Apa jadinya siang-siang hari dalam ruangan sejuk sambil menyaksikan ruang-ruang atau lanskap-lanskap indah, sedang musik-musik indah mengalun. Malam yang masih sangat muda ini pun sejuk, sedang segelas ramuan teh, jahe merah dan putih, kunyit, madu, mentol, dan gula aren seperti biasa menemani jika aku sedang goblog begini. Malam-malam sejuk seperti ini pun bisa berteman mini compo mengalunkan musik-musik indah atau lumayan saja, sedang badan dan pikiran masih sangat muda. Justru karena kemudaan itu kedunguan mencirikan, mengepulkan.
Ahad 8 Ramadhan 1443 H begini, selepas Isya' malah menghancurkan sarang tawon di kedua kamar mandi. Hanya kutahu, hidup manusia betapa ringkihnya, seringkih sarang tawon yang disogok pisau dapur saja rantas. Akan halnya buka ini aku menamatkan sayur lodeh donoloyo buatanku sendiri dan remah-remah ayam ungkep a la masakmom.com, sudah menjadi suratanku. Begitu banyaknya makanan enak, semakin sedikit sisa umurku, kesehatanku untuk menikmati semua. Ketika sayur lodehku yang baru keluar dari kulkas agak berlendir karena bersantannya.
Lonceng-lonceng perak berkincingan menandakan akan mengalunnya lagu cinta, yang dengannya aku dibesarkan. Akan halnya setua ini cinta tidak tersedia bagiku sebanyak yang kumau, kurasa memang sudah diatur seperti itu. Apa jadinya aku bila diguyur banyak-banyak cinta sebagaimana kumau. Hanya terbayang olehku pujasera Gardena yang bersahaja. Bahkan makanan apa yang dijual di situ pun aku tak ingat. Hanya saja keremajaan itu masih terkenang olehku, ketika segala sesuatu mudah menyenangkan. Hanches, begitu saja teringat olehku Maastricht kala itu.
Lantas ini, betina bodoh yang tidak pernah kutemui dalam hidupku, yang ternyata nama sejenis tarian. Menari dengan seekor betina bodoh adakah pernah terjadi dalam hidupku. Seorang perempuan cerdas pernah memintaku menari bersama, yang kutolak mentah-mentah karena aku tidak suka musik pengiringnya, sehingga ia marah padaku merasa terhina. Engkau pasti sudah menduga tidak ada yang benar-benar hebat terjadi dalam hidupku. Aku hanya berpura-pura tangguh, intimidatif, tanpa kompromi. Aslinya aku ini pecundang sejati. Semua saja tahu akan itu.
Wajar saja jika malam Ramadhan aku sering terpikir mengenai makan, namun belum tentu makanan. Sejak tidak punya uang, kreativitasku terkait ide-ide mengenai makanan enak berhenti. Sebenarnya tidak juga. Sudah cukup lama aku tidak kreatif dalam hal ini, sampai Farid berkomentar terlalu cepat. Namun memang begitu adanya. Apa yang biasanya dapat meledakkan hati, kini terasa biasa saja. Sebenarnya aku agak suka dengan keadaan ini, seandainya saja ini terjadi pada kesembilan saluran hawa. Aku ini yang mengembarai gurun tinggal membawa macan.
Meski semua itu sudah berlalu bagiku, tidak berarti ia kehilangan sengatannya. Seringkali aku jengkel, meski lebih sering lagi aku begitu saja menyerah padanya. Seperti seorang gadis kecil memasang tampang yang menurutnya paling memelas, menadahkan wadah plastik bekas celengan rombeng, sementara entah adik entah kawan laki-lakinya mengenakan pakaian badut. Sudah mendekati waktu berbuka pada saat itu, ketika aku membeli terong balado dan sayur buncis udang yang gagal total bagi anak perempuan kesayanganku. Dunia ini apa maunya dariku yang lemah ini.
Mungkin selepas ini akan kumakan juga sisa pizza tuna yang tidak dihabiskan anak perempuan kesayanganku, yang ada beremahnya itu. Terkadang muncul khayalan ingin membentuk band bersama entah siapa. Terkadang ingin mengaransemen kembali Kita Muda Rasa, atau sekadar lagu-lagu selalu-hijau. Semua itu adalah remah-remah masa lalu disapu hujan awal musim gugur. Namun masih lebih enak daripada ayam piri-piri entah apa yang pernah kunikmati di ruang tamu Uilenstede 79C. Mmm, tentu lebih disukai mie goreng Java Kuliner atau sekalian kibbeling saja.
