Sembari mengupas telur yang baru saja kurebus, kubuka jendela samping wasbak. Jendela kecil yang menghadap ke arah Cikumpa. Dari jendela itu pandangan terjun agak lima atau setidaknya empat meteran ke sebidang kecil lahan di bantaran kali yang mungkin dulu adalah sepetak sawah pasang surut. Di kejauhan terdengar seorang ibu bersholawat thibbil qulub dilantangkan dengan Toa. Sabtu pagi ini cuaca mendung, udara cenderung sejuk tidak sampai dingin, tak berangin. Telur rebusku ternyata setengah matang, seperti dapat diduga. Kurebus mungkin kurang dari lima menit.
Sambil menunggu telurku setengah matang tadi kubuat juga susu semug porselin hitam. Seperti dapat diduga dari entri-entri goblogku ini, mungkin dari lima tahun terakhir setidaknya, aku sekadar mencoba merekam kebatan kebitan pikiran yang berkesiuran sementara aku tidak mengerjakan apa-apa, atau sekadar hal sepele seperti melarutkan susu bubuk dengan sedikit air panas. Terkadang malah aku benar-benar tidak mengerjakan apa-apa kecuali duduk menghadapi alat produksiku, jika dapat disebut begitu: produksi, maka kurekam saja segala kebat-berkebit.
Dua alinea di atas dari Sabtu lalu asalnya, 6 Juli 2024, ketika kampung Serab diguyur hujan dari sekitar dhuhur sampai isya'. Istriku sayang pergi ke makam Mamanya bersama Kak Tina. Sepulang dari sana lanjut ke Thamrin City membeli kaus oblong dan celana pendek untuk Kambing. Lagi kenapa pula Kambing diberi berkaus bercelana. Ini sudah hampir jam 10. Badanku penat setelah seharian disembur pendingin udara gara-gara di ruang bidang studi ada seekor beruang kutub bernama Efraim Jordi Kastanya. Untung tidak ada dua-duanya, Conrado Maximanuel Cornelius.
Adanya aku mengetiki malam ini, aku rindu entah kepada siapa; Mungkin pada diriku sendiri. Betulkah melodi jaman baru ini menyembuhkan, ditingkahi gericik air sedang aku berkeringat begini, ditenagai secangkir 75 tahun Nescafe coklat Cadbury. Mengapa tak kucoba saja kopi pahit kapal api. Siapa tahu betul kata orang, kalau tidak diberi bergula tidak menyakiti lambung. Coklat Cadbury ini aduhai manisnya, padahal buka puasa tadi aku sudah meminum semug besar teh bendera dengan gula sesendok, mungkin sekitar 15 gram. Aku basuh kini dengan air panas lagi.
Mungkin harus kuputuskan juga rindu kepada siapa. Mungkin benar pada diriku sendiri dari masa-masa yang lebih muda meski dungu. Mungkin bau yang tiada berapa sedap, bentuk yang tentu saja tidak bagus, namun aku sudah terlalu terbiasa melahap ironi mentah-mentah begitu saja. Hidup ini tidakkah ironi, tragedi dari rumah Tante Yunani yang sekarang sudah menjadi sushi tengoku. Jika aku masih hidup sampai kini semata komedi ilahi. Jika Bung Karno tinggal tersisa tulisan-tulisannya kubacai, dicemooh Didik Purwondanu sesama GMNI. Begitu saja tanpa terkecuali.
Ahaha ada yang kurindui. Berapa banyak tentu sedikit. Betapa ajaib sampai setua ini masih melihat baliho besi setinggi atas gang kecil toko buku Islami. Menggelandang di antara Gang Kober dan Haji Mahali, salah satunya dengan sandal Bata berbintil-bintil yang selalu kukenangi. Apakah berada dalam satu kerangka waktu aku tiada begitu peduli. Mengapa tidak kunikmati karena dengan itu mungkin aku 'kan terbebas dari api. Apa benar, apa pula yang kurindui, semua berlalu seperti hembusnya angin mengangani. Aku terdengar seperti Ali Muthahari, sungguh pun bisa jadi.
Hidup ini kujalani tanpa mengingini. Jikapun figur aksi, aku ingin menggambari. Dapat kubayangkan kusket dengan pensil, kutebalkan dengan tinta, kuwarnai dengan spidol, kubingkai kukacai. Tidak. Mengalir saja. Apakah tertumbuk pada komputer permainan aku tiada berharap tiada peduli. Betapa hidup yang kulalui mengerikan sekali, tiada pernah terbayang sampai di sini. Sampai ke mana lagi lengan mengepak-ngepak kaki memancali, kepala kadang timbul kadang tenggelam udara menghirupi, menghidupi. Secangkir air panas bukan kopi, kenapa begini.
