Kuharap akan tiba saatnya aku membaca lagi entri ini, dan dua sebelumnya, sedang hatiku terasa hangat dan nyaman, sedang aku merindukan tangisan musang karena sudah agak berapa lama tidak mendengarnya. Adri mungkin ingin tahu kenapa aku sampai hati mempertontonkan kekacauanku seperti ini. Ia menyimpulkan, mungkin, ketika aku sedang berada dalam "limbo" maka aku begini. Limbo? Waktu ketika skripsi sudah jadi dan menunggu sidang? Mungkin juga. Aku memang berada dalam keadaan yang kurang lebih mirip. Sejujurnya aku tidak pernah memperhatikan bilamana aku mengetiki. Aku menulisi. Aku menelanjangi.
Malam ini musang menangis, bahkan sepulangku dari membeli kwetiauw rebus ia masih menangis, meski sekarang ini dia sudah diam. Sudah sampaikah hajatnya? Bagaimana denganku? Sebagaimana dua tahun lalu, udara malam ini pun terasa hangat, seperti ketika musang menangis. Kemarau mungkin waktu yang tepat untuk beranak dan membesarkan anak musang. Aku tidak bisa membayangkan apa jadinya bayi-bayi musang jika sepanjang hari hujan, berhari-hari. Mereka pasti kedinginan. Mereka bisa mati. Begitulah musang sepanjang hidupnya hanya menyucikanNya. Kurasa hanya namaNya saja yang merundung hidupnya.
Sedangkan aku, sampai harus memutar daftarmainku yang lain agar beberapa malam ketika Art Garfunkel terpesona berhenti merundungku. Betapa mengerikannya menjadi manusia! Beberapa saat ini kusadari betapa shalatku sangat asal-asalan. Ketika shalat anganku ke mana-mana. Apa harus "mengaji" lagi pada Ustadz Abbas Mansur Tamam, syukur-syukur bisa seakan melihat Allah dalam shalat? Kemarin malam saja aku serasa sudah siap "mengaji" al-Asma' al-Husna pada Ustadz Quraish Shihab, tapi kugeletakkan saja ia di meja beranda sedang aku mainan entah medsos entah yutub. Apa karena aku sedang berada dalam limbo?
Uah, Si Tolol ini menyalahkan selain dirinya lagi! Tidakkah seharusnya dalam keadaan seperti ini justru kau berusaha mendekat? Aku masih ingat, menghadap jendela yang kubobok sendiri, aku Yasinan Fadhilah. Aku lupa apakah ketika itu aku berharap-harap seperti ini atau malah acuh tak acuh. Tidak ada gunanya pula kuingat-ingat. Ini benar-benar limbo. Limbo 'tuh sebenarnya apa sih, 'Dri? Aku ingat Togar juga beberapa kali menggunakan istilah ini. Mengapa aku tidak pernah tertarik? Ya, aku menunggu. Aku harap-harap cemas. Aku gelisah. Daripada limbo, Limbuk, sebagai anaknya Cangik, lebih akrab terdengar, meski aku tidak mau.
Terlebih lagi Bilung, akrab sekali. Apakah ada hubungannya dengan Tungbilung Thet-thuwet aku tidak tahu pasti. Ini hari-hari memasuki kemarau. Tidak kemarau, tidak penghujan, si tukang meniup-niup terus saja meniup-niup ke dalam dada manusia, meniupkan was-was. Hamba berlindung kepada Allah darinya. Kata Cak Nun, cara masuk surga macam-macam. Ada yang sepanjang hidupnya gagal terus, Allah kasihan padanya dan memasukkannya ke surga. Ada yang karena saking polos dan lugunya berhati-hati terus sepanjang hidupnya, masuk surga. Ada yang ikhlas terus kepada istrinya, masuk surga. Kurang-lebih begitu juga pandangan Habib Quraish Shihab. Kasih-sayang Allah mendahului murkaNya.
Kembali mengenai tangisan musang, bagaimanapun ia adalah kenangan manis. Jangankan entah suatu saat nanti kelak di kemudian hari. Sekarang saja ia sudah manis. Ia kenangan akan kemurahanNya. PerlindunganNya. PertolonganNya. Tangisan musang adalah tangisan kesederhanaan. Ia menguarkan aroma ketundukan, kepasrahan yang proaktif, bebas dengan cara mengikatkan diri. Tangisan musang adalah tangisan kerinduan, seperti rindunya cinta pada Cinta, rindunya setitik air mata yang menetes di mata air pada lautan samudera. Tangisan musang mengilhamkan keakraban, kehangatan bertetangga, celoteh riang Istri tersayang dengan saudari-saudarinya sebelah dan sebelah rumah.
Ya, Allah Rabb hamba, demi KekuasaanMu yang meliputi segala sesuatu, izinkanlah hamba membaca lagi entri ini pada suatu hari kelak yang penuh diliputi keselamatan, kesejahteraan dan kebaikan dalam menjalani hidup dunia akhirat; kenyamanan, kehangatan, sehat segar bugar jasmani rohani, sedang hamba mereguk ilmu-ilmu yang bermanfaat dunia akhirat, sedang apapun yang Engkau karuniakan pada hamba mendatangkan berkah dan berkah belaka, bahkan Engkau memandang ridha pada hamba. Maha Suci Engkau, segala puji hanya patut bagi Engkau, tiada sesembahan yang patut disembah, patut ditakuti, patut dijadikan tempat bergantung kecuali Engkau, Mahabesar Engkau, Allah Rabb hamba.
Malam ini musang menangis, bahkan sepulangku dari membeli kwetiauw rebus ia masih menangis, meski sekarang ini dia sudah diam. Sudah sampaikah hajatnya? Bagaimana denganku? Sebagaimana dua tahun lalu, udara malam ini pun terasa hangat, seperti ketika musang menangis. Kemarau mungkin waktu yang tepat untuk beranak dan membesarkan anak musang. Aku tidak bisa membayangkan apa jadinya bayi-bayi musang jika sepanjang hari hujan, berhari-hari. Mereka pasti kedinginan. Mereka bisa mati. Begitulah musang sepanjang hidupnya hanya menyucikanNya. Kurasa hanya namaNya saja yang merundung hidupnya.
Sedangkan aku, sampai harus memutar daftarmainku yang lain agar beberapa malam ketika Art Garfunkel terpesona berhenti merundungku. Betapa mengerikannya menjadi manusia! Beberapa saat ini kusadari betapa shalatku sangat asal-asalan