"Hanya masalahnya, asaptaga, semua ini khayal belaka," gumamnya lirih tak terdengar oleh siapapun kecuali dirinya sendiri. Betapatah aku akan berkarya, mengungkap dan menyatakan kebenaran, jika di hadapanku gudang penuh bergelantungan celana dalam dan pembalut wanita berkali pakai. Oh, anakku wanita yang tidak sayang padaku. Semua cintaku serasa sia-sia mengenang betapa cantiknya ia membelai-belai hati, perasaan, dan khayalku sejak muda remaja. Di atas loteng dapur panggung itu, sedang rawa menguar metana dan amonia. Bahkan air mandi pula hijau berbau.
Seorang tukang daging yang berpikir bisnis akan menjalankan dirinya sendiri sedang ia akan sibuk berpuisi, sedang puisinya tidak bergaya miskin selera, sedang kelaminnya kecil enggan tegak. Benar-benar kurang ajar si tukang ngibul kelas dunia ini. Apalah bedanya dengan Ria atau Rani yang sungguh aku lupa bagaimana ceritanya, hanya ingat betapa ia menyemburkan makanan kecoak. Tidakkah baunya kemana-mana ketika itu, sama bodohnya seperti mencoba menghapus bau asap rokok dengan berkumur pasta gigi. Semua ketololan itu, siapa sudi kembali ke situ, 'Lol.
Suasana ini tak kutemukan padanannya. Sejuk-nyamannya udara pagi yang sudah sangat larut menjelang siang. Aku butuh udara setidaknya sebebas ini, semenghirup ini, meski saat ini botakan hutan tidak menguarkan hawa-hawa pelarian lautan. Ini mungkin lebih baik daripada dupa yang jelas-jelas menghasilkan asap jelaga. Ini uap yang mungkin tidak terlalu merugikan kesehatan asal tidak dihirup langsung, sedang kusanding sejebung besar teh jawa manis jambu. Sungguh aku berharap seandainya ini kopi meski secangkir kecil saja... Untuk apa lagi ada cinta.
Sungguh aku tertantang seperti kentang ketantang dan berbagai resep lainnya untuk merayakan ulang tahun Femina yang entah keberapa; termasuk kue kaget 'nyemprot, suzie cola, entah apa lagi. Betapa anehnya hidup tanpa Bapak, betapa anehnya hidup tanpa John Gunadi. Semua orang mencari mainan baru sambil menyesali ketololan mengapa gaya-gayaan, ketika Pak Adijaya saja meninggalkan dunia fana tanpa pernah doktor. Bapaknya Madison berpulang pada Penciptanya setelah profesor penuh. Aku malah mengetiki seakan waktu takkan pernah ada akhirnya.
Cara-cara lama sudah tidak akan berhasil, aku tahu. Satu yang belum pernah benar-benar kualami, mengerjakan segala sesuatu karena ingin, tidak karena harus. Selama ini aku hanya mengerjakan keharusan, jika tidak kukerjakan maka hal-hal buruk akan menimpa. Mengapa tidak jika kukerjakan maka berbagai kesenangan akan susul-menyusul menerpa. Mengapa tidak begitu saja. Dunia modern ini, bisa jadi setelah tiga, lima, atau bahkan tujuh abad terakhir ini, sudah pasti antikristus itu sendiri. Orang selalu butuh sedikit sihir, sekelumit saja keajaiban dalam hidupnya.
Oh, Donat yang tidak pernah benar-benar kusuka dalam hidupku, kecuali sedikit krim Boston. Aku lupa adakah pernah kubeli donat kampung bertabur gula halus yang dijual dalam kotak kaca dipanggul di bahu. Jikapun pernah kurasa tidak jauh-jauh dari kolam renang. Aku cukup senang pernah mengalaminya, namun mengulangi jelas tidak mau. Apa coba yang kudapat dan kulakukan sepulang dari kolam renang. Dari mana aku dapat uang jika tidak diberi Ibu. Kini uangku begitu saja masuk rekening bank meski aku bekerja lumayan banting lemak setiap harinya.
Dorongan terkuat yang kurasakan di paragraf terakhir entri ini adalah berbaring-baring sambil membaca bualan tukang kibul kelas dunia. Jangan-jangan dulu kulakukan di kos Qodir entah siapa di ujung Gang Kober itu, yang benar-benar sudah dekat sekali dengan kober. Adakah tiap hari aku kesitu, sedang rumahku ada meski kontrakan, mungkin belum dibayar. Atau tidak. Ini adalah waktu kumbang-kumbang di taman dan malam-malam bersama Mas Oho dan Mbak Feni, Mbak Eksi, entah siapa lagi. Siang aku membaca-baca, malam berbual-bual, tidur entah di mana.
