Ini jelas bukan waktunya ngegoblog, namun hatiku serasa kejeblugan balon hijau berisikan hidrogen berintikan plutonium. Uah, tiba-tiba saja aku tersedot ke dalam ruang waktu, terhempas di loteng Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Maastricht. Apakah aku ini habis menyantap surimi garnalen atau bahkan roti lapis isi ikan goreng tepung dengan olesan saus bawang. Sementara itu ada kantin murah di akademi seni di belakang, menjual paket roti pentung besar, bisa diisi salad tuna, kepiting, atau telur, masih ditambah semangkuk besar sup sekali, hanya satu setengah Euro.
Kenyataannya, pantatkulah yang terpancang pada kursi belajar Faw di kamar belakang, sedang perutku gendut mengganjal begini. Aku ditemani semug zodiak Leo teh jahe kunyit bersimbah madu jahe merah mentol, masih bertabur jahe merah gula aren bubuk. Akibatnya terlalu manis di pagi hari, maka kubagi dua, separuh di gelas permata kutambahi air panas lagi sampai penuh. Sekarang ini menjelang dhuhur, setengah lagi kutambahi air panas dan masih kumagnetron sekali, semug zodiak Leo menemaniku ngegoblog begini. Ini sudah dari seminggu lalu atau lebih.
Ya, sutra 'lah let's do it again! Bersama Bang Tagor di sini, yang dahulu terasa aduhai nikmat sekali, gurih-gurih goyang lidah, manis-manisnya; belum lagi bumbu kacang yang semrawut dengan kecap dan saos murahan. Aku bisa saja segera melesat membelinya, namun semua tak sama, tak pernah sama, apa yang kaukunyah, apa yang kautelan. Sedang Cantik melarikan diri ke kandang kambing gara-gara sekondan Mas Dikdik membongkar puncak atap, menghantam-hantamkan martilnya. Sekarang mereka berhenti untuk mengobrol di atas atap sambil mengopi.
Ini adalah akhir pagi menjelang siang ketika kepala, dada, punggung basah bersimbah peluh, mengucur karena badan dipasok air hangat bersimbah teh jahe kunyit, masih dengan jahe merah, madu, mentol bahkan gula aren. Sampai kapan badan sanggup menanggung nikmat asin-asin gurihnya kuah soto Suroboyoan di pagi hari, lengkap dengan taburan koya, meski diencerkan dengan segelas SanQua. Masih mending, jika kepagian, belum akan ada gorengan entah tahu, bakwan, atau tempe, yang jelas menambah kenikmatan sruput-sruputnya kuah soto. Aduhai!
Semua ini tak ayal mengakibatkan tumpah ruahnya perut, ndlewer mengalir sampai jauh. Apakah itu Ki Ageng Suryomentaram atau sekalian Pangeran Diponegoro niscaya tidak akan berdaya menghadapi mudanya kehidupan yang berhias intan permata mutu manikam, entah yang mungil mengerling atau melotot sebesar jempol. Belum lagi mutiara tersembunyi yang bersaput madu-madu gurih dengan keharuman yang memabukkan. Aku belum lagi tahu bagaimana Ki Ageng, tapi Pangeran Diponegoro jelas cekakar di hadapan itu semua. Inikah nasib pangeran-pangeran Jawa?
Raden Ronggowarsito menulis apa yang oleh orang-orang disangka risalah-risalah, atau bahkan mungkin ia sendiri menyangkanya begitu. Aku mengitiki goblog ini tidak untuk disangka apa-apa, kecuali, seperti yang sudah disangkakan Mas Teguh Rumiyarto, bahwa aku gendeng. Di titik ini aku sudah tidak tahu lagi mana yang lebih baik, dikatakan gendeng atau keple. Jelasnya, perutku ndlewet sampai-sampai penampilanku memang gendeng tur keple. Betapa tidak, tangan kananku bergerak ke atas ke bawah berulang-ulang, kadang cepat kadang lambat.
Lantas bagaimana aku harus mengakhiri entri ini, sedang peluh terus mengucur pada suhu ruang 36 derajat selsius. Bahkan ketika aku berusaha untuk melontarkan diriku ke awal perjuangan ini (halah!), masih telur rebus itu saja yang teringat di beranda salah satu kelas SMP 4 Jakarta. Bahkan ada pula yang sudah mengenakan putih-abu-abu masih membersamaiku di Istiqlal kala itu. "Sampai bertemu di Lembah Tidar", katanya [Tentu saja tidak]. Apakah Teras Hijau menjadi kelanjutan ini semua, atau seperti halnya hidup di dunia, sekadar senda-gurau belaka.
