Sudah tiga entri bersama yang ini gambarannya bangsa ayam-ayaman. Yang ini adalah gambar ayam penyuling anakan. Aku suka, meski hanya gambarnya saja. Aku akan merasa tolol bahkan jika sekadar terpikir untuk berusaha memiliki dan menerbangkannya sendiri, sampai punya lisensi pilot meski privat. Tidak 'lah. Itu biar untuk Rapin saja. Ia Alhamdulillah Muslim dan Insya Allah kaya. Adakah Togar sekaya Rapin, akan atau lebih, itu terserah dia. Aku akan tetap mengitiki begini, sambil memberi gambaran-gambaran baik audio maupun visual 'tuk mengolok-olok dunia.
Begini sudah terasa sempurna, tengah malam begini memandangi ayam bumbu kuning. Bentuknya jelas lebih bagus daripada pelayang lempar yang terbuat dari gabus, yang biasa 'kubeli dulu di tukang krotok-krotok. Semakin banyak huruf 'kuberondongkan, semakin menginginkan 'ku akan susu berkerim. Suatu kemewahan dunia yang sialnya masih menarik hatiku, tidak seperti Tissot maupun Svarovski. Rasanya pasti getir cenderung asin. Sedap manis atau rasa-rasa lain hanya ada dalam khayal belaka. Kental atau encer pun bukan rasa melainkan konsistensi lendirnya.
Aku tiba-tiba gusar hahaha. Ini sempurna gara-gara ketololan. Namun ketololan atau ke-ndeso-an justru seringnya menyenangkan bahkan mengilhami. Ternyata penyebab kegusaran bisa berbeda-beda. Berbeda-beda tapi gusar jua hahaha. Ini jelas lebih baik daripada beda satukan kita. Kalau aku sudah cukup edan mungkin akan 'kubuat kaus polo bertuliskan begitu, tapi itu dulu. Sekarang biarlah dikitiki di sini saja. Jika suatu hari nanti aku lupa apa itu gusar dan apa yang membuatku begitu, akan lebih baik karena aku memang tidak mudah penasaran. Itulah memang adaku.
Abu dupa berceceran tidak di mana-mana tetapi tetap di sekitar pot plastik tempat ditancapkannya. Entah sudah berapa lama 'kucari pedupaan yang sesuai dan langgeng, sampai hari ini masih seadanya dan sementara. Tepat di sini entah mengapa aku merasa tidak sendiri dan tidak nyaman. Sudah mendekati jam satu dini hari, untung tidak terdengar suara iwak sriti. Itulah mungkin sebabnya aku bablas tidur sampai siang karena tidak ada Tjakrabirawa yang menjemput. Maka terbangunlah aku pada ketika telah terang cuaca, menghadapi kenyataan sarapan pagi setelah sekian lama...
Hari istimewa begini membuatku terpikir muffin Inggris berlapis keju cheddar Amerika berisi dua kerat sosis ayam yang asin, masih ditambah roti pita gulung berisi keju yang sama, orak-arik telur, dan sekepret daging asap yang juga asin. Namun, yang 'kuhadapi dan 'kulicin-tandaskan adalah sepiring indomie goreng jumbo biru dipugas dengan telur ceplok bumbu kare, baso ikan dan chikunguya masing-masing dua, bahkan masih ditambah beberapa keping krekers rasa ayam. Sungguh aku sudah tidak terbiasa lagi begini, aku ingin mengosong lagi. Tunggulah beberapa hari.
Tidak sampai dua belas jam dan aku tersungkur di hadapan susu berkerim, sedang kelelakianku tegak mengacung begini. Di hadapan penguasa dunia aku bisa berdiri berpongahan. Di hadapan harta mulai Karun sampai Anthony Salim aku mengeryit mencemoohkan. Di hadapan susu berkerim, lain lagi ceritanya. Kedirianku lunglai, kuyu pada ujung-ujungnya, sedang kelelakianku menegakkan tudungnya lebar-lebar sambil mematuk memagut begini. Tidak. Ini bukan tentang Sophia Latjuba apalagi anaknya Eva Celia, melainkan kegusaran lelaki yang tak bertepi...
Maka 'kugenggam kelelakianku pada tangan kanan. Dengan jari tengah dan ibu jari tangan kiri, 'kuselentik kepalanya yang tolol. Ia tentu terkejut terperanjat, namun segera kuyu setelah memuntahkan bibit-bibit kehidupan. 'Kubiarkan mereka terkejut terjerembab pada lantai kamar mandi yang lembab dingin, rusuh bertanya-tanya dalam bahasa yang hanya aku dan mereka sendiri yang mengerti. Di tengah kerusuhan itu, 'kuinjak benjret mereka. 'Kugilas-gilas di bawah tumitku seperti tembelek lincung. Entah mengapa diriku selalu ingin mencicipi berbagai kegusaran.
