Terakhir di sini juga kalau tidak salah hasilnya cuma entri goblok. Terlebih lagi kini badan masih terasa kurang endeus. Mana barusan ada kambing menghirup kentang isi. Ini lucu, karena kentangnya dipotong panjang-panjang kurus disiram dengan saus daging dan keju, tapi dikata isi. Lebih lucu lagi aku lupa apanya yang lucu karena cantik keburu datang. Kami pun aplus karena jam sudah menunjukkan pukul empat belas lewat sedang aku belum sholat dhuhur. Mengantri lift lama tidak mengapa daripada harus berjalan dalam kondisi badan kurang yes, turun baru naik.
Hanya sok cerdik yang terpikir olehku dari tadi, meski tak dapat kulupa out of the boox. Tidak bisa lain itu pasti bubaran toko buku. Aduhai sedih sekali melihatnya, banyak pula seri kecil-kecil punya karya dan berbagai judul yang ditujukan bagi anak-anak. Bagaimana mungkin buku bersaing dengan mata satunya penipu akbar. Entah mengapa selalu selatan perbatasan keparat seakan menghantui. Mengapa tidak teman sebangkunya. Mengapa tidak dari dulu ketika dikata Itang Yunasz. Sungguh seandainya mungkin aku tidak mau makan; andai tak jadi dingin.
Uah, malah dikata francis gayo musik gunung agung, semakin melangutkan jiwa. Teringat gramedia dan gunung agung di mal pondok indah asli, tempat yang sungguh menyenangkan. Aku selalu sehat dan kuat jika ke situ kala itu. Tidak ada keluhan, tidak ada ketakutan, hanya kemaluan menggantung di antara kedua belah paha yang masih kokoh kekar. Di sekitar mungkin berbagai horor terjadi, bahkan di mana aku menjadi sebabnya. Namun yang kurasa ketika itu hanya nyaman dan tolol belaka, meski seringnya tidak sanggup beli apa-apa. Ada uang dari mana.
Apa kukenang-kenang saya michiyo sop ayam paris bahkan doremi soto dan segala onderdilnya itu: telur sudah pasti. Di minggu pagi mengetiki seakan tiada yang peduli sudah kulalui entah berapa dekade. Seperti apa mingguku di sepur derek atau Uilenstede atau Kees Broekman. Berjalan-jalan tolol ke arah Oosterlijke Handelskade atau lebih tolol lagi ke Vennepluim, di mana pun itu di Amsterdam pasti berakhir jalan-jalan tolol. Tiada yang patut dikenangkan, kecuali aku anak tolol yang merasa bangga berfoto-foto di entah-entah mana Eropa. Tololku tidak seperti itu.
Ini biar selesai saja. Biar tayang. Sudah berapa kali berhenti, setidaknya dua kali. Ini sekarang hampir di tengah-tengah hari bolong di laboratorium hukum yang entah bagaimana konsepnya ini. Tidak ada yang betul-betul memikirkan sedang aku merasa seperti sendirian memikirkan segala sesuatu. Mungkin seperti ini yang dirasakan adikku jika ia merasa seperti musuh nomer satu semua orang. Uah, rampak sekali mengetiki seakan ada yang menggendangi, sedangkan Roger Taylor menggebuki tambur-tamburnya. Di luar terik sekali sedang di dalam sini aduhai sejuk.
Tidak ada yang benar-benar jadi masalah. Semua orang dapat melihatnya. Tidak ada yang benar-benar jadi masalah buatku langsung dihentak dengan dentam-dentamnya bass senar maupun membran. Aku menyukai Paul mungkin karena aku lebih mirip John. Aku kurang suka John mungkin karena aku mirip dengannya, bukan karena aku seperti Paul. Terkadang di dunia ini orang-orang tolol di atas bukit menjadi terkenal, mungkin kecuali Jeremy. Apa benar yang dilakukannya, memburai isi kepalanya sendiri, mengulum laras pistol dan menarik pelatuknya. Jedar!
