Adakah aku berada di mana membuka suatu entri dengan cara begini. Apakah entri selalu mengenai kenangan masa muda, sedang kenangan itu terus saja bermain di depan mata. Kenangan akan markas militer yang suasananya tidak ramah meski hujan mengguyur padang rumput hijau dikelilingi pepohonan. Bagaimana dengan tempat kerjaku sendiri yang merupakan lembaga pendidikan dihajar teriknya matahari tiada ampun, sedang mug vakum aluminium berisi seduhan jahe wangi sido muncul dua saset sekaligus, masih dengan sekantung teh benderanya wangi sekali eee.
Aku seorang bapak. Seorang bapak macam apa bukan urusanku, melainkan urusan semua orang lain kecuali aku. Apakah aku bapak pucung atau lalat kuda atau kunyuk sekalipun, aku tidak bisa protes. Aku hanya harus menerima saja. Sementara seorang bapak sungguhan yang jauh lebih langsing dariku dan tampak lebih sehat sedang membeli roti pisang dua potong diikuti anak-anak perempuannya, aku di sini berteman lalat kuda, di meja yang bergoyang-goyang menjengkelkan ini. Terbang, hinggap, terbang lagi, hinggap lagi, sambil menjilat-jilat permukaan meja.
Kini seorang bapak yang setidaknya setambun aku atau bahkan lebih lagi duduk di hadapanku menghadap ke timur seperti candi-candi jaman Medang. Dari depan tadi ia tampak seperti Agus bapaknya Theo dan Mikail, namun dari samping sini justru seperti khayalan Muhammad Yamin mengenai Gajah Mada. Astaga, bukan hanya lalat kuda, melainkan lalat hijau dan lalat biasa sekaligus beterbangan di sekitarku. Meski berada di keteduhan bahkan berpendingin udara, panas dari luar tak ayal menerobos dari pintu utama yang terbuka lebar. Entah sedang apa aku ini.
Lebih entah lagi, madu telah bersamaku tak tahu sejak kapan, meski mungkin mulai sangat akrab di Cimone. Seingatku, ia bersama dengan Julie dan Laura tidak kuajak ke Magelang. Maduku di Magelang justru bersama dengan kasihku yang pergi kerja naik bis sambil mendoakanku. Ah, waktu-waktu itu tentu ia belum kerja karena aku pun masih sekolah. Namun madu, kasihku, dan tatapan cinta mewarnai hari-hari remaja tanggung, bahkan di antara G17 dan G19, di malam yang sejuk itu. Ah, malam-malam memang selalu sejuk ketika itu, meski berkeringat apelku.
Sungguh aku gagal mengingat sampulnya. Apakah ia di sebalikmu, sinar mentari hidupku, sungguh aku lupa. Hanya kuingat dua putri Leia samar-samar itu. Bahkan harmoni tiada bersampul, hanya ada tulisan tangan ibuku. Aku juga ingat suatu sore bermendung, aku kembali ke kelas berteman keindahan-keindahan ini sampai ruang kelas gelap karena sudah hampir maghrib. Kelakuan seperti ini masih mungkin di Magelang, tidak sebagai calon prajurit, sampai kopral taruna di Surabaya. Ketika itu lain lagi, mencipta lagu tanpa alat musik, hanya membayangkan nadanya.
Akankah tiba masanya lompatan-lompatan kuantum ini tak bermakna. Dalam tahun-tahun yang telah berlalu ada saja rumpang, terkadang demikian panjang, di sana-sini. Jadi bukan kehilangan makna secara permanen, namun memang tergantung waktunya. Jelasnya, inilah temanku satu-satunya kepada siapa aku bisa berbagi apapun yang berkebat-kebit. Ah, ya, begitu aku sampai Phoenix tidak selesai karena pitanya habis. Hahaha, walau mungkin setelah-setelahnya memang tidak berapa cantik. Jaraknya pun lumayan jauh, 1973 ke 1968. Begitulah ianya.
Ketika entri ini kutayangkan sudah hari natal 2023. Astaga, tidakkah natal seharusnya 1982 dan tahun barunya 1983 atau semacam itu. Wajar saja jika udara terik membakar atau pengap merebus. Pantas saja jika Masjid Jami Nurul Islam demikian megahnya, meski seperti dahulu masih sempit dan aneh bangunannya karena dipaksakan menghadap kiblat. Apa yang kulakukan dulu sampai beberapa kali shalat di situ siang-siang hari, ketika matahari belum semarah ini dan badanku belum selemah ini. Suara keheningan yang tak pernah kudengar karena memang tak pernah sampai.
