket menempel pada teks. Sudah lama aku tak memberi gambaran inzet rapat kanan atau kiri atau entah apa aku menyebutnya dulu. Membuka Minggu pagi yang indah lagi cerah dengan upil kolins entah tepat atau tidak. Halah, ini lagi. Sekadar mencari tempat makan sensi bertema sok laut namanya apa atau entah di situ atau tidak menambah keribetan. Cewek gampangan membawaku kembali ke Sarinah yang menjual pernak-pernik halowin, jaman segitu.
Eh, malah diajak bercinta sama yang cinta bercinta. Mengapa ia membawaku ke suatu pagi di Jogja, di Jombor tepatnya, ketika sekeliling masih sawah, aku tak tahu. Apakah segar udara, apakah basah aspal, apakah kulangkahkan kakiku entah ke mana, selokan rapi bersih berair coklat mengalir lancar mampir ke ingatan. Kenangan akan cinta yang tidak pernah ada, atau bahkan kenangan akan khayalan tentang cinta yang tidak pernah mengada. Kata-kata saja tak kuasa melukiskan betapa entah apa namanya. Menyedihkan? 'Tuh, sampai terpaksa menggunakan tanda tanya sekadar menekankan.
Dorongan untuk menikmati camilan kecil-kecil memang tidak pernah hilang, meski sekadar pangsit goreng ji-em, keripik sanjay, cistik. Bermacam-macamnya itu yang menggairahkan, masing-masing unik dengan ketiadaan gunanya, bahkan membahayakan. Aku pulang saja ke rumah Yado nan permai di siang terik yang tak memanggang. Terlebih begitu memasuki keteduhan rumah, sejuk belaka, nyaman belaka. Apakah itu setelah wajan dengan Yan, atau sebelum latihan dasar, atau badan oleh Joko, apapun itu tidak pernah memberiku apapun kecuali kenyamanan.
Lantas apa ini melontarku, menjerembabku ke masa-masa asap jarum super kebul-berkebul, secangkir besar kopi pun, entah apa-apa kukerjakan bahkan sampai hari ini. Apa benar yang terjadi di minggu pagi kecuali kampus sepi. Aku tidak benar-benar ingat adakah minggu pagiku saat itu. Ingatanku akan minggu pagi justru dari saat-saat setelahnya. Bu Mideh atau gado-gado tidak perlu minggu pagi benar. Tepatnya, semua waktu terasa minggu pagi di sana. Mau siang, mau malam, aku tidak ingat menonton sepak bola pun, berandai-andai sahabatku dari luar angkasa.
Aku merasa sangat aman 'pabila kita bersama, sedang mug berisi teh panas bergoyang-goyang karena hentakan-hentakanku. Tinggal masalah kebiasaan saja dengan kepala gula ini, toh rasanya tidak jauh berbeda dari gula sungguhan. Semoga aku tidak lupa ketika membaca tulisanku mengenai gerobak merah ini, yang kumaksud tiada lain adalah Redwagon-nya Mang Imas. Uah, ia rilis pada akhir 1984, nyaris bertepatan dengan ulang tahun terakhir Uti. Masih teringat foto itu, Wajah Uti terlihat lelah dikelilingi cucu-cucunya menyanyikan panjang umurnya.
Meja tulis yang selalu berantakan. Tiap kali ditertibkan sampai selapang lapangan udara, pasti berserakan kembali segala entah-entah. Jangan tanya alasan mengapa. Itu sama saja mencampur-adukkan kenangan mengenai kapal latih taruna satu dan dua, yang masing-masing dikomandani oleh Kapten Apri Yani dan Kapten Yudo Margono. Yang belakangan ini malah sampai menjabat kepala staf tentara nasional Indonesia angkatan laut. Bintang empat dia, laksamana penuh; sedangkan Kapten Bambang Pramusinto, kalau tidak salah, hanya sampai pertama.
Ada lagi Kapten Marinir Joko Supriyanto. Abang-abangku semua itu. Aku saja yang kurang-ajar tidak mau menjadi adik mereka. Apakah aku masih sekurang-ajar dulu meski sampai sekarang. Apa yang kulakukan di Minggu menjelang siang ini, sudah waktunya 'kah album minggu ini. Semua itu telah berlalu. Sekarang menghadapi kenyataan jaman baru, Abad ke-21. Yang kusebut anak-anak bocil sesungguhnya adalah pemilik sah Abad ini. Aku dan semuanya sebayaku sekadar menumpang. Aku adalah anak-anak abad lalu. Ketika itu masih ada jalan Patrice Lumumba.
