Suara piano berkelentang-kelenting ditingkahi dehaman bass gitar. Ya, kali ini yang berdeham adalah bass bukan saksofon, karena ia tidak berdentam apalagi berdebam. Ia mendeham, sedang hatiku tidak ada yang peduli apa yang ada padanya. Aku jelas sudah tidak muda lagi, dan sungguh terasa tak pantas bahkan olehku sendiri untuk terus-terusan berolok-olok di sini. Namun tinggal ini kesenanganku, hiburanku. Apakah ketika berumur dua puluhan aku menghibur diri dengan Roxana dan Bagoas sekaligus. Amit-amit, Tulak sawan! Hephaestion pun tak sudi aku.
Masih lebih mungkin aku menghibur diri dengan menyodok atau menyogok apapun dengan xyston-ku, menebas dengan kopis, menusuk dengan xyphos. Hidup penuh kekerasan begitu, namun jangan bodoh. Alexander dan kawan-kawannya bermandi darah namun mereguk kebijaksanaan Aristoteles. Seperti itulah. Jika itu pun tak mungkin, bagaimana dengan Rama Bergawa yang ke mana-mana membawa busur raksasa dan kapak, namun ia seorang pertapa. Ah, jangan juga. Bagaimana dengan Karna, aku rasa kehilangan kepala adalah cara mati ternyaman.
Aku bicara mengenai pahlawan-pahlawan ini seakan-akan aku ini oye. Jangankan menjadi Ptolemus nenek moyang Kleopatra, menjadi Ki Manteb saja mustahil aku. Aku ini si keple, kalaupun tidak tolol. Jika pun aku sok-sokan jadi polisi tatabahasa, itu lebih karena kecenderungan perfeksionis. Awas bukan OCD, sekadar perfeksionis. Apakah dengan melodi-melodi gruveh begini aku harus menyetir sendiri mobil di jalan-jalan ibukota di malam hari, di bawah temaram lampu jalan; itu semata khayalan belaka. Bisa saja di tol Antasari-Sawangan, namun aku malas.
Jangan pula sampai salah terka, itu bukan gambar tahi, melainkan semacam fitbar begitu. Habis mandi begini selalu saja justru tidak segar. Berkeringat, terlebih tadi memakai sabun cair berpelembab; apa kau kira ini masih di Sepurderek. Sedang setahun lalu saja, tepat hari ini, kau sudah berpacu di langit tinggi meninggalkannya. Apa yang kutinggalkan, tidak ada. Tidak ada lambaian tangan apatah lagi tangis. Aku pergi begitu saja tiada yang kehilangan. Hidup berjalan setelahnya seakan-akan aku tidak pernah ada di situ, menyusuri lorong-lorong kuning, hijau, biru...
Sudah cukup kucicipi dunia ini, maka buat apa lagi. Malam takbiran ini aku begitu saja mandi, karena kuncinya selalu di situ. Tepukan sebelah pantat memang sudah seharusnya kudapatkan sebagai bentuk kasih sayang, sama sekali tidak kusesali. Apa benar yang kuinginkan aku tidak tahu dan tidak peduli. Betapa kulkas penuh makanan dapat saja mengganggu pikiran, meski pendengaran dibelai-belai musik sedap sedemikian rupa. Akan kupaksa setelah ini, karena apa lagi yang kutunggu. Aku harus segera melesat, seperti batu dilontar seorang peltast.
Aku harus mengucap selamat tinggal pada Ustadz Abdul Somad and friends, karena kurasa malam ini tiada ada lagi. Ini sudah malam takbiran dan sebaiknya, Insya Allah, aku tidur sampai subuh. Semoga setelah subuh aku tidak mengantuk hebat, sehingga dapatlah aku menunaikan shalat 'Id, mendengarkan khutbahnya. Aha, tahun lalu hari buruh masih jauh dari lebaran, tahun ini hari buruh malah takbiran. Begitulah maka Apollo didegradasi menjadi sekadar bau oleh Samson Betawi, tidak lagi menjadi penanda waktu utama. Aku tak peduli lagi apapun sebutannya.
Ini entri apa bagus untuk membuka Mei aku juga tidak peduli. Tidak banyak yang kupedulikan kecuali ITU. Apalagi yang baru saja melintas ini, apakah kukutuk atau tidak, apakah kutukanku manjur atau tidak, aku tidak peduli. Sidang pembaca (halah!) pasti masih ingat masalah derkukuk. Ya, itu ada hubungannya memang dengan babaduk. Aku masih takut, maka aku tidak akan berkata apa-apa mengenainya. Namun tidak berarti aku berhenti melawan. Aku selalu melawan. Justru karena lemah-lembutnya babaduk mengerikan. Aku tahu aku bisa bertekad, tidak bulat.