Aku seorang bapak. Seorang bapak macam apa bukan urusanku, melainkan urusan semua orang lain kecuali aku. Apakah aku bapak pucung atau lalat kuda atau kunyuk sekalipun, aku tidak bisa protes. Aku hanya harus menerima saja. Sementara seorang bapak sungguhan yang jauh lebih langsing dariku dan tampak lebih sehat sedang membeli roti pisang dua potong diikuti anak-anak perempuannya, aku di sini berteman lalat kuda, di meja yang bergoyang-goyang menjengkelkan ini. Terbang, hinggap, terbang lagi, hinggap lagi, sambil menjilat-jilat permukaan meja.
Kini seorang bapak yang setidaknya setambun aku atau bahkan lebih lagi duduk di hadapanku menghadap ke timur seperti candi-candi jaman Medang. Dari depan tadi ia tampak seperti Agus bapaknya Theo dan Mikail, namun dari samping sini justru seperti khayalan Muhammad Yamin mengenai Gajah Mada. Astaga, bukan hanya lalat kuda, melainkan lalat hijau dan lalat biasa sekaligus beterbangan di sekitarku. Meski berada di keteduhan bahkan berpendingin udara, panas dari luar tak ayal menerobos dari pintu utama yang terbuka lebar. Entah sedang apa aku ini.
Lebih entah lagi, madu telah bersamaku tak tahu sejak kapan, meski mungkin mulai sangat akrab di Cimone. Seingatku, ia bersama dengan Julie dan Laura tidak kuajak ke Magelang. Maduku di Magelang justru bersama dengan kasihku yang pergi kerja naik bis sambil mendoakanku. Ah, waktu-waktu itu tentu ia belum kerja karena aku pun masih sekolah. Namun madu, kasihku, dan tatapan cinta mewarnai hari-hari remaja tanggung, bahkan di antara G17 dan G19, di malam yang sejuk itu. Ah, malam-malam memang selalu sejuk ketika itu, meski berkeringat apelku.
Sungguh aku gagal mengingat sampulnya. Apakah ia di sebalikmu, sinar mentari hidupku, sungguh aku lupa. Hanya kuingat dua putri Leia samar-samar itu. Bahkan harmoni tiada bersampul, hanya ada tulisan tangan ibuku. Aku juga ingat suatu sore bermendung, aku kembali ke kelas berteman keindahan-keindahan ini sampai ruang kelas gelap karena sudah hampir maghrib. Kelakuan seperti ini masih mungkin di Magelang, tidak sebagai calon prajurit, sampai kopral taruna di Surabaya. Ketika itu lain lagi, mencipta lagu tanpa alat musik, hanya membayangkan nadanya.
Akankah tiba masanya lompatan-lompatan kuantum ini tak bermakna. Dalam tahun-tahun yang telah berlalu ada saja rumpang, terkadang demikian panjang, di sana-sini. Jadi bukan kehilangan makna secara permanen, namun memang tergantung waktunya. Jelasnya, inilah temanku satu-satunya kepada siapa aku bisa berbagi apapun yang berkebat-kebit. Ah, ya, begitu aku sampai Phoenix tidak selesai karena pitanya habis. Hahaha, walau mungkin setelah-setelahnya memang tidak berapa cantik. Jaraknya pun lumayan jauh, 1973 ke 1968. Begitulah ianya.
Ketika entri ini kutayangkan sudah hari natal 2023. Astaga, tidakkah natal seharusnya 1982 dan tahun barunya 1983 atau semacam itu. Wajar saja jika udara terik membakar atau pengap merebus. Pantas saja jika Masjid Jami Nurul Islam demikian megahnya, meski seperti dahulu masih sempit dan aneh bangunannya karena dipaksakan menghadap kiblat. Apa yang kulakukan dulu sampai beberapa kali shalat di situ siang-siang hari, ketika matahari belum semarah ini dan badanku belum selemah ini. Suara keheningan yang tak pernah kudengar karena memang tak pernah sampai.
No comments:
Post a Comment