"Kamu 'gak tahu sih betapa indah syahdunya." Seperti biasa tiada tanggapan, karena aku memang tidak berbicara kepada siapapun secara khusus. Aku berbicara pada diriku sendiri, kenangan akan khayalan-khayalan yang tidak pernah dan tidak akan terwujud. Waktu-waktu yang telah berlalu bagai mimpi. Apa ini aroma kamarku dan seluruh rumah sewaan di Sint Antoniuslaan itu yang melintas di indera penciuman, atau sekadar khayalanku; atau aroma rumah sewaan yang penuh berdebu dengan perabotan tua. Rumah yang seharusnya cocok bagi suasana pedesaan, namun sekelilingnya sudah berubah menjadi perkotaan. Uah!
Mataku menatap kosong ke udara malam, seperti malam-malam yang pernah kutatap kosong. Apakah di metromini jurusan Blok M atau Pasar Minggu, dari Pasar Minggu atau Manggarai, bahkan Kemayoran Gempol ke Pasar Senen. Kusebut nama tempat-tempat ini, ketika malam sudah menjelang larut dan perutku penuh berisi kuah soto dan sayuran. Tentu ada sedikit nasi merah dan suwiran daging dada ayam. Malam-malam begini jangan masih di luar di manapun. Lebih baik sudah di kamar dengan tirai gulung yang seingatku hijau juga, hanya saja lebih cerah ceria.
Apakah malam-malam mengetiki kebangsaan Indonesia di akhir abad keduapuluh, atau sekarang masih begitu juga di abad keduasatu yang sudah beranjak hampir seperempatnya. Jari-jariku lemah tak mengepal meski lengan-lenganku masih menggapai-gapai langit malam, mempertontonkan ketiakku yang masih beberapa hari dicukur klimis. Aku telanjang dada memang, keringat membasahi kepalaku berambut tinggal seadanya. Keindahan ini terus membelaiku hampir selama empat puluh tahun terakhir ini, seakan belaian kasih-sayang ibuku yang aku telah lupa.
Keindahan tiada henti menderu menerpa. Dari mana datangnya, bagaimana caranya. Mie goreng jumbo biru rasa ayam panggang sebungkus kemudian sekardus lengkap dengan kompor satu tungkunya. Minyak tanah, dengan sumbunya yang seperti kaus lebih praktis menggantinya dibanding yang bersumbu banyak. Beberapa kali digunting jika sudah gosong terbakar, membuat apinya kemerahan dan berasap banyak. Jika baru digunting aduhai apinya biru cantik membakar sempurna, memasak berbagai-bagai pun oblok-oblok tauge tahu matang.
Kesakitan demi kesakitan deru-mendera, terus menerpa, disusul kesakitan yang entah kapan 'kan sirna. Sesampainya di sini bisa jadi sudah malam, aku lupa. Televisi tidak ada, hanya radio saja lamat-lamat melangutkan lagu-lagu dari dua tiga dekade lampau. Bisa jadi asap rokok dan uap kopi terus mengepul-ngepul. Bisa jadi bacaan demi bacaan susul menyusul. Permadani kecil namun cukuplah untuk telentang sepanjang 171 cm. Hanya ada itu, lalu meja tulis yang jaya, lantas rak buku kecil nan bersahaja. Diganti Fujitsu yang tak pernah terbang seperti mesin tik hijau.
Diganti promag yang akan dilahap beberapa butir karena tidak merayakan ulang-tahun. Jalan lewat belakang situ sampai ada McD-nya di tempat parkir, masih enak kemakmuran sapinya, kapal uapnya. Terkadang berjalan ke Plasa Semanggi ketika masih ramainya, pulang dengan taksi uang dari mana. Aku masih punya kamar sendiri ketika itu, lantas segera saja kutinggalkan kembali ke sini, ke tepian Cikumpa. Memandangi jalan Blok M yang lengang pada pukul setengah sepuluh malam, begitu damainya. Terlebih dengan Maria Elena berjungkat-jangkit begini-begitu.