Masih lebih mungkin aku menghibur diri dengan menyodok atau menyogok apapun dengan xyston-ku, menebas dengan kopis, menusuk dengan xyphos. Hidup penuh kekerasan begitu, namun jangan bodoh. Alexander dan kawan-kawannya bermandi darah namun mereguk kebijaksanaan Aristoteles. Seperti itulah. Jika itu pun tak mungkin, bagaimana dengan Rama Bergawa yang ke mana-mana membawa busur raksasa dan kapak, namun ia seorang pertapa. Ah, jangan juga. Bagaimana dengan Karna, aku rasa kehilangan kepala adalah cara mati ternyaman.
Aku bicara mengenai pahlawan-pahlawan ini seakan-akan aku ini oye. Jangankan menjadi Ptolemus nenek moyang Kleopatra, menjadi Ki Manteb saja mustahil aku. Aku ini si keple, kalaupun tidak tolol. Jika pun aku sok-sokan jadi polisi tatabahasa, itu lebih karena kecenderungan perfeksionis. Awas bukan OCD, sekadar perfeksionis. Apakah dengan melodi-melodi gruveh begini aku harus menyetir sendiri mobil di jalan-jalan ibukota di malam hari, di bawah temaram lampu jalan; itu semata khayalan belaka. Bisa saja di tol Antasari-Sawangan, namun aku malas.
Jangan pula sampai salah terka, itu bukan gambar tahi, melainkan semacam fitbar begitu. Habis mandi begini selalu saja justru tidak segar. Berkeringat, terlebih tadi memakai sabun cair berpelembab; apa kau kira ini masih di Sepurderek. Sedang setahun lalu saja, tepat hari ini, kau sudah berpacu di langit tinggi meninggalkannya. Apa yang kutinggalkan, tidak ada. Tidak ada lambaian tangan apatah lagi tangis. Aku pergi begitu saja tiada yang kehilangan. Hidup berjalan setelahnya seakan-akan aku tidak pernah ada di situ, menyusuri lorong-lorong kuning, hijau, biru...
Sudah cukup kucicipi dunia ini, maka buat apa lagi. Malam takbiran ini aku begitu saja mandi, karena kuncinya selalu di situ. Tepukan sebelah pantat memang sudah seharusnya kudapatkan sebagai bentuk kasih sayang, sama sekali tidak kusesali. Apa benar yang kuinginkan aku tidak tahu dan tidak peduli. Betapa kulkas penuh makanan dapat saja mengganggu pikiran, meski pendengaran dibelai-belai musik sedap sedemikian rupa. Akan kupaksa setelah ini, karena apa lagi yang kutunggu. Aku harus segera melesat, seperti batu dilontar seorang peltast.
Aku harus mengucap selamat tinggal pada Ustadz Abdul Somad and friends, karena kurasa malam ini tiada ada lagi. Ini sudah malam takbiran dan sebaiknya, Insya Allah, aku tidur sampai subuh. Semoga setelah subuh aku tidak mengantuk hebat, sehingga dapatlah aku menunaikan shalat 'Id, mendengarkan khutbahnya. Aha, tahun lalu hari buruh masih jauh dari lebaran, tahun ini hari buruh malah takbiran. Begitulah maka Apollo didegradasi menjadi sekadar bau oleh Samson Betawi, tidak lagi menjadi penanda waktu utama. Aku tak peduli lagi apapun sebutannya.
Ini entri apa bagus untuk membuka Mei aku juga tidak peduli. Tidak banyak yang kupedulikan kecuali ITU. Apalagi yang baru saja melintas ini, apakah kukutuk atau tidak, apakah kutukanku manjur atau tidak, aku tidak peduli. Sidang pembaca (halah!) pasti masih ingat masalah derkukuk. Ya, itu ada hubungannya memang dengan babaduk. Aku masih takut, maka aku tidak akan berkata apa-apa mengenainya. Namun tidak berarti aku berhenti melawan. Aku selalu melawan. Justru karena lemah-lembutnya babaduk mengerikan. Aku tahu aku bisa bertekad, tidak bulat.
No comments:
Post a Comment