Apa pernah seperti ini, bersama cintaku di tengah hari bolong yang terik membakar begini, selain kulaungkan di bilangan Uilenstede di depan kulkas. Bagaimana pula 'kan 'ku kisahkan petualanganku di seputar tugu tani, segitiga senen, sedang sudah malas sekali aku merinci apa-apa yang terjadi pada badanku, kecuali pikiranku. Aku hanya ingat, di Sabtu itu udara sudah panas membakar seperti ini. Ah, cintaku kembali. Adakah yang mencintaiku. Tentu ibu mencintaiku lebih dari segala-galanya di seluruh dunia ini, meski tidak adik-adikku. Kami semua dicintai, teramat.
Kuteguk-teguk air hangat yang menyehatkan jiwa raga, bukan sekadar karena airnya, karena itulah azimat dari ibu, nasihat ibu, pesan ibu, yang akan kuingat sepanjang hayat. Dan di mana pun aku berada, nasihat ibu bukan sekadar pedomanku, melainkan azimat. Keramat. Seperti cantik menyayangi segenap jiwa raga kambing yang dilahirkannya, seperti itulah kasih-sayang ibu padaku. Menyelimutiku seperti kepompong sutra yang hangat menyamankan, nyaman menyejukkan, yang meski direbus, dibakar, dipanggang betelgeus pun tidak akan rusak, mustahil akan sirna.
Akan kupasang semua gambar yang kuambil di seputaran tugu tani, meski tidak benar-benar ada dari segitiga senen. Biar apa... tadi cantik tiba-tiba datang dan seperti biasa kuhentikan semua kegiatanku untuk bersamanya. Yang jelas, kubiarkan Putra Damanik mendentam dan mendeburkan pendengaranku dengan racikan asmara terkalibrasinya. Mungkin akan kutoyor bocah yang membuat liriknya, sekaligus penggubah lagunya, yang memang candu 'abis. Di bawah ini akan segera kupasang pemandangan lapangan tempat tugu tani dari ketinggian lantai sembilan, dari suatu pagi.
Ya, baru saja kuingat bahwa dulu ia dikelola oleh Hyatt seperti halnya yang di Senayan dulu oleh Hilton. Keterangan ini penting, karena Ambassador mulai menjadi Hyatt Aryaduta pada tahun kelahiranku. Nah, kata Ci Wen, jadi ketahuan 'kan umur 'lo. Memang bersejarah sekali, karena masih ada bak mandinya. Di titik ini, aku membatin, seperti apa pemandangan ke arah utara, yang gambarnya, pada Senin, 29 Juli 2024 tampak seperti di bawah itu. Seperti apa ia 50 tahun sebelumnya, apakah masih ada yang mandi di Ciliwung perkasa, di meander gang prapatan ini.
Hei, meski Arthur masih terpesona, aku sudah tidak merasakan apa-apa. Ke mana perginya pesona tujuh tahun lalu itu, seekor merpati putih itu. Pergi saja kau, memang aku sudah tidak peduli. Hanya saja malam ini bersama Arthur, harus kuakui, kami masih sama-sama terpesona. Malam-malam ketika aku terbangun, turun membeli sebotol besar air botolan, tiga bungkus kerupuk legendaris, masih ditambah secangkir plastik minuman jahe merah. Aku bahkan tidak mulai mengitiki ketika itu, takut tambah tidak bisa tidur. Maka aku hanya membaca-baca bersama kegondrongan.
Uah, untung masih tertancap dia di situ. Padahal sudah kupindah. Padahal tadi, ketika diajak jatuh cinta, ia tiba-tiba tercekat. Itu lihat di sudut kanan bawah gambar di atas, ada mushala atau malah mesjid kecil di situ. Apakah dari situ datangnya tarhim yang membangunkanku, yang membuatku sholat qobliyah subuh. Mencoba tidur lagi setelah subuh, gagal. Mencoba mengetiki sambil menunggu jam enam agak lewat, akhirnya turun sarapan. Diganggu Prof. Sedar, lalu Pak Ilham, HP-11CB hanya teronggok di situ. Tidak. Tempatku di sini, di kamarku sendiri sini.
