Dihapuslah satu kalimat yang tidak bisa maju lebih jauh gara-gara hampir dua porsi sarapan kontinental masih ditambah dengan baramundi goreng tepung dan kentang goreng potongan Belgia. Jika seekor tapir tampak sedang menunduk malu dalam penggambaran di bawah ini, itu karena aku dulu sering meminta orang untuk menggambar tapir. Tapir ini, tidak sepertiku, tahu malu. Di sore berangin bermendung begini--yang seharusnya memang umum terjadi di Februari--aku menyumpal telingaku dengan lamaran yang lebih terdengar seperti gombalan begini; mengembalikanku ke LKHT berkubikel, yang di pertengahan 2000-an itu.
Mungkin karena kantuk yang menyerang bertubi-tubi tiap menjelang maghrib maka pikiranku mengalir seperti pasta darah dalam pembuluh pemakan makanan sampah. Lihat betapa lemahnya ragaan ini, padahal bass berdentam-dentam begini. Kejengkelan memang biasanya harus disalurkan dengan meny'plak sesuatu, namun cinta April ini membawa kenangan yang t'lah mati. Kenangan gemuk putih karena kebanyakan nyoro dalam TPS, koq berani-beraninya memakai PDL berfoto-foto dengan sisun pula. Atau lebih indah lagi, di undak-undakan rumah dinas wakil direktur RSJP, sejuknya udara malam meski tiada cinta dalam dada.
Oh, tapir hitam putihmu indah, belalai pendekmu menemaniku di lantai teraso lama sampai keramik putih model lama 1980-an akhir atau 1990-an awal. Udara sejuk belaka pada saat itu sambil membaca-baca skrip primadona atau bahkan irama-irama sinting. Nasi Padang bunga cempaka berlauk peyek udang seingatku selalu banjir kuah dan, terpenting, kecambah. Uah, kecambah belum lagi es doger. Cepat ke depan, ke kamarku di pojokan bekas gudang bekas garasi itu, komputer atas-meja yang mana aku lupa. Ini mungkin kompilasi Mas Ihsan, Tante Connie ini.
Aku tidak pernah benar-benar terkenang betung tebal, kecuali suatu hari Gani pulang dari Mampang, rumah Oom Raufnya, minta uang, dibelikan cincang. Kami sudah beberapa hari tidak punya uang dan mungkin juga tidak makan. Namun cincang, tidaklah. Untung bagiku selalu ada piring terbang ketika itu. Begitulah 'ku habiskan umur dua puluh tahunanku, agak membaik di akhir-akhir paruh keduanya. Bahkan Sasari selalu terkenang setengah tahu cina dipotong diagonal dimasak kuning. Warung bambu yang kini telah terbakar itu selalu saja indomie goreng dobel bakso.
Bahkan ketoprak telor Cak Ricak kini pun tinggal kenangan, terlebih nasi uduk stasiun UI agak kesonoan. Bakwan Malang seadanya di seberang Jang Gobay jika sedang malas makan, serta tentu Yak Mbem dengan lodeh 'cambah dan tempenya. Stasiun UI sebelum diacak-acak Jonan memang tidak permai, namun penuh dengan kehidupan. Yang lain tiada begitu penting bagiku, bahkan somay-somay apalagi batagor kuahnya, meski yang terakhir ini kenangannya mendalam. Itulah yang 'kulakukan setelahnya sudah sepuluh tahun lebih ini: Menyayangi Cantik tiap waktu.
Kemacangondrongan, bahkan, adalah suatu kebetulan yang goblog dan penuh keberuntungan, seperti ditemani warna-warna dalam hidupku dilantunkan dengan ensembel alat gesek di pagi hari berangin di Februari. Bahkan di Amsterdam pun pagi-pagi bisa berangin mendung begini di Februari, dan suhunya jelas bukan 22 derajat celsius begini. Di sana, paling banter roti lemak keju atau roti keju bawang bisa ditambah sup bawang Perancis atau sup tomat Cina jika suasana hati sedang ke situ. Di sampingnya bisa cokelat gelap panas atau sekadar peningkat kekebalan...
