Judul adalah bla bla bla, gunanya untuk bla bla bla, maka harus bla bla bla... Kalau aku tidak mau menerima pemaknaan apapun, merasa tidak berguna dan tidak ada yang berguna, tidak suka diharuskan, lantas mengapa aku harus memaknai, menggunakan, mengharuskan. Judul adalah apa yang ada di atas, di depan, di awal, suka-sukamu lah, karena judulku pun suka-sukaku. Judul gunanya untuk biar ada saja yang di atas, atau di depan, atau di awal, suka-sukamu lah, karena judulku pun aku tak suka. Maka judul harus suka-suka, mau dia ada hubungannya dengan isi tulisan kakek-moyangnya entah siapa atau tidak, suka-sukamu lah, karena judulku pun tak 'kuharuskan apapun. Tak sengaja, terhirup susu Prendjak.
Nah, tahukah kau siapa itu Prendjak? Prendjak adalah seorang ledek terkenal yang membuat Mamisy sakit kepala sampai harus minum telor kocok mentah sama merica sama madu. Sebenarnya bukan Prendjaknya benar yang membuat sakit kepala Mamisy, tapi Papisy yang pakai menyeretnya ke kamar yang telah tersedia, setelah menayubnya berputar-putar, pakai segala menciumnya. Aku bisa membayangkan wajah ledek itu. Mungkin dengan teatrikal ia membelalakkan matanya, seakan baru kali pertama itu seorang lelaki paruh baya menyerempet pipinya dengan bibir.
Berapa umur Prendjak kala itu, masih belasan? Jangan-jangan lima belas tahun. Papisy umur berapa waktu itu. Mungkin belum paruh baya benar. Mungkin bahkan pada akhir tiga puluhan atau awal empat puluhan begitu. Masih gagah Papisy ketika itu. Namun ya Papisy 'kan sudah pantas jadi bapaknya Prendjak. Prendjak bisa jadi anak sulung Papisy, meski haram jadah karena kebiasaan Papisy buang-buang tahi macan sembarangan di awal usia dua puluhannya. Jangan-jangan ibunya Prendjak seorang sinden atau ledek juga. Lho lho ini kenak'apa mengitiki jadi seperti cerpen begini.
Daripada mengitiki penyalahgunaan obat dan pelacuran, aku membiarkan diriku terbetot suasana hati ke atas sebentuk sofa di ruang tamu sebuah apartemen yang terbilang mewah di bilangan Zwanenstraat, Maastricht, gara-gara bulan berwarna kuning. Mudaku adalah awal tiga puluhan, karena awal dua puluhan dengan penuh kesengajaan dan kesadaran aku menolak muda. Aku sengaja melompati tahun-tahunku, meski betulkah penuh kesadaran aku tidak yakin juga. Aku, dengan hidupku sendiri, terbiasa melompat duluan sambil berteriak "Komando!" dan berpikir belakangan. Bagaimana jika ternyata di depanku jurang dalam. Entahlah...
Sudah tak terhitung kalinya dalam hidupku orang mencemooh karena aku terlahir romantis, sentimental, melankolis, hiperbolis entah apa lagi. Aku sampai lupa pernahkah aku benar-benar jengkel karenanya, ketika Bapakku sendiri pun tersenyum penuh arti pada ceritaku yang penuh emosi dan heroisme. Seperti dini hari yang gerah karena di utara sedang badai ini, seperti itulah suasana hatiku. Entah sudah tak terhitung kalinya ia begitu. Salah satunya ketika aku menghadapi si Hijau-cantik Bisa-terbang, dengan seslof Bentoel biru dan sebaskom kopi. Ya, aku setolol itu.
Minak Djinggo nyatanya tidak pernah lama bersamaku, meski kami menghabiskan banyak malam berdua saja, ia berbatang-batang. Seingatku ketika itu belum terlalu alkohol, bahkan bir pun tak. Ingatanku mengenai alkohol selalu mengenai kesedihan dan kemarahan. Bersama Minak Djinggo aku tidak marah. Sedih sedikit mungkin ya, namun marah jelas tidak. Marahku seperti biasa pada kesenjangan, ketimpangan, namun Minak Djinggo menemani malam-malamku seperti seorang kawan yang lebih tua dan bijaksana. Seperti itulah rasanya 'ku bersama Minak Djinggo.