Eh, malah diajak bercinta sama yang cinta bercinta. Mengapa ia membawaku ke suatu pagi di Jogja, di Jombor tepatnya, ketika sekeliling masih sawah, aku tak tahu. Apakah segar udara, apakah basah aspal, apakah kulangkahkan kakiku entah ke mana, selokan rapi bersih berair coklat mengalir lancar mampir ke ingatan. Kenangan akan cinta yang tidak pernah ada, atau bahkan kenangan akan khayalan tentang cinta yang tidak pernah mengada. Kata-kata saja tak kuasa melukiskan betapa entah apa namanya. Menyedihkan? 'Tuh, sampai terpaksa menggunakan tanda tanya sekadar menekankan.
Dorongan untuk menikmati camilan kecil-kecil memang tidak pernah hilang, meski sekadar pangsit goreng ji-em, keripik sanjay, cistik. Bermacam-macamnya itu yang menggairahkan, masing-masing unik dengan ketiadaan gunanya, bahkan membahayakan. Aku pulang saja ke rumah Yado nan permai di siang terik yang tak memanggang. Terlebih begitu memasuki keteduhan rumah, sejuk belaka, nyaman belaka. Apakah itu setelah wajan dengan Yan, atau sebelum latihan dasar, atau badan oleh Joko, apapun itu tidak pernah memberiku apapun kecuali kenyamanan.
Lantas apa ini melontarku, menjerembabku ke masa-masa asap jarum super kebul-berkebul, secangkir besar kopi pun, entah apa-apa kukerjakan bahkan sampai hari ini. Apa benar yang terjadi di minggu pagi kecuali kampus sepi. Aku tidak benar-benar ingat adakah minggu pagiku saat itu. Ingatanku akan minggu pagi justru dari saat-saat setelahnya. Bu Mideh atau gado-gado tidak perlu minggu pagi benar. Tepatnya, semua waktu terasa minggu pagi di sana. Mau siang, mau malam, aku tidak ingat menonton sepak bola pun, berandai-andai sahabatku dari luar angkasa.
Aku merasa sangat aman 'pabila kita bersama, sedang mug berisi teh panas bergoyang-goyang karena hentakan-hentakanku. Tinggal masalah kebiasaan saja dengan kepala gula ini, toh rasanya tidak jauh berbeda dari gula sungguhan. Semoga aku tidak lupa ketika membaca tulisanku mengenai gerobak merah ini, yang kumaksud tiada lain adalah Redwagon-nya Mang Imas. Uah, ia rilis pada akhir 1984, nyaris bertepatan dengan ulang tahun terakhir Uti. Masih teringat foto itu, Wajah Uti terlihat lelah dikelilingi cucu-cucunya menyanyikan panjang umurnya.
Meja tulis yang selalu berantakan. Tiap kali ditertibkan sampai selapang lapangan udara, pasti berserakan kembali segala entah-entah. Jangan tanya alasan mengapa. Itu sama saja mencampur-adukkan kenangan mengenai kapal latih taruna satu dan dua, yang masing-masing dikomandani oleh Kapten Apri Yani dan Kapten Yudo Margono. Yang belakangan ini malah sampai menjabat kepala staf tentara nasional Indonesia angkatan laut. Bintang empat dia, laksamana penuh; sedangkan Kapten Bambang Pramusinto, kalau tidak salah, hanya sampai pertama.
Ada lagi Kapten Marinir Joko Supriyanto. Abang-abangku semua itu. Aku saja yang kurang-ajar tidak mau menjadi adik mereka. Apakah aku masih sekurang-ajar dulu meski sampai sekarang. Apa yang kulakukan di Minggu menjelang siang ini, sudah waktunya 'kah album minggu ini. Semua itu telah berlalu. Sekarang menghadapi kenyataan jaman baru, Abad ke-21. Yang kusebut anak-anak bocil sesungguhnya adalah pemilik sah Abad ini. Aku dan semuanya sebayaku sekadar menumpang. Aku adalah anak-anak abad lalu. Ketika itu masih ada jalan Patrice Lumumba.
No comments:
Post a Comment