Ini adalah upayaku untuk menyusun ulang Botticelli sebelum menemukan, ya, menyajikan Botticelli. Sempat terlintas membuat cerita yang runtut mengenai sebuah bekas dusun di bilangan Banyurojo, Mertoyudan, Magelang, tapi itu bukan gayaku. Apakah itu mengenai impian yang hancur berkeping-keping. Apakah orang-orang waras yang sederhana berpikir ini 'ku biarkan melempariku dengan senyum penuh arti, ya, memang itu yang 'ku lakukan sepanjang hidupku. Mengobrol berdua saja bisa sangat menyenangkan, menyamankan, aku tahu memang.
Sudah empat puluh tujuh Satu Februari 'ku lalui, tentu aku lupa yang pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya aku hanya bisa mengira-ngira. Sedang Nemesis Latuconsina ini sudah tidak sedap baunya, aku ditertawakan karena berpangkat kopral taruna purnawirawan. Dinginnya pagi tidak bisa lebih dingin dari pagi-pagi mengeluarkan sampah ke tengah-tengah Kees Broekmanstraat atau Kraanspoor. Kandang-kandang sepeda, bahkan tempat mencuci baju itu, dingin, sedingin hati yang tak jua menghangat padaku. Namun, roti gandum dimagnetron selalu panas juga.
Air susu jika sampai dibalas air tuba pasti menjijikkan, karena itu berarti liur-liur Enzo Zenz Allie dan kawan-kawan satu kopelnya. Sampai di sini aku tak hendak meratapi pikiranku yang ruwet karena toh masih ada Farid Hanggawan yang pikirannya kusmasai. Apakah di kulkas masih ada mie goreng chopstix yang dimakan dengan sambal kecap botolan saja aduhai, apalagi sampai masih ada tetahuan dan foo young veggie-nya. Bisa jadi Chochomel dark atau Bengal spices, ah, langsung terasa sepi-sepi mencekamnya. Aku suka di sini saja bersama Cantik, meski ia tidak suka.
Mana berani 'ku katakan bahwa kau adalah hal terbaik yang pernah terjadi padaku di Belanda sana, bahkan sekadar udara yang 'ku hirup bisa jadi sangat meremukkan. Seandainya saja cukup tidur malam, maka pagi adalah waktu yang cocok untuk tadinya akan 'ku tulis makan nasi uduk tok pikirannya. Ternyata pagi belum tentu dingin, terutama jika Nemesis Latuconsina mendekapimu, mana bau. Sama seperti Erven Kaseh. Siapa yang berani bilang dia tidak bau, sini berkelahi denganku, demikian raung Abimanyu semasa hidupnya, yakni, sebelum masuk jebakan cakrawyuha.
Selain makna, tentu aku mengacau dengan sebab-akibat pula dalih dan dalil. Katakan pada Mas Toni Edi Riwanto betapa hidupnya, tidak seperti hidup Jimly Quasi Assilikidik, penuh makna. Betapa pencerahannya adalah suatu akibat dari pencariannya, sebagai penyebabnya. Betapa ia berdalih selalu dengan dalil-dalilnya yang intuitif dan separatos. Sudah barang tentu ia akan menyahuti premis-premismu dengan permisivitasnya yang permeatif-komutatif. 'Ku rasa aku belum pernah sejengkel barusan dalam upaya meratakan kanan kiri. Awas kalau begitu lagi. 'Ku hapus kau!
Ada waktu-waktu seperti pengar jet, entah mengapa begitu, atau akibat berpuasa aku tak tahu. Seperti terbang dari Amsterdam sekitar pukul 10.00 waktu Eropa tengah, terbang sekitar empat belas jam non stop seharusnya 'kan sampai Jakarta jam 24.00 waktu eropa tengah, eh, ini koq sampai-sampai sudah pagi. Jadilah baru mulai mengantuk sekitar subuh waktu Indonesia barat, tidur bisa sampai lepas dhuhur hampir ashar. Lucu memang pengar jet itu. Sembuhnya kapan dan bagaimana pun tidak tahu. Tahu-tahu sembuh saja dan bagiku itu bisa makan waktu dua mingguan.
Di alinea [atau paragraf?] terakhir ini, pernah juga aku serasa kurang tidur justru bermotor ke bilangan Pondok Indah untuk mengikuti tes bahasa Inggris. Malah bertemu Fachrurrozi di situ, malah rasanya seperti masuk angin berat, kepala sakit bukan alang-kepalang. Istirahat sebentar siang sampai hampir sore di ndalem Radio Dalam, dilanjut tes bicara di ruko-ruko Margaguna. Ketika itu pulang-pergi masih menyongklang VarioSty riwayatmu dulu. Kini aku menyongklang VarioSua entah sampai kapan. Seperti inilah kisah-kisah yang takkan lekang dimakan pakai sambal petis.
