Dengan entri ini, maka genaplah 2023 menjadi tahun tersegalanya dalam semesta kegondrongan ini. Ini kutandai dengan membuat folder baru bertajuk Majujaya 2024 yang bahkan dulu seingatku bilangannya tidak sebanyak itu. Ada juga sepuluh tahun lalu kemajuan dan kejayaan kudoakan karena kali pertama aku diangkat menjadi semacam manajer begitu, bisa diperiksa dalam entri-entri awal pada tahun itu (halah!). Entah bagaimana di titik ini aku seperti menyusuri Kalijodo, Kramat Tunggak dan sebagainya seakan-akan aku pernah ke sana. Betapatah aku.
Aku bahkan ditendang melambung jauh ke persambungan antara Yado I dan III di sekitar tembok spiderman, atau paralelnya yang menyambungkan Haji Sajim dan Kweni ke arah barat sana. Jendela penuh bertempel stiker, salah satunya bertuliskan RAPI yang merupakan singkatan dari Radio Antar Penduduk Indonesia. Ketika itu aku bahkan belum lagi tinggal di situ, masih baru berkunjung ke rumah kakek-nenekku. Apakah sepulang membeli cenil, gethuk, lupis, grontol dan kawan-kawannya, setelah 20 tahun kemudian berubah jadi tahu daging.
Seperti ini bentuk pikiran, ingatan, tidak runtut menurut aturan waktu atau sebab-akibat tetapi berkebat-kebit. Seperti membonceng Cantik mengelilingi boulevard Grand Depok City, ke arah sebaliknya diterjang badai; atau aku yang menerjang badai. Badai tetap di situ saja dengan titik-titik air yang besar jatuh nyaris mendatar dihembus kuatnya angin, menghantam wajah tak bervisor sampai sakit. Meski berponcho tetap saja basah kuyup sampai ke dalam-dalam, kecuali celana fromage yang relatif tetap kering, kecuali bagian pantatnya. Rincian ini teramat penting bagiku.
Rumah yang gelap tanpa satu lampu pun menyala di malam hari ketika semua penghuninya tidur adalah rumah yang hemat energi, hemat biaya. Nasi goreng menjadi spesial sekadar ditambahi telur ceplok seharga enam ribu rupiah, sedangkan Barbra menyenandung betapa ia tidak akan bertahan sehari pun tanpaku. Betapa dua orang lelaki perempuan dapat saling mencinta seperti itu, seperti aku dan Cantik. Jika ia sampai terpaksa kerembetan kecoak atau apapun, itu kesalahanku sendiri, dengan ketololan-ketololan yang masih saja kuulangi sampai detik ini. Setolol itu.
Ternyata Cantik tidak suka jika Barbra tidak bisa bertahan sehari pun tanpaku. Ia menghardik Barbra, menyuruhnya mencari lagunya sendiri untuk dinyanyikan. Tidak usah menyanyi-nyanyikan lagu orang. Kukatakan padanya, dulu semua orang begitu, banyak orang menyanyikan lagu yang sama dengan tafsir dan pembawaan masing-masing. Memang begitulah kenangan, termasuk cara kita dulu, semua tanpa Barbra mengubah bengkok hidungnya sesenti pun. Memang begitu seharusnya. Kekurangan itulah yang menjadi ciri khas, sebab cintanya belahan jiwa.
Mulai sekarang, kau hanya seseorang yang pernah kucintai. Astaga, sedih sekali sampai mengaduk-aduk perasaanku entah sejak kapan. Ingatanku selalu set furnitur yang kalau tidak salah dibeli di Galur, dan cat yang cenderung terakota atau pernah kuning lembut. Suara irama indah mengalun memenuhi ruangan yang depannya diteduhi oleh pohon palem berbuah gatal dan dadap di luar pagar. Menyapu halaman depan yang tidak seberapa itu saja seingatku dulu cukup merepotkan, apalagi ketika setelah pindah ke Radio Dalam, yakni, ketika Barong masih belum datang.