...yang sejujurnya mengerikan. Cantik ingin sekali ke Arab lalu ke Belanda sekali. Mungkinkah cintaku padanya yang sedalam lautan seluas samudera mengantarkan kami kembali ke sana, bergandengan tangan bersarung di bilangan Rembrandtplein makan ayam tanduri. Sesungguhnya aku lebih suka membayangkan berdua bersama Cantik di bilangan Jombor makan bakmie goreng, yang langsung membuat air liurku membanjir. Siapa tahu memang ada hari tua bagi kami, dan itu akan kami habiskan dengan mengunjungi tempat-tempat. Aku tak suka puisi 'bab hidupku t'lah puitis.
Mungkin karena kantuk yang menyerang bertubi-tubi tiap menjelang maghrib maka pikiranku mengalir seperti pasta darah dalam pembuluh pemakan makanan sampah. Lihat betapa lemahnya ragaan ini, padahal bass berdentam-dentam begini. Kejengkelan memang biasanya harus disalurkan dengan meny'plak sesuatu, namun cinta April ini membawa kenangan yang t'lah mati. Kenangan gemuk putih karena kebanyakan nyoro dalam TPS, koq berani-beraninya memakai PDL berfoto-foto dengan sisun pula. Atau lebih indah lagi, di undak-undakan rumah dinas wakil direktur RSJP, sejuknya udara malam meski tiada cinta dalam dada.
Oh, tapir hitam putihmu indah, belalai pendekmu menemaniku di lantai teraso lama sampai keramik putih model lama 1980-an akhir atau 1990-an awal. Udara sejuk belaka pada saat itu sambil membaca-baca skrip primadona atau bahkan irama-irama sinting. Nasi Padang bunga cempaka berlauk peyek udang seingatku selalu banjir kuah dan, terpenting, kecambah. Uah, kecambah belum lagi es doger. Cepat ke depan, ke kamarku di pojokan bekas gudang bekas garasi itu, komputer atas-meja yang mana aku lupa. Ini mungkin kompilasi Mas Ihsan, Tante Connie ini.
Aku tidak pernah benar-benar terkenang betung tebal, kecuali suatu hari Gani pulang dari Mampang, rumah Oom Raufnya, minta uang, dibelikan cincang. Kami sudah beberapa hari tidak punya uang dan mungkin juga tidak makan. Namun cincang, tidaklah. Untung bagiku selalu ada piring terbang ketika itu. Begitulah 'ku habiskan umur dua puluh tahunanku, agak membaik di akhir-akhir paruh keduanya. Bahkan Sasari selalu terkenang setengah tahu cina dipotong diagonal dimasak kuning. Warung bambu yang kini telah terbakar itu selalu saja indomie goreng dobel bakso.
Bahkan ketoprak telor Cak Ricak kini pun tinggal kenangan, terlebih nasi uduk stasiun UI agak kesonoan. Bakwan Malang seadanya di seberang Jang Gobay jika sedang malas makan, serta tentu Yak Mbem dengan lodeh 'cambah dan tempenya. Stasiun UI sebelum diacak-acak Jonan memang tidak permai, namun penuh dengan kehidupan. Yang lain tiada begitu penting bagiku, bahkan somay-somay apalagi batagor kuahnya, meski yang terakhir ini kenangannya mendalam. Itulah yang 'kulakukan setelahnya sudah sepuluh tahun lebih ini: Menyayangi Cantik tiap waktu.
Kemacangondrongan, bahkan, adalah suatu kebetulan yang goblog dan penuh keberuntungan, seperti ditemani warna-warna dalam hidupku dilantunkan dengan ensembel alat gesek di pagi hari berangin di Februari. Bahkan di Amsterdam pun pagi-pagi bisa berangin mendung begini di Februari, dan suhunya jelas bukan 22 derajat celsius begini. Di sana, paling banter roti lemak keju atau roti keju bawang bisa ditambah sup bawang Perancis atau sup tomat Cina jika suasana hati sedang ke situ. Di sampingnya bisa cokelat gelap panas atau sekadar peningkat kekebalan...
...yang sejujurnya mengerikan. Cantik ingin sekali ke Arab lalu ke Belanda sekali. Mungkinkah cintaku padanya yang sedalam lautan seluas samudera mengantarkan kami kembali ke sana, bergandengan tangan bersarung di bilangan Rembrandtplein makan ayam tanduri. Sesungguhnya aku lebih suka membayangkan berdua bersama Cantik di bilangan Jombor makan bakmie goreng, yang langsung membuat air liurku membanjir. Siapa tahu memang ada hari tua bagi kami, dan itu akan kami habiskan dengan mengunjungi tempat-tempat. Aku tak suka puisi 'bab hidupku t'lah puitis.
No comments:
Post a Comment