Sudah empat puluh tujuh Satu Februari 'ku lalui, tentu aku lupa yang pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya aku hanya bisa mengira-ngira. Sedang Nemesis Latuconsina ini sudah tidak sedap baunya, aku ditertawakan karena berpangkat kopral taruna purnawirawan. Dinginnya pagi tidak bisa lebih dingin dari pagi-pagi mengeluarkan sampah ke tengah-tengah Kees Broekmanstraat atau Kraanspoor. Kandang-kandang sepeda, bahkan tempat mencuci baju itu, dingin, sedingin hati yang tak jua menghangat padaku. Namun, roti gandum dimagnetron selalu panas juga.
Air susu jika sampai dibalas air tuba pasti menjijikkan, karena itu berarti liur-liur Enzo Zenz Allie dan kawan-kawan satu kopelnya. Sampai di sini aku tak hendak meratapi pikiranku yang ruwet karena toh masih ada Farid Hanggawan yang pikirannya kusmasai. Apakah di kulkas masih ada mie goreng chopstix yang dimakan dengan sambal kecap botolan saja aduhai, apalagi sampai masih ada tetahuan dan foo young veggie-nya. Bisa jadi Chochomel dark atau Bengal spices, ah, langsung terasa sepi-sepi mencekamnya. Aku suka di sini saja bersama Cantik, meski ia tidak suka.
Mana berani 'ku katakan bahwa kau adalah hal terbaik yang pernah terjadi padaku di Belanda sana, bahkan sekadar udara yang 'ku hirup bisa jadi sangat meremukkan. Seandainya saja cukup tidur malam, maka pagi adalah waktu yang cocok untuk tadinya akan 'ku tulis makan nasi uduk tok pikirannya. Ternyata pagi belum tentu dingin, terutama jika Nemesis Latuconsina mendekapimu, mana bau. Sama seperti Erven Kaseh. Siapa yang berani bilang dia tidak bau, sini berkelahi denganku, demikian raung Abimanyu semasa hidupnya, yakni, sebelum masuk jebakan cakrawyuha.
Selain makna, tentu aku mengacau dengan sebab-akibat pula dalih dan dalil. Katakan pada Mas Toni Edi Riwanto betapa hidupnya, tidak seperti hidup Jimly Quasi Assilikidik, penuh makna. Betapa pencerahannya adalah suatu akibat dari pencariannya, sebagai penyebabnya. Betapa ia berdalih selalu dengan dalil-dalilnya yang intuitif dan separatos. Sudah barang tentu ia akan menyahuti premis-premismu dengan permisivitasnya yang permeatif-komutatif. 'Ku rasa aku belum pernah sejengkel barusan dalam upaya meratakan kanan kiri. Awas kalau begitu lagi. 'Ku hapus kau!
Ada waktu-waktu seperti pengar jet, entah mengapa begitu, atau akibat berpuasa aku tak tahu. Seperti terbang dari Amsterdam sekitar pukul 10.00 waktu Eropa tengah, terbang sekitar empat belas jam non stop seharusnya 'kan sampai Jakarta jam 24.00 waktu eropa tengah, eh, ini koq sampai-sampai sudah pagi. Jadilah baru mulai mengantuk sekitar subuh waktu Indonesia barat, tidur bisa sampai lepas dhuhur hampir ashar. Lucu memang pengar jet itu. Sembuhnya kapan dan bagaimana pun tidak tahu. Tahu-tahu sembuh saja dan bagiku itu bisa makan waktu dua mingguan.
Di alinea [atau paragraf?] terakhir ini, pernah juga aku serasa kurang tidur justru bermotor ke bilangan Pondok Indah untuk mengikuti tes bahasa Inggris. Malah bertemu Fachrurrozi di situ, malah rasanya seperti masuk angin berat, kepala sakit bukan alang-kepalang. Istirahat sebentar siang sampai hampir sore di ndalem Radio Dalam, dilanjut tes bicara di ruko-ruko Margaguna. Ketika itu pulang-pergi masih menyongklang VarioSty riwayatmu dulu. Kini aku menyongklang VarioSua entah sampai kapan. Seperti inilah kisah-kisah yang takkan lekang dimakan pakai sambal petis.
No comments:
Post a Comment