Kenyataannya, pantatkulah yang terpancang pada kursi belajar Faw di kamar belakang, sedang perutku gendut mengganjal begini. Aku ditemani semug zodiak Leo teh jahe kunyit bersimbah madu jahe merah mentol, masih bertabur jahe merah gula aren bubuk. Akibatnya terlalu manis di pagi hari, maka kubagi dua, separuh di gelas permata kutambahi air panas lagi sampai penuh. Sekarang ini menjelang dhuhur, setengah lagi kutambahi air panas dan masih kumagnetron sekali, semug zodiak Leo menemaniku ngegoblog begini. Ini sudah dari seminggu lalu atau lebih.
Ya, sutra 'lah let's do it again! Bersama Bang Tagor di sini, yang dahulu terasa aduhai nikmat sekali, gurih-gurih goyang lidah, manis-manisnya; belum lagi bumbu kacang yang semrawut dengan kecap dan saos murahan. Aku bisa saja segera melesat membelinya, namun semua tak sama, tak pernah sama, apa yang kaukunyah, apa yang kautelan. Sedang Cantik melarikan diri ke kandang kambing gara-gara sekondan Mas Dikdik membongkar puncak atap, menghantam-hantamkan martilnya. Sekarang mereka berhenti untuk mengobrol di atas atap sambil mengopi.
Ini adalah akhir pagi menjelang siang ketika kepala, dada, punggung basah bersimbah peluh, mengucur karena badan dipasok air hangat bersimbah teh jahe kunyit, masih dengan jahe merah, madu, mentol bahkan gula aren. Sampai kapan badan sanggup menanggung nikmat asin-asin gurihnya kuah soto Suroboyoan di pagi hari, lengkap dengan taburan koya, meski diencerkan dengan segelas SanQua. Masih mending, jika kepagian, belum akan ada gorengan entah tahu, bakwan, atau tempe, yang jelas menambah kenikmatan sruput-sruputnya kuah soto. Aduhai!
Semua ini tak ayal mengakibatkan tumpah ruahnya perut, ndlewer mengalir sampai jauh. Apakah itu Ki Ageng Suryomentaram atau sekalian Pangeran Diponegoro niscaya tidak akan berdaya menghadapi mudanya kehidupan yang berhias intan permata mutu manikam, entah yang mungil mengerling atau melotot sebesar jempol. Belum lagi mutiara tersembunyi yang bersaput madu-madu gurih dengan keharuman yang memabukkan. Aku belum lagi tahu bagaimana Ki Ageng, tapi Pangeran Diponegoro jelas cekakar di hadapan itu semua. Inikah nasib pangeran-pangeran Jawa?
Raden Ronggowarsito menulis apa yang oleh orang-orang disangka risalah-risalah, atau bahkan mungkin ia sendiri menyangkanya begitu. Aku mengitiki goblog ini tidak untuk disangka apa-apa, kecuali, seperti yang sudah disangkakan Mas Teguh Rumiyarto, bahwa aku gendeng. Di titik ini aku sudah tidak tahu lagi mana yang lebih baik, dikatakan gendeng atau keple. Jelasnya, perutku ndlewet sampai-sampai penampilanku memang gendeng tur keple. Betapa tidak, tangan kananku bergerak ke atas ke bawah berulang-ulang, kadang cepat kadang lambat.
Lantas bagaimana aku harus mengakhiri entri ini, sedang peluh terus mengucur pada suhu ruang 36 derajat selsius. Bahkan ketika aku berusaha untuk melontarkan diriku ke awal perjuangan ini (halah!), masih telur rebus itu saja yang teringat di beranda salah satu kelas SMP 4 Jakarta. Bahkan ada pula yang sudah mengenakan putih-abu-abu masih membersamaiku di Istiqlal kala itu. "Sampai bertemu di Lembah Tidar", katanya [Tentu saja tidak]. Apakah Teras Hijau menjadi kelanjutan ini semua, atau seperti halnya hidup di dunia, sekadar senda-gurau belaka.
Bersetia Bela Pancasila, Demi Jaya Indonesia
No comments:
Post a Comment