Asepteven, jadi ini cuma baru judulnya? Ini dilematis. Haruskah aku mengakhiri 2017 dengan makian, atau membuatnya menjadi duapuluh satu? Sungguh dilema 'gak guna khas lapak sini. Apakah ini siang-siang hari yang panas di sepanjang Cimone Gama Raya atau apapun, itu bahkan sudah duapuluh tahun lalu lebih. Waktu yang telah berlalu dan yang masih harus dilalui, 'kan kau sudah tahu. Lalu mengapa masih menulis-nulis di sini? Semata karena malas ngoreksi di akhir tahun, seperti yang telah kulakukan agak delapan tahun terakhir ini. Masya Allah betapa banyaknya!
Aku tidak mau bicara jika itu membuatmu sedih. Aku paham engkau datang untuk menjabat tanganku. Seandainya aku bisa melakukan ini dalam Bahasa Belanda. Bisa saja. Di umur empatpuluh satu ini? Masih sama rasanya 'kan, atau setidaknya kau sudah tidak tahu bedanya lagi; karena kau mengalaminya hari demi hari, detik demi detik. Kau berada di dalamnya sampai kau tidak tahu lagi. Akankah kualami lagi jamur panggang dengan suasana hati dan badan yang nyaman, bahkan sampai hati main rangkul-rangkul anak gadis orang? Masya Allah, tidak, tidak lagi yang seperti itu!
Gadis cilik, katakanlah yang sebenarnya, sungguh aku tidak pernah menyimak ceritanya, kecuali keriangan ketukan piano honky tonk. Apakah ini siang hari di Taman Puring, di jok belakang Fiat 124 B 122 AM masih bercelana pendek merah? Sekarang giliran Satrio Adjie Wibowo menjalaninya. Bahkan ibunya! Ya sudah. Ini bahkan lebih tua lagi. Kerinduan kepada apa? Akankah kualami lagi, akankah menyiksa? Beberapa hari terakhir ini entah bagaimana caranya Shalawat Nariyah dengan lagunya yang sangat ndeso itu merundung benakku, apapun yang kulakukan, kemanapun kupergi.
Dan itu dimulai ketika aku belum bisa tidur sampai menjelang tengah malam, begitu saja aku menghafalkannya. Shalawat Munjiyah, sekarang Nariyah, setelah sebelumnya Induk Istighfar. Semua dari Ibu. Ibu dari Kyai Cholil Bisri. Semoga jika ada kebaikan dari aku melantunkan dan membacanya, terlimpah tercurah kiranya bagi Ibuku tersayang. Ya, aku adalah Bapak Ibuku dan buku-buku yang kubaca, dan setelah meneguk secangkir cappuccino [salah terus aku menulisnya] aku entah bagaimana merasa lebih segar, di siang menjelang sore yang mendung berguruh ini.
Dan aku masih saja terima! Astaghfirullah, bagaimana caraku ngecakke? Menulis, siapa yang mau baca? Ya tulis saja! Sekarang ini, ngapai kau menulis-nulis goblog begini? Ayo ngoreksi! Ahaha, ampun. Iya aku ngoreksi entah hari ini atau mulai besok pagi. Tidak bolehkah aku bersantai di malam tahun baru yang tidak ada drive in dan jauh dari Ancol ini? Begini inilah malam tahun baruku. Tidak di bar yang riuh penuh orang penuh asap, mengenakan bando bertuliskan "happy new year," karena kedua tungkaiku tidak hancur terkena pecahan proyektil meriam. Hanya hatiku sedikit, itu saja.
Jadi harus berapa banyak? Mengapa harus enam tujuh? Entahlah. Keteraturan yang datangnya entah-entah dari mana, selalu saja. Tahu takua, agar tidak takwa, uah, enak sekali! Entah mengapa selalu terkait dengan Sarimi rasa sapi warna coklat. Sudahlah, Madu Madu. Bagaimana shalat lohormu tadi? Seperti biasa, seadanya? Bagaimana caranya agar tidak terus begitu? Teguk lagi cappuccinomu? Aku tidak mau menyakitimu, aku tidak mau melihatmu menangis. Aku yang menunggu selama masa kanak-kanak dan remajaku, hanya untuk disakiti dan menangis. Aku tidak menyesal. Tidak.
Apalagi jika kuingat dosa-dosa mengerikanku. Aku tidak benar-benar menunggu. Semoga Allah tidak menghukum Bapak Ibu gara-gara kelakuanku. Aku hanya ingin jadi anak Bapak Ibu yang sholeh. Aku juga ingin punya ruang belajar, jika gardu belajar terasa berolok-olok dan Pulau Kirrin jelas keterlaluan. Mammamia Spicy Chicken! Suatu seruan yang cukup pantas bagi Toserba Model [dengan bunyi "e" seperti pada "benar"] atau Agung Shop. Pernahkah? Aku hanya ingat alat-alat tulis di situ. Seperti Gardena, aku tidak akan pernah sanggup melepaskanmu, terlebih dengan solo gitar begitu.