Aku seekor anak domba yang tersesat di hutan, namun aku selalu yakin akan baik-baik saja selama ada gembalaku, karena ia akan menemukanku dan menyatukanku kembali dengan indukku sayang. Di titik ini, aku berada di ruang flex memandangi garis langit Amsterdam yang kelabu. Udara seperti biasa dingin, namun sejuk saja dalam ruangan ini. Bahkan sangat bisa jadi aku menyanding secangkir besar teh beraroma, roti bawang, croissant keju, atau semacamnya. Terpenting, sup instan berbagai rasa yang sering kutinggal di mejaku, kunikmati kapan kumau. Begitulah.
Aku bahkan ditendang melambung jauh ke persambungan antara Yado I dan III di sekitar tembok spiderman, atau paralelnya yang menyambungkan Haji Sajim dan Kweni ke arah barat sana. Jendela penuh bertempel stiker, salah satunya bertuliskan RAPI yang merupakan singkatan dari Radio Antar Penduduk Indonesia. Ketika itu aku bahkan belum lagi tinggal di situ, masih baru berkunjung ke rumah kakek-nenekku. Apakah sepulang membeli cenil, gethuk, lupis, grontol dan kawan-kawannya, setelah 20 tahun kemudian berubah jadi tahu daging.
Seperti ini bentuk pikiran, ingatan, tidak runtut menurut aturan waktu atau sebab-akibat tetapi berkebat-kebit. Seperti membonceng Cantik mengelilingi boulevard Grand Depok City, ke arah sebaliknya diterjang badai; atau aku yang menerjang badai. Badai tetap di situ saja dengan titik-titik air yang besar jatuh nyaris mendatar dihembus kuatnya angin, menghantam wajah tak bervisor sampai sakit. Meski berponcho tetap saja basah kuyup sampai ke dalam-dalam, kecuali celana fromage yang relatif tetap kering, kecuali bagian pantatnya. Rincian ini teramat penting bagiku.
Rumah yang gelap tanpa satu lampu pun menyala di malam hari ketika semua penghuninya tidur adalah rumah yang hemat energi, hemat biaya. Nasi goreng menjadi spesial sekadar ditambahi telur ceplok seharga enam ribu rupiah, sedangkan Barbra menyenandung betapa ia tidak akan bertahan sehari pun tanpaku. Betapa dua orang lelaki perempuan dapat saling mencinta seperti itu, seperti aku dan Cantik. Jika ia sampai terpaksa kerembetan kecoak atau apapun, itu kesalahanku sendiri, dengan ketololan-ketololan yang masih saja kuulangi sampai detik ini. Setolol itu.
Ternyata Cantik tidak suka jika Barbra tidak bisa bertahan sehari pun tanpaku. Ia menghardik Barbra, menyuruhnya mencari lagunya sendiri untuk dinyanyikan. Tidak usah menyanyi-nyanyikan lagu orang. Kukatakan padanya, dulu semua orang begitu, banyak orang menyanyikan lagu yang sama dengan tafsir dan pembawaan masing-masing. Memang begitulah kenangan, termasuk cara kita dulu, semua tanpa Barbra mengubah bengkok hidungnya sesenti pun. Memang begitu seharusnya. Kekurangan itulah yang menjadi ciri khas, sebab cintanya belahan jiwa.
Mulai sekarang, kau hanya seseorang yang pernah kucintai. Astaga, sedih sekali sampai mengaduk-aduk perasaanku entah sejak kapan. Ingatanku selalu set furnitur yang kalau tidak salah dibeli di Galur, dan cat yang cenderung terakota atau pernah kuning lembut. Suara irama indah mengalun memenuhi ruangan yang depannya diteduhi oleh pohon palem berbuah gatal dan dadap di luar pagar. Menyapu halaman depan yang tidak seberapa itu saja seingatku dulu cukup merepotkan, apalagi ketika setelah pindah ke Radio Dalam, yakni, ketika Barong masih belum datang.
Aku seekor anak domba yang tersesat di hutan, namun aku selalu yakin akan baik-baik saja selama ada gembalaku, karena ia akan menemukanku dan menyatukanku kembali dengan indukku sayang. Di titik ini, aku berada di ruang flex memandangi garis langit Amsterdam yang kelabu. Udara seperti biasa dingin, namun sejuk saja dalam ruangan ini. Bahkan sangat bisa jadi aku menyanding secangkir besar teh beraroma, roti bawang, croissant keju, atau semacamnya. Terpenting, sup instan berbagai rasa yang sering kutinggal di mejaku, kunikmati kapan kumau. Begitulah.
No comments:
Post a Comment