Lembut-bintang memang sudah sejak awal kadang-kadang, meski akhir-akhirnya hampir tidak pernah biru, selalu hijau. Ah, kenangan akan Robert Redford dan Barbra Streissand yang komunis dan berhidung Yahudi itu, mengingatkanku akan Cahaya-bintang yang menjadi bagian dari hari-hariku entah berapa minggu berapa bulan. Jangankan ia, Maknya Soleh penjual nasi goreng pun aku tak peduli. Seperti inilah seharusnya entri. Ia tidak koheren, seperti ketika Max Saphiro baru pulang dari patrolinya yang legendaris di Makin. Aku memang hanya sok jagoan.
Nah, tahukah kau siapa itu Prendjak? Prendjak adalah seorang ledek terkenal yang membuat Mamisy sakit kepala sampai harus minum telor kocok mentah sama merica sama madu. Sebenarnya bukan Prendjaknya benar yang membuat sakit kepala Mamisy, tapi Papisy yang pakai menyeretnya ke kamar yang telah tersedia, setelah menayubnya berputar-putar, pakai segala menciumnya. Aku bisa membayangkan wajah ledek itu. Mungkin dengan teatrikal ia membelalakkan matanya, seakan baru kali pertama itu seorang lelaki paruh baya menyerempet pipinya dengan bibir.
Berapa umur Prendjak kala itu, masih belasan? Jangan-jangan lima belas tahun. Papisy umur berapa waktu itu. Mungkin belum paruh baya benar. Mungkin bahkan pada akhir tiga puluhan atau awal empat puluhan begitu. Masih gagah Papisy ketika itu. Namun ya Papisy 'kan sudah pantas jadi bapaknya Prendjak. Prendjak bisa jadi anak sulung Papisy, meski haram jadah karena kebiasaan Papisy buang-buang tahi macan sembarangan di awal usia dua puluhannya. Jangan-jangan ibunya Prendjak seorang sinden atau ledek juga. Lho lho ini kenak'apa mengitiki jadi seperti cerpen begini.
Daripada mengitiki penyalahgunaan obat dan pelacuran, aku membiarkan diriku terbetot suasana hati ke atas sebentuk sofa di ruang tamu sebuah apartemen yang terbilang mewah di bilangan Zwanenstraat, Maastricht, gara-gara bulan berwarna kuning. Mudaku adalah awal tiga puluhan, karena awal dua puluhan dengan penuh kesengajaan dan kesadaran aku menolak muda. Aku sengaja melompati tahun-tahunku, meski betulkah penuh kesadaran aku tidak yakin juga. Aku, dengan hidupku sendiri, terbiasa melompat duluan sambil berteriak "Komando!" dan berpikir belakangan. Bagaimana jika ternyata di depanku jurang dalam. Entahlah...
Sudah tak terhitung kalinya dalam hidupku orang mencemooh karena aku terlahir romantis, sentimental, melankolis, hiperbolis entah apa lagi. Aku sampai lupa pernahkah aku benar-benar jengkel karenanya, ketika Bapakku sendiri pun tersenyum penuh arti pada ceritaku yang penuh emosi dan heroisme. Seperti dini hari yang gerah karena di utara sedang badai ini, seperti itulah suasana hatiku. Entah sudah tak terhitung kalinya ia begitu. Salah satunya ketika aku menghadapi si Hijau-cantik Bisa-terbang, dengan seslof Bentoel biru dan sebaskom kopi. Ya, aku setolol itu.
Minak Djinggo nyatanya tidak pernah lama bersamaku, meski kami menghabiskan banyak malam berdua saja, ia berbatang-batang. Seingatku ketika itu belum terlalu alkohol, bahkan bir pun tak. Ingatanku mengenai alkohol selalu mengenai kesedihan dan kemarahan. Bersama Minak Djinggo aku tidak marah. Sedih sedikit mungkin ya, namun marah jelas tidak. Marahku seperti biasa pada kesenjangan, ketimpangan, namun Minak Djinggo menemani malam-malamku seperti seorang kawan yang lebih tua dan bijaksana. Seperti itulah rasanya 'ku bersama Minak Djinggo.
Lembut-bintang memang sudah sejak awal kadang-kadang, meski akhir-akhirnya hampir tidak pernah biru, selalu hijau. Ah, kenangan akan Robert Redford dan Barbra Streissand yang komunis dan berhidung Yahudi itu, mengingatkanku akan Cahaya-bintang yang menjadi bagian dari hari-hariku entah berapa minggu berapa bulan. Jangankan ia, Maknya Soleh penjual nasi goreng pun aku tak peduli. Seperti inilah seharusnya entri. Ia tidak koheren, seperti ketika Max Saphiro baru pulang dari patrolinya yang legendaris di Makin. Aku memang hanya sok jagoan.
Aku Memang Suka Main Bapak-bapakan
No comments:
Post a Comment