Apa bisaku jika penyintesa ini umek sendiri begini, sedang media-media menstrim saja kurasa semakin tergerus audiensnya. Media alternatif memang sekadar 'pala lu apek, terlebih multiplatform. Namanya puasa pasti begini, lapar-lapar begini. Menyenangkan sebenarnya, daripada makan, karena lapar sudah pasti berujung kurus, sedang makan sudah pasti menggelendut. Malu. Masa budak gendut. Apa kamu budak kepala rumah tangga yang memperlakukan budak-budak lainnya seperti budak. Aku sampai tak bisa memutuskan apakah pembudak lebih menjengkelkan.
Dari tempatku mengitiki terlihat lubang-lubang angin baru, meski aku selalu skeptis dengan langit-langit tinggi yang konon membuat ruangan lebih sejuk. Aku lebih suka bila hatiku yang sejuk, seperti ketika di luar sana elang-elang sedang berlatih. Udara sungguh panasnya, namun ketika itu dapat kuingat sejuknya hatiku. Aku pendosa apakah tak berhak atas sejuknya hati. Akankah kesia-siaan berhenti saat ini juga ketika entri-entri berjarak tiga hari. Ini Ramadhan namun belum satu entri pun kukasih Dedi baginya. Lagipula ini tempat kusut mana patut bagi Ramadhan ini.
Aku tidak bisa menemukan persekitaran yang sesuai bagi halusnya belai-belaian melodi. Sejuknya ruangan berpendingin udara bukan kesukaanku, apalagi jika ia berlari beralas karet. Hentak-hentak dram bas, dentam-dentam senar bas gitar, deham-dehaman saksofon memang sungguh mengilhami. Ini sungguh cocok untuk membaca, apakah ini di Kafe Buku sedang di luar sana Margonda berdebu terpanggang perkasanya Sang Diwangkara. Sangat dapat dipahami jika di hari-hari terakhirnya sudah tiada lagi bacaan menarik hati swargi Bapak. Saat ini saja aku pun begitu.
Ini hari dewa matahari alias dominggo, namun tanggal 24 begini, maka kutemukan diriku mengitiki. Daripada hatiku dilanda kengerian, ngerinya dunia. Aku akan menyelesaikannya. Demi apapun aku akan menyelesaikannya entah di sini atau di sebelah mana saja dunia. Apakah ini saatnya ketika aku memusatkan segala daya untuk bersungguh-sungguh, meski itu bukan merayapi semangka muda atau mematahkan leher-leher jenjang. Ujiannya nanti setelah buka. Mudah memang bicara jika sedang tidak menyambar-nyambar. Sekali berkebat berkebit, habislah.
Seperti biasa, rintihan terompet berpengedam ditingkahi ketuk-ketukan tak ritmik palu pada pahat, mengikis dinding yang melintir. Memang sangat menyiksa bagi seorang perfeksionis, aku bisa memahami. Akan halnya sewadah plastik sayur campur, yakni, buncis, jagung pipil, jamur merang, sosis ayam dibumbu tumis kecap, menjanjikan hari-hari berbuka dan bersahur berteman sambal terasi sasetan. Sungguh seksi sensasi birahi yang tidak lagi kudapatkan dari musik yang mendayu. Justru dari masakanku sendiri, kesenian yang masih tinggal kutekuni. Lain tiada lagi.
Kuakui keindahan itu merayapi, meski Lampung Tengah mengomentari: Agraris sekali. Selain itu ada lagi dari selatan Priangan Timur, bahkan Mandirancan, Kuningan sekali. Itu semua tidak berarti, sebagaimana aku ini orang yang tiada arti. Penyintesa ini sungguh nyaman mengelusi, seperti belaian cinta seorang kekasih yang menyayangi. Tiada lagi khayal, apalagi keinginan, hanya kebiasaan menyakiti diri sendiri dengan kengerian dunia. Seperti koreng setengah kering dicoloki, keropengnya dikelupasi. Seperti itu. Bau-baunya pun tak sedap, merintih meratapi diri.
Gambar di atas merupakan ilustrasi suatu kabar yang dilansir Suara mengenai wanita yang menikahi dirinya sendiri. Diri ini ngeri. Diri ini sempurna, diilhamkan padanya keberanian dan ketakutan. Beruntunglah diri yang takut, merugilah diri yang berani. Ah, itu selalu bacaan yang mengilhami. Aku masih punya bacaan yang belum kuselesaikan, ketika entri-entriku semakin tidak bisa dibaca, semakin tidak bertutur. Keniji memang hanya bisa didengarkan di laptop ini tidak di henfon. Semoga henfonku baik-baik saja sampai September. Awas, jangan sampai lewat!