Ahad 8 Ramadhan 1443 H begini, selepas Isya' malah menghancurkan sarang tawon di kedua kamar mandi. Hanya kutahu, hidup manusia betapa ringkihnya, seringkih sarang tawon yang disogok pisau dapur saja rantas. Akan halnya buka ini aku menamatkan sayur lodeh donoloyo buatanku sendiri dan remah-remah ayam ungkep a la masakmom.com, sudah menjadi suratanku. Begitu banyaknya makanan enak, semakin sedikit sisa umurku, kesehatanku untuk menikmati semua. Ketika sayur lodehku yang baru keluar dari kulkas agak berlendir karena bersantannya.
Lonceng-lonceng perak berkincingan menandakan akan mengalunnya lagu cinta, yang dengannya aku dibesarkan. Akan halnya setua ini cinta tidak tersedia bagiku sebanyak yang kumau, kurasa memang sudah diatur seperti itu. Apa jadinya aku bila diguyur banyak-banyak cinta sebagaimana kumau. Hanya terbayang olehku pujasera Gardena yang bersahaja. Bahkan makanan apa yang dijual di situ pun aku tak ingat. Hanya saja keremajaan itu masih terkenang olehku, ketika segala sesuatu mudah menyenangkan. Hanches, begitu saja teringat olehku Maastricht kala itu.
Lantas ini, betina bodoh yang tidak pernah kutemui dalam hidupku, yang ternyata nama sejenis tarian. Menari dengan seekor betina bodoh adakah pernah terjadi dalam hidupku. Seorang perempuan cerdas pernah memintaku menari bersama, yang kutolak mentah-mentah karena aku tidak suka musik pengiringnya, sehingga ia marah padaku merasa terhina. Engkau pasti sudah menduga tidak ada yang benar-benar hebat terjadi dalam hidupku. Aku hanya berpura-pura tangguh, intimidatif, tanpa kompromi. Aslinya aku ini pecundang sejati. Semua saja tahu akan itu.
Wajar saja jika malam Ramadhan aku sering terpikir mengenai makan, namun belum tentu makanan. Sejak tidak punya uang, kreativitasku terkait ide-ide mengenai makanan enak berhenti. Sebenarnya tidak juga. Sudah cukup lama aku tidak kreatif dalam hal ini, sampai Farid berkomentar terlalu cepat. Namun memang begitu adanya. Apa yang biasanya dapat meledakkan hati, kini terasa biasa saja. Sebenarnya aku agak suka dengan keadaan ini, seandainya saja ini terjadi pada kesembilan saluran hawa. Aku ini yang mengembarai gurun tinggal membawa macan.
Meski semua itu sudah berlalu bagiku, tidak berarti ia kehilangan sengatannya. Seringkali aku jengkel, meski lebih sering lagi aku begitu saja menyerah padanya. Seperti seorang gadis kecil memasang tampang yang menurutnya paling memelas, menadahkan wadah plastik bekas celengan rombeng, sementara entah adik entah kawan laki-lakinya mengenakan pakaian badut. Sudah mendekati waktu berbuka pada saat itu, ketika aku membeli terong balado dan sayur buncis udang yang gagal total bagi anak perempuan kesayanganku. Dunia ini apa maunya dariku yang lemah ini.
Mungkin selepas ini akan kumakan juga sisa pizza tuna yang tidak dihabiskan anak perempuan kesayanganku, yang ada beremahnya itu. Terkadang muncul khayalan ingin membentuk band bersama entah siapa. Terkadang ingin mengaransemen kembali Kita Muda Rasa, atau sekadar lagu-lagu selalu-hijau. Semua itu adalah remah-remah masa lalu disapu hujan awal musim gugur. Namun masih lebih enak daripada ayam piri-piri entah apa yang pernah kunikmati di ruang tamu Uilenstede 79C. Mmm, tentu lebih disukai mie goreng Java Kuliner atau sekalian kibbeling saja.
No comments:
Post a Comment