HP-11CB ini pelantangnya sedap-sedap renyah begini. Aku memang tidak terlalu membutuhkan dentam berdebam kecuali yang memang kusumpalkan di telinga, meski aku bersyukur tivi pintarku mantap pelantangnya. Bahkan bass orkes telerama pengirim oom Boudewijn Maulana sampai terdengar sedap berdentam-dentam. Apa setelah ini aku masih sanggup menghasilkan entri yang lebih koheren dari ini, atau langsung mencoba tidur, entahlah. Rasanya aku masih ingin berkarya. Aku tidak rela tidur sedang hanya entri inkoheren ini hasilnya. Aku tidak tahu.
Kuteguk-teguk air hangat yang menyehatkan jiwa raga, bukan sekadar karena airnya, karena itulah azimat dari ibu, nasihat ibu, pesan ibu, yang akan kuingat sepanjang hayat. Dan di mana pun aku berada, nasihat ibu bukan sekadar pedomanku, melainkan azimat. Keramat. Seperti cantik menyayangi segenap jiwa raga kambing yang dilahirkannya, seperti itulah kasih-sayang ibu padaku. Menyelimutiku seperti kepompong sutra yang hangat menyamankan, nyaman menyejukkan, yang meski direbus, dibakar, dipanggang betelgeus pun tidak akan rusak, mustahil akan sirna.
Akan kupasang semua gambar yang kuambil di seputaran tugu tani, meski tidak benar-benar ada dari segitiga senen. Biar apa... tadi cantik tiba-tiba datang dan seperti biasa kuhentikan semua kegiatanku untuk bersamanya. Yang jelas, kubiarkan Putra Damanik mendentam dan mendeburkan pendengaranku dengan racikan asmara terkalibrasinya. Mungkin akan kutoyor bocah yang membuat liriknya, sekaligus penggubah lagunya, yang memang candu 'abis. Di bawah ini akan segera kupasang pemandangan lapangan tempat tugu tani dari ketinggian lantai sembilan, dari suatu pagi.
Ya, baru saja kuingat bahwa dulu ia dikelola oleh Hyatt seperti halnya yang di Senayan dulu oleh Hilton. Keterangan ini penting, karena Ambassador mulai menjadi Hyatt Aryaduta pada tahun kelahiranku. Nah, kata Ci Wen, jadi ketahuan 'kan umur 'lo. Memang bersejarah sekali, karena masih ada bak mandinya. Di titik ini, aku membatin, seperti apa pemandangan ke arah utara, yang gambarnya, pada Senin, 29 Juli 2024 tampak seperti di bawah itu. Seperti apa ia 50 tahun sebelumnya, apakah masih ada yang mandi di Ciliwung perkasa, di meander gang prapatan ini.
Hei, meski Arthur masih terpesona, aku sudah tidak merasakan apa-apa. Ke mana perginya pesona tujuh tahun lalu itu, seekor merpati putih itu. Pergi saja kau, memang aku sudah tidak peduli. Hanya saja malam ini bersama Arthur, harus kuakui, kami masih sama-sama terpesona. Malam-malam ketika aku terbangun, turun membeli sebotol besar air botolan, tiga bungkus kerupuk legendaris, masih ditambah secangkir plastik minuman jahe merah. Aku bahkan tidak mulai mengitiki ketika itu, takut tambah tidak bisa tidur. Maka aku hanya membaca-baca bersama kegondrongan.
Uah, untung masih tertancap dia di situ. Padahal sudah kupindah. Padahal tadi, ketika diajak jatuh cinta, ia tiba-tiba tercekat. Itu lihat di sudut kanan bawah gambar di atas, ada mushala atau malah mesjid kecil di situ. Apakah dari situ datangnya tarhim yang membangunkanku, yang membuatku sholat qobliyah subuh. Mencoba tidur lagi setelah subuh, gagal. Mencoba mengetiki sambil menunggu jam enam agak lewat, akhirnya turun sarapan. Diganggu Prof. Sedar, lalu Pak Ilham, HP-11CB hanya teronggok di situ. Tidak. Tempatku di sini, di kamarku sendiri sini.
HP-11CB ini pelantangnya sedap-sedap renyah begini. Aku memang tidak terlalu membutuhkan dentam berdebam kecuali yang memang kusumpalkan di telinga, meski aku bersyukur tivi pintarku mantap pelantangnya. Bahkan bass orkes telerama pengirim oom Boudewijn Maulana sampai terdengar sedap berdentam-dentam. Apa setelah ini aku masih sanggup menghasilkan entri yang lebih koheren dari ini, atau langsung mencoba tidur, entahlah. Rasanya aku masih ingin berkarya. Aku tidak rela tidur sedang hanya entri inkoheren ini hasilnya. Aku tidak tahu.