Dari tempatku mengitiki terlihat lubang-lubang angin baru, meski aku selalu skeptis dengan langit-langit tinggi yang konon membuat ruangan lebih sejuk. Aku lebih suka bila hatiku yang sejuk, seperti ketika di luar sana elang-elang sedang berlatih. Udara sungguh panasnya, namun ketika itu dapat kuingat sejuknya hatiku. Aku pendosa apakah tak berhak atas sejuknya hati. Akankah kesia-siaan berhenti saat ini juga ketika entri-entri berjarak tiga hari. Ini Ramadhan namun belum satu entri pun kukasih Dedi baginya. Lagipula ini tempat kusut mana patut bagi Ramadhan ini.
Aku tidak bisa menemukan persekitaran yang sesuai bagi halusnya belai-belaian melodi. Sejuknya ruangan berpendingin udara bukan kesukaanku, apalagi jika ia berlari beralas karet. Hentak-hentak dram bas, dentam-dentam senar bas gitar, deham-dehaman saksofon memang sungguh mengilhami. Ini sungguh cocok untuk membaca, apakah ini di Kafe Buku sedang di luar sana Margonda berdebu terpanggang perkasanya Sang Diwangkara. Sangat dapat dipahami jika di hari-hari terakhirnya sudah tiada lagi bacaan menarik hati swargi Bapak. Saat ini saja aku pun begitu.
Ini hari dewa matahari alias dominggo, namun tanggal 24 begini, maka kutemukan diriku mengitiki. Daripada hatiku dilanda kengerian, ngerinya dunia. Aku akan menyelesaikannya. Demi apapun aku akan menyelesaikannya entah di sini atau di sebelah mana saja dunia. Apakah ini saatnya ketika aku memusatkan segala daya untuk bersungguh-sungguh, meski itu bukan merayapi semangka muda atau mematahkan leher-leher jenjang. Ujiannya nanti setelah buka. Mudah memang bicara jika sedang tidak menyambar-nyambar. Sekali berkebat berkebit, habislah.
Seperti biasa, rintihan terompet berpengedam ditingkahi ketuk-ketukan tak ritmik palu pada pahat, mengikis dinding yang melintir. Memang sangat menyiksa bagi seorang perfeksionis, aku bisa memahami. Akan halnya sewadah plastik sayur campur, yakni, buncis, jagung pipil, jamur merang, sosis ayam dibumbu tumis kecap, menjanjikan hari-hari berbuka dan bersahur berteman sambal terasi sasetan. Sungguh seksi sensasi birahi yang tidak lagi kudapatkan dari musik yang mendayu. Justru dari masakanku sendiri, kesenian yang masih tinggal kutekuni. Lain tiada lagi.
Kuakui keindahan itu merayapi, meski Lampung Tengah mengomentari: Agraris sekali. Selain itu ada lagi dari selatan Priangan Timur, bahkan Mandirancan, Kuningan sekali. Itu semua tidak berarti, sebagaimana aku ini orang yang tiada arti. Penyintesa ini sungguh nyaman mengelusi, seperti belaian cinta seorang kekasih yang menyayangi. Tiada lagi khayal, apalagi keinginan, hanya kebiasaan menyakiti diri sendiri dengan kengerian dunia. Seperti koreng setengah kering dicoloki, keropengnya dikelupasi. Seperti itu. Bau-baunya pun tak sedap, merintih meratapi diri.
Gambar di atas merupakan ilustrasi suatu kabar yang dilansir Suara mengenai wanita yang menikahi dirinya sendiri. Diri ini ngeri. Diri ini sempurna, diilhamkan padanya keberanian dan ketakutan. Beruntunglah diri yang takut, merugilah diri yang berani. Ah, itu selalu bacaan yang mengilhami. Aku masih punya bacaan yang belum kuselesaikan, ketika entri-entriku semakin tidak bisa dibaca, semakin tidak bertutur. Keniji memang hanya bisa didengarkan di laptop ini tidak di henfon. Semoga henfonku baik-baik saja sampai September. Awas, jangan sampai lewat!
No comments:
Post a Comment