Sambil menunggu telurku setengah matang tadi kubuat juga susu semug porselin hitam. Seperti dapat diduga dari entri-entri goblogku ini, mungkin dari lima tahun terakhir setidaknya, aku sekadar mencoba merekam kebatan kebitan pikiran yang berkesiuran sementara aku tidak mengerjakan apa-apa, atau sekadar hal sepele seperti melarutkan susu bubuk dengan sedikit air panas. Terkadang malah aku benar-benar tidak mengerjakan apa-apa kecuali duduk menghadapi alat produksiku, jika dapat disebut begitu: produksi, maka kurekam saja segala kebat-berkebit.
Dua alinea di atas dari Sabtu lalu asalnya, 6 Juli 2024, ketika kampung Serab diguyur hujan dari sekitar dhuhur sampai isya'. Istriku sayang pergi ke makam Mamanya bersama Kak Tina. Sepulang dari sana lanjut ke Thamrin City membeli kaus oblong dan celana pendek untuk Kambing. Lagi kenapa pula Kambing diberi berkaus bercelana. Ini sudah hampir jam 10. Badanku penat setelah seharian disembur pendingin udara gara-gara di ruang bidang studi ada seekor beruang kutub bernama Efraim Jordi Kastanya. Untung tidak ada dua-duanya, Conrado Maximanuel Cornelius.
Adanya aku mengetiki malam ini, aku rindu entah kepada siapa; Mungkin pada diriku sendiri. Betulkah melodi jaman baru ini menyembuhkan, ditingkahi gericik air sedang aku berkeringat begini, ditenagai secangkir 75 tahun Nescafe coklat Cadbury. Mengapa tak kucoba saja kopi pahit kapal api. Siapa tahu betul kata orang, kalau tidak diberi bergula tidak menyakiti lambung. Coklat Cadbury ini aduhai manisnya, padahal buka puasa tadi aku sudah meminum semug besar teh bendera dengan gula sesendok, mungkin sekitar 15 gram. Aku basuh kini dengan air panas lagi.
Mungkin harus kuputuskan juga rindu kepada siapa. Mungkin benar pada diriku sendiri dari masa-masa yang lebih muda meski dungu. Mungkin bau yang tiada berapa sedap, bentuk yang tentu saja tidak bagus, namun aku sudah terlalu terbiasa melahap ironi mentah-mentah begitu saja. Hidup ini tidakkah ironi, tragedi dari rumah Tante Yunani yang sekarang sudah menjadi sushi tengoku. Jika aku masih hidup sampai kini semata komedi ilahi. Jika Bung Karno tinggal tersisa tulisan-tulisannya kubacai, dicemooh Didik Purwondanu sesama GMNI. Begitu saja tanpa terkecuali.
Ahaha ada yang kurindui. Berapa banyak tentu sedikit. Betapa ajaib sampai setua ini masih melihat baliho besi setinggi atas gang kecil toko buku Islami. Menggelandang di antara Gang Kober dan Haji Mahali, salah satunya dengan sandal Bata berbintil-bintil yang selalu kukenangi. Apakah berada dalam satu kerangka waktu aku tiada begitu peduli. Mengapa tidak kunikmati karena dengan itu mungkin aku 'kan terbebas dari api. Apa benar, apa pula yang kurindui, semua berlalu seperti hembusnya angin mengangani. Aku terdengar seperti Ali Muthahari, sungguh pun bisa jadi.
Hidup ini kujalani tanpa mengingini. Jikapun figur aksi, aku ingin menggambari. Dapat kubayangkan kusket dengan pensil, kutebalkan dengan tinta, kuwarnai dengan spidol, kubingkai kukacai. Tidak. Mengalir saja. Apakah tertumbuk pada komputer permainan aku tiada berharap tiada peduli. Betapa hidup yang kulalui mengerikan sekali, tiada pernah terbayang sampai di sini. Sampai ke mana lagi lengan mengepak-ngepak kaki memancali, kepala kadang timbul kadang tenggelam udara menghirupi, menghidupi. Secangkir air panas bukan kopi, kenapa begini.
No comments:
Post a Comment