Aku mencelat ke lantai dua Yulimar yang tiada ingatanku mengenainya, kecuali ketika datang, di dapur kecilnya yang permai, aku memasak Indomie. Kompornya bersumbu banyak, harus disundut dengan lidi. Hei, aku ingat ada sundutan khusus dari logam. Tidak ada kainnya, namun ujungnya seperti bersarang begitu. Dicelupkan ke dalam tangki, ia akan menahan sedikit minyak tanah di sarangnya itu, sehingga berkobarlah sedikit api cukup untuk menyulut sumbu. Adakah disulut sedikit berkeliling, mungkin saja. Memasak sup dengan mie basah, sayang gagal.
Mataku menatap kosong ke udara malam, seperti malam-malam yang pernah kutatap kosong. Apakah di metromini jurusan Blok M atau Pasar Minggu, dari Pasar Minggu atau Manggarai, bahkan Kemayoran Gempol ke Pasar Senen. Kusebut nama tempat-tempat ini, ketika malam sudah menjelang larut dan perutku penuh berisi kuah soto dan sayuran. Tentu ada sedikit nasi merah dan suwiran daging dada ayam. Malam-malam begini jangan masih di luar di manapun. Lebih baik sudah di kamar dengan tirai gulung yang seingatku hijau juga, hanya saja lebih cerah ceria.
Apakah malam-malam mengetiki kebangsaan Indonesia di akhir abad keduapuluh, atau sekarang masih begitu juga di abad keduasatu yang sudah beranjak hampir seperempatnya. Jari-jariku lemah tak mengepal meski lengan-lenganku masih menggapai-gapai langit malam, mempertontonkan ketiakku yang masih beberapa hari dicukur klimis. Aku telanjang dada memang, keringat membasahi kepalaku berambut tinggal seadanya. Keindahan ini terus membelaiku hampir selama empat puluh tahun terakhir ini, seakan belaian kasih-sayang ibuku yang aku telah lupa.
Keindahan tiada henti menderu menerpa. Dari mana datangnya, bagaimana caranya. Mie goreng jumbo biru rasa ayam panggang sebungkus kemudian sekardus lengkap dengan kompor satu tungkunya. Minyak tanah, dengan sumbunya yang seperti kaus lebih praktis menggantinya dibanding yang bersumbu banyak. Beberapa kali digunting jika sudah gosong terbakar, membuat apinya kemerahan dan berasap banyak. Jika baru digunting aduhai apinya biru cantik membakar sempurna, memasak berbagai-bagai pun oblok-oblok tauge tahu matang.
Kesakitan demi kesakitan deru-mendera, terus menerpa, disusul kesakitan yang entah kapan 'kan sirna. Sesampainya di sini bisa jadi sudah malam, aku lupa. Televisi tidak ada, hanya radio saja lamat-lamat melangutkan lagu-lagu dari dua tiga dekade lampau. Bisa jadi asap rokok dan uap kopi terus mengepul-ngepul. Bisa jadi bacaan demi bacaan susul menyusul. Permadani kecil namun cukuplah untuk telentang sepanjang 171 cm. Hanya ada itu, lalu meja tulis yang jaya, lantas rak buku kecil nan bersahaja. Diganti Fujitsu yang tak pernah terbang seperti mesin tik hijau.
Diganti promag yang akan dilahap beberapa butir karena tidak merayakan ulang-tahun. Jalan lewat belakang situ sampai ada McD-nya di tempat parkir, masih enak kemakmuran sapinya, kapal uapnya. Terkadang berjalan ke Plasa Semanggi ketika masih ramainya, pulang dengan taksi uang dari mana. Aku masih punya kamar sendiri ketika itu, lantas segera saja kutinggalkan kembali ke sini, ke tepian Cikumpa. Memandangi jalan Blok M yang lengang pada pukul setengah sepuluh malam, begitu damainya. Terlebih dengan Maria Elena berjungkat-jangkit begini-begitu.
Aku mencelat ke lantai dua Yulimar yang tiada ingatanku mengenainya, kecuali ketika datang, di dapur kecilnya yang permai, aku memasak Indomie. Kompornya bersumbu banyak, harus disundut dengan lidi. Hei, aku ingat ada sundutan khusus dari logam. Tidak ada kainnya, namun ujungnya seperti bersarang begitu. Dicelupkan ke dalam tangki, ia akan menahan sedikit minyak tanah di sarangnya itu, sehingga berkobarlah sedikit api cukup untuk menyulut sumbu. Adakah disulut sedikit berkeliling, mungkin saja. Memasak sup dengan mie basah, sayang gagal.
No comments:
Post a Comment