Begini sudah terasa sempurna, tengah malam begini memandangi ayam bumbu kuning. Bentuknya jelas lebih bagus daripada pelayang lempar yang terbuat dari gabus, yang biasa 'kubeli dulu di tukang krotok-krotok. Semakin banyak huruf 'kuberondongkan, semakin menginginkan 'ku akan susu berkerim. Suatu kemewahan dunia yang sialnya masih menarik hatiku, tidak seperti Tissot maupun Svarovski. Rasanya pasti getir cenderung asin. Sedap manis atau rasa-rasa lain hanya ada dalam khayal belaka. Kental atau encer pun bukan rasa melainkan konsistensi lendirnya.
Aku tiba-tiba gusar hahaha. Ini sempurna gara-gara ketololan. Namun ketololan atau ke-ndeso-an justru seringnya menyenangkan bahkan mengilhami. Ternyata penyebab kegusaran bisa berbeda-beda. Berbeda-beda tapi gusar jua hahaha. Ini jelas lebih baik daripada beda satukan kita. Kalau aku sudah cukup edan mungkin akan 'kubuat kaus polo bertuliskan begitu, tapi itu dulu. Sekarang biarlah dikitiki di sini saja. Jika suatu hari nanti aku lupa apa itu gusar dan apa yang membuatku begitu, akan lebih baik karena aku memang tidak mudah penasaran. Itulah memang adaku.
Abu dupa berceceran tidak di mana-mana tetapi tetap di sekitar pot plastik tempat ditancapkannya. Entah sudah berapa lama 'kucari pedupaan yang sesuai dan langgeng, sampai hari ini masih seadanya dan sementara. Tepat di sini entah mengapa aku merasa tidak sendiri dan tidak nyaman. Sudah mendekati jam satu dini hari, untung tidak terdengar suara iwak sriti. Itulah mungkin sebabnya aku bablas tidur sampai siang karena tidak ada Tjakrabirawa yang menjemput. Maka terbangunlah aku pada ketika telah terang cuaca, menghadapi kenyataan sarapan pagi setelah sekian lama...
Hari istimewa begini membuatku terpikir muffin Inggris berlapis keju cheddar Amerika berisi dua kerat sosis ayam yang asin, masih ditambah roti pita gulung berisi keju yang sama, orak-arik telur, dan sekepret daging asap yang juga asin. Namun, yang 'kuhadapi dan 'kulicin-tandaskan adalah sepiring indomie goreng jumbo biru dipugas dengan telur ceplok bumbu kare, baso ikan dan chikunguya masing-masing dua, bahkan masih ditambah beberapa keping krekers rasa ayam. Sungguh aku sudah tidak terbiasa lagi begini, aku ingin mengosong lagi. Tunggulah beberapa hari.
Tidak sampai dua belas jam dan aku tersungkur di hadapan susu berkerim, sedang kelelakianku tegak mengacung begini. Di hadapan penguasa dunia aku bisa berdiri berpongahan. Di hadapan harta mulai Karun sampai Anthony Salim aku mengeryit mencemoohkan. Di hadapan susu berkerim, lain lagi ceritanya. Kedirianku lunglai, kuyu pada ujung-ujungnya, sedang kelelakianku menegakkan tudungnya lebar-lebar sambil mematuk memagut begini. Tidak. Ini bukan tentang Sophia Latjuba apalagi anaknya Eva Celia, melainkan kegusaran lelaki yang tak bertepi...
Maka 'kugenggam kelelakianku pada tangan kanan. Dengan jari tengah dan ibu jari tangan kiri, 'kuselentik kepalanya yang tolol. Ia tentu terkejut terperanjat, namun segera kuyu setelah memuntahkan bibit-bibit kehidupan. 'Kubiarkan mereka terkejut terjerembab pada lantai kamar mandi yang lembab dingin, rusuh bertanya-tanya dalam bahasa yang hanya aku dan mereka sendiri yang mengerti. Di tengah kerusuhan itu, 'kuinjak benjret mereka. 'Kugilas-gilas di bawah tumitku seperti tembelek lincung. Entah mengapa diriku selalu ingin mencicipi berbagai kegusaran.
No comments:
Post a Comment