Aku tidak mau bicara jika itu membuatmu sedih. Aku paham engkau datang untuk menjabat tanganku. Seandainya aku bisa melakukan ini dalam Bahasa Belanda. Bisa saja. Di umur empatpuluh satu ini? Masih sama rasanya 'kan, atau setidaknya kau sudah tidak tahu bedanya lagi; karena kau mengalaminya hari demi hari, detik demi detik. Kau berada di dalamnya sampai kau tidak tahu lagi. Akankah kualami lagi jamur panggang dengan suasana hati dan badan yang nyaman, bahkan sampai hati main rangkul-rangkul anak gadis orang? Masya Allah, tidak, tidak lagi yang seperti itu!
Gadis cilik, katakanlah yang sebenarnya, sungguh aku tidak pernah menyimak ceritanya, kecuali keriangan ketukan piano honky tonk. Apakah ini siang hari di Taman Puring, di jok belakang Fiat 124 B 122 AM masih bercelana pendek merah? Sekarang giliran Satrio Adjie Wibowo menjalaninya. Bahkan ibunya! Ya sudah. Ini bahkan lebih tua lagi. Kerinduan kepada apa? Akankah kualami lagi, akankah menyiksa? Beberapa hari terakhir ini entah bagaimana caranya Shalawat Nariyah dengan lagunya yang sangat ndeso itu merundung benakku, apapun yang kulakukan, kemanapun kupergi.
Dan itu dimulai ketika aku belum bisa tidur sampai menjelang tengah malam, begitu saja aku menghafalkannya. Shalawat Munjiyah, sekarang Nariyah, setelah sebelumnya Induk Istighfar. Semua dari Ibu. Ibu dari Kyai Cholil Bisri. Semoga jika ada kebaikan dari aku melantunkan dan membacanya, terlimpah tercurah kiranya bagi Ibuku tersayang. Ya, aku adalah Bapak Ibuku dan buku-buku yang kubaca, dan setelah meneguk secangkir cappuccino [salah terus aku menulisnya] aku entah bagaimana merasa lebih segar, di siang menjelang sore yang mendung berguruh ini.
Dan aku masih saja terima! Astaghfirullah, bagaimana caraku ngecakke? Menulis, siapa yang mau baca? Ya tulis saja! Sekarang ini, ngapai kau menulis-nulis goblog begini? Ayo ngoreksi! Ahaha, ampun. Iya aku ngoreksi entah hari ini atau mulai besok pagi. Tidak bolehkah aku bersantai di malam tahun baru yang tidak ada drive in dan jauh dari Ancol ini? Begini inilah malam tahun baruku. Tidak di bar yang riuh penuh orang penuh asap, mengenakan bando bertuliskan "happy new year," karena kedua tungkaiku tidak hancur terkena pecahan proyektil meriam. Hanya hatiku sedikit, itu saja.
Jadi harus berapa banyak? Mengapa harus enam tujuh? Entahlah. Keteraturan yang datangnya entah-entah dari mana, selalu saja. Tahu takua, agar tidak takwa, uah, enak sekali! Entah mengapa selalu terkait dengan Sarimi rasa sapi warna coklat. Sudahlah, Madu Madu. Bagaimana shalat lohormu tadi? Seperti biasa, seadanya? Bagaimana caranya agar tidak terus begitu? Teguk lagi cappuccinomu? Aku tidak mau menyakitimu, aku tidak mau melihatmu menangis. Aku yang menunggu selama masa kanak-kanak dan remajaku, hanya untuk disakiti dan menangis. Aku tidak menyesal. Tidak.
Apalagi jika kuingat dosa-dosa mengerikanku. Aku tidak benar-benar menunggu. Semoga Allah tidak menghukum Bapak Ibu gara-gara kelakuanku. Aku hanya ingin jadi anak Bapak Ibu yang sholeh. Aku juga ingin punya ruang belajar, jika gardu belajar terasa berolok-olok dan Pulau Kirrin jelas keterlaluan. Mammamia Spicy Chicken! Suatu seruan yang cukup pantas bagi Toserba Model [dengan bunyi "e" seperti pada "benar"] atau Agung Shop. Pernahkah? Aku hanya ingat alat-alat tulis di situ. Seperti Gardena, aku tidak akan pernah sanggup melepaskanmu, terlebih dengan solo gitar begitu.