Hei, kalau begini aku merasa sedang berada di ruang tamunya kantor notaris Media Sari di bilangan Radar AURI. Kalau Bang Destianto Nugroho Utomo memang cocok menjadi komandan pangkalan udara Halim Perdana Kusuma seperti pendahulunya Wisnu Djajengminardo. Aku cocoknya cuma jadi seperti ini. Kalau ternyata sampai mati aku begini-begini saja... ya jangan juga. Kasihan Bapak. Namun melihat reaksi Takwa membuatku berpikir mungkin aku akan terus begini-begini saja, hal mana aku sungguh tiada peduli. Aku ini dank not dut, punk not dead.
Ini orang katanya kena dimadu cinta sampai begitu. Entah yang di belakang itu madunya. |
Uah, malah dikata francis gayo musik gunung agung, semakin melangutkan jiwa. Teringat gramedia dan gunung agung di mal pondok indah asli, tempat yang sungguh menyenangkan. Aku selalu sehat dan kuat jika ke situ kala itu. Tidak ada keluhan, tidak ada ketakutan, hanya kemaluan menggantung di antara kedua belah paha yang masih kokoh kekar. Di sekitar mungkin berbagai horor terjadi, bahkan di mana aku menjadi sebabnya. Namun yang kurasa ketika itu hanya nyaman dan tolol belaka, meski seringnya tidak sanggup beli apa-apa. Ada uang dari mana.
Apa kukenang-kenang saya michiyo sop ayam paris bahkan doremi soto dan segala onderdilnya itu: telur sudah pasti. Di minggu pagi mengetiki seakan tiada yang peduli sudah kulalui entah berapa dekade. Seperti apa mingguku di sepur derek atau Uilenstede atau Kees Broekman. Berjalan-jalan tolol ke arah Oosterlijke Handelskade atau lebih tolol lagi ke Vennepluim, di mana pun itu di Amsterdam pasti berakhir jalan-jalan tolol. Tiada yang patut dikenangkan, kecuali aku anak tolol yang merasa bangga berfoto-foto di entah-entah mana Eropa. Tololku tidak seperti itu.
Ini biar selesai saja. Biar tayang. Sudah berapa kali berhenti, setidaknya dua kali. Ini sekarang hampir di tengah-tengah hari bolong di laboratorium hukum yang entah bagaimana konsepnya ini. Tidak ada yang betul-betul memikirkan sedang aku merasa seperti sendirian memikirkan segala sesuatu. Mungkin seperti ini yang dirasakan adikku jika ia merasa seperti musuh nomer satu semua orang. Uah, rampak sekali mengetiki seakan ada yang menggendangi, sedangkan Roger Taylor menggebuki tambur-tamburnya. Di luar terik sekali sedang di dalam sini aduhai sejuk.
Tidak ada yang benar-benar jadi masalah. Semua orang dapat melihatnya. Tidak ada yang benar-benar jadi masalah buatku langsung dihentak dengan dentam-dentamnya bass senar maupun membran. Aku menyukai Paul mungkin karena aku lebih mirip John. Aku kurang suka John mungkin karena aku mirip dengannya, bukan karena aku seperti Paul. Terkadang di dunia ini orang-orang tolol di atas bukit menjadi terkenal, mungkin kecuali Jeremy. Apa benar yang dilakukannya, memburai isi kepalanya sendiri, mengulum laras pistol dan menarik pelatuknya. Jedar!
Hei, kalau begini aku merasa sedang berada di ruang tamunya kantor notaris Media Sari di bilangan Radar AURI. Kalau Bang Destianto Nugroho Utomo memang cocok menjadi komandan pangkalan udara Halim Perdana Kusuma seperti pendahulunya Wisnu Djajengminardo. Aku cocoknya cuma jadi seperti ini. Kalau ternyata sampai mati aku begini-begini saja... ya jangan juga. Kasihan Bapak. Namun melihat reaksi Takwa membuatku berpikir mungkin aku akan terus begini-begini saja, hal mana aku sungguh tiada peduli. Aku ini dank not dut, punk not dead.
No comments:
Post a Comment