Seorang tukang daging yang berpikir bisnis akan menjalankan dirinya sendiri sedang ia akan sibuk berpuisi, sedang puisinya tidak bergaya miskin selera, sedang kelaminnya kecil enggan tegak. Benar-benar kurang ajar si tukang ngibul kelas dunia ini. Apalah bedanya dengan Ria atau Rani yang sungguh aku lupa bagaimana ceritanya, hanya ingat betapa ia menyemburkan makanan kecoak. Tidakkah baunya kemana-mana ketika itu, sama bodohnya seperti mencoba menghapus bau asap rokok dengan berkumur pasta gigi. Semua ketololan itu, siapa sudi kembali ke situ, 'Lol.
Suasana ini tak kutemukan padanannya. Sejuk-nyamannya udara pagi yang sudah sangat larut menjelang siang. Aku butuh udara setidaknya sebebas ini, semenghirup ini, meski saat ini botakan hutan tidak menguarkan hawa-hawa pelarian lautan. Ini mungkin lebih baik daripada dupa yang jelas-jelas menghasilkan asap jelaga. Ini uap yang mungkin tidak terlalu merugikan kesehatan asal tidak dihirup langsung, sedang kusanding sejebung besar teh jawa manis jambu. Sungguh aku berharap seandainya ini kopi meski secangkir kecil saja... Untuk apa lagi ada cinta.
Sungguh aku tertantang seperti kentang ketantang dan berbagai resep lainnya untuk merayakan ulang tahun Femina yang entah keberapa; termasuk kue kaget 'nyemprot, suzie cola, entah apa lagi. Betapa anehnya hidup tanpa Bapak, betapa anehnya hidup tanpa John Gunadi. Semua orang mencari mainan baru sambil menyesali ketololan mengapa gaya-gayaan, ketika Pak Adijaya saja meninggalkan dunia fana tanpa pernah doktor. Bapaknya Madison berpulang pada Penciptanya setelah profesor penuh. Aku malah mengetiki seakan waktu takkan pernah ada akhirnya.
Cara-cara lama sudah tidak akan berhasil, aku tahu. Satu yang belum pernah benar-benar kualami, mengerjakan segala sesuatu karena ingin, tidak karena harus. Selama ini aku hanya mengerjakan keharusan, jika tidak kukerjakan maka hal-hal buruk akan menimpa. Mengapa tidak jika kukerjakan maka berbagai kesenangan akan susul-menyusul menerpa. Mengapa tidak begitu saja. Dunia modern ini, bisa jadi setelah tiga, lima, atau bahkan tujuh abad terakhir ini, sudah pasti antikristus itu sendiri. Orang selalu butuh sedikit sihir, sekelumit saja keajaiban dalam hidupnya.
Oh, Donat yang tidak pernah benar-benar kusuka dalam hidupku, kecuali sedikit krim Boston. Aku lupa adakah pernah kubeli donat kampung bertabur gula halus yang dijual dalam kotak kaca dipanggul di bahu. Jikapun pernah kurasa tidak jauh-jauh dari kolam renang. Aku cukup senang pernah mengalaminya, namun mengulangi jelas tidak mau. Apa coba yang kudapat dan kulakukan sepulang dari kolam renang. Dari mana aku dapat uang jika tidak diberi Ibu. Kini uangku begitu saja masuk rekening bank meski aku bekerja lumayan banting lemak setiap harinya.
Dorongan terkuat yang kurasakan di paragraf terakhir entri ini adalah berbaring-baring sambil membaca bualan tukang kibul kelas dunia. Jangan-jangan dulu kulakukan di kos Qodir entah siapa di ujung Gang Kober itu, yang benar-benar sudah dekat sekali dengan kober. Adakah tiap hari aku kesitu, sedang rumahku ada meski kontrakan, mungkin belum dibayar. Atau tidak. Ini adalah waktu kumbang-kumbang di taman dan malam-malam bersama Mas Oho dan Mbak Feni, Mbak Eksi, entah siapa lagi. Siang aku membaca-baca, malam berbual-bual, tidur entah di mana.
No comments:
Post a Comment