Awas, Thomas di sini dibaca seperti orang Perancis, jadi tidak dibunyikan "s"-nya. Ya, ia dihukum buang. Satu-satunya kesalahan adalah ia mengira dirinya disayang. Maka, tanpa diundang, tanpa beruluk salam, seringlah ia melenggang masuk saja melalui pintu-pintu, bahkan jendela-jendela yang terbuka. Menurutku, Kay yang bodoh. Sudah tahu ia gelandangan jalanan begitu, masih dipeluk-peluknya, dibawa tidurnya. Maka gatal-gatallah Kay bahkan sampai tidak bisa membuka pelupuk mata. Thomas yang disalahkan. Ia yang dihukum buang. "Yang salah Kay, mengapa Thomas yang dibuang?!" kataku. "Ibunya takkan paham lelucon itu," kata Istriku.
Masalahnya, Thomas sedang sakit. Sudah berhari-hari ini dia minta dilepaskan, tidak mau jadi Kempeitai lagi. Lucunya, tiap kali lepas, ia jilat-jilat sampai bersih ketelepasannya itu. Siang ini, ia dihukum buang. Aku tidak tahu ke mana. Hanya saja, beberapa hari terakhir ini ia biasa beristirahat di dipan jati. Meski tidak berkasur namun hangat dan kering. Kini, di tempat pembuangannya, kurasa tidak akan ada dipan jati. Mana semenjak maghrib hujan tiada henti. Pertanyaannya kini tidak apakah, tapi bilakah Thomas menemui ajalnya, seperti Legiman mati kedinginan.
Sudahlah. Tidak ada gunanya ini semua. Hanya dapat kukatakan, senang telah mengenalmu, 'Wis. Insya Allah, suatu hari nanti kita bertemu kembali dalam keadaan yang jauh lebih baik. Kau dalam keadaanmu yang segagah-gagahnya. Sapalah aku bila kau melihatku nanti. Jika keadaanku ketika itu buruk, tolong beritahukan pada Tuhan kita, meski Ia Maha Tahu, aku baik padamu. Mintakanlah tolong bagiku kepadaNya. Sesungguhnya aku masih berharap dalam pembuanganmu engkau masih kuasa berjaya sehingga kita dapat bertemu lagi di kehidupan yang fana ini.
Namun aku dan kau sama tahu, pikiran seperti itu tolol belaka. Aku yakin kau akan menghadapi ajalmu dengan gagah-berani, seperti Bapakku. Entahlah aku. Jika benar malam ini atau dalam waktu dekat kau menemui ajal, semoga ketika itu Ibumu datang menemanimu, mengelus-elusmu, mendekapmu, menyamankanmu. Dunia ini memang penuh penderitaan, kesengsaraan. Buat apa lama-lama di sini. Akan halnya kita pernah bertemu di sini, marilah kita syukuri. Aku, terutama, mengucap syukur pada Tuhan telah dipertemukan denganmu. Kau, hambaNya yang gagah.
Onti, sementara itu, malam ini masih tidur beralaskan permadani lembut dan hangat. Memang seperti itulah hidup di dunia. Hari ini, detik ini masih entah melakukan apa di atas punggung bumi. Esok entah kapan masuk dalam perut bumi. Semoga ada yang memasukkan jasadmu kembali ke dalam perut Ibu Pertiwi, 'Wis. Ya, Tuhan Maha Baik, sekiranya Iwis mati, jangan biarkan ia menjadi bangkai membusuk terlantar di atas tanah becek berlumpur. Gerakkanlah hati hambamu yang kebetulan melihatnya untuk menyelenggarakan jasadnya. Masya Allah, sudah mendekati tengah malam dan hujan semakin derasnya. Ya, Tuhan, kasihanilah kami hamba-hambaMu. Kasihanilah Iwis. Hangatkanlah ia.
Astaga, sedang begini suasana hatiku, di telingaku mengalun nyanyian yahudi-yahudi yang dipenjara oleh Nebukadnezar. Akankah aku dapat beristirahat malam barang sebentar sebelum Insya Allah terbangun sahur. Sudah sebelas hari berpuasa tidak ada tambahan sama sekali penghambaanku. Masih begitu-begitu saja, masih juga maksiat saja. Aduhai malam berhujan. Aku sudah sikat gigi namun tadi mengulum Ricola, sedang bawaannya haus saja. Perut sudah terasa kembungnya. Aku tidak mau terlarut dalam suasana hati ini meski hujan semakin deras saja.
Ini entri yang Insya Allah bagus. Suatu hari nanti, jika Tuhan mengizinkan, aku akan membacanya kembali. Entah suasana hati apa yang akan ditimbulkannya. Entah mengapa terkenang hangatnya rempah-rempah Bengala. Tepat di sini tiba-tiba ada semacam tekad, Iwis akan baik-baik saja. Ia gagah-perkasa. Meski kini ia tidak mau jadi Kempeitai lagi, ia akan segera sembuh, meski tanpa salmon, tuna, dan semacamnya. Ia akan menemukan sesuatu untuk menghangatkan badannya. Ia akan menemukan tempat berteduh, lebih hangat, lebih kering dari dipan jati.
Wajah sedihnya memang mirip dengan Sanwirya a.k.a Iwir a.k.a Thomas |
Sudahlah. Tidak ada gunanya ini semua. Hanya dapat kukatakan, senang telah mengenalmu, 'Wis. Insya Allah, suatu hari nanti kita bertemu kembali dalam keadaan yang jauh lebih baik. Kau dalam keadaanmu yang segagah-gagahnya. Sapalah aku bila kau melihatku nanti. Jika keadaanku ketika itu buruk, tolong beritahukan pada Tuhan kita, meski Ia Maha Tahu, aku baik padamu. Mintakanlah tolong bagiku kepadaNya. Sesungguhnya aku masih berharap dalam pembuanganmu engkau masih kuasa berjaya sehingga kita dapat bertemu lagi di kehidupan yang fana ini.
Namun aku dan kau sama tahu, pikiran seperti itu tolol belaka. Aku yakin kau akan menghadapi ajalmu dengan gagah-berani, seperti Bapakku. Entahlah aku. Jika benar malam ini atau dalam waktu dekat kau menemui ajal, semoga ketika itu Ibumu datang menemanimu, mengelus-elusmu, mendekapmu, menyamankanmu. Dunia ini memang penuh penderitaan, kesengsaraan. Buat apa lama-lama di sini. Akan halnya kita pernah bertemu di sini, marilah kita syukuri. Aku, terutama, mengucap syukur pada Tuhan telah dipertemukan denganmu. Kau, hambaNya yang gagah.
Onti, sementara itu, malam ini masih tidur beralaskan permadani lembut dan hangat. Memang seperti itulah hidup di dunia. Hari ini, detik ini masih entah melakukan apa di atas punggung bumi. Esok entah kapan masuk dalam perut bumi. Semoga ada yang memasukkan jasadmu kembali ke dalam perut Ibu Pertiwi, 'Wis. Ya, Tuhan Maha Baik, sekiranya Iwis mati, jangan biarkan ia menjadi bangkai membusuk terlantar di atas tanah becek berlumpur. Gerakkanlah hati hambamu yang kebetulan melihatnya untuk menyelenggarakan jasadnya. Masya Allah, sudah mendekati tengah malam dan hujan semakin derasnya. Ya, Tuhan, kasihanilah kami hamba-hambaMu. Kasihanilah Iwis. Hangatkanlah ia.
Astaga, sedang begini suasana hatiku, di telingaku mengalun nyanyian yahudi-yahudi yang dipenjara oleh Nebukadnezar. Akankah aku dapat beristirahat malam barang sebentar sebelum Insya Allah terbangun sahur. Sudah sebelas hari berpuasa tidak ada tambahan sama sekali penghambaanku. Masih begitu-begitu saja, masih juga maksiat saja. Aduhai malam berhujan. Aku sudah sikat gigi namun tadi mengulum Ricola, sedang bawaannya haus saja. Perut sudah terasa kembungnya. Aku tidak mau terlarut dalam suasana hati ini meski hujan semakin deras saja.
Ini entri yang Insya Allah bagus. Suatu hari nanti, jika Tuhan mengizinkan, aku akan membacanya kembali. Entah suasana hati apa yang akan ditimbulkannya. Entah mengapa terkenang hangatnya rempah-rempah Bengala. Tepat di sini tiba-tiba ada semacam tekad, Iwis akan baik-baik saja. Ia gagah-perkasa. Meski kini ia tidak mau jadi Kempeitai lagi, ia akan segera sembuh, meski tanpa salmon, tuna, dan semacamnya. Ia akan menemukan sesuatu untuk menghangatkan badannya. Ia akan menemukan tempat berteduh, lebih hangat, lebih kering dari dipan jati.
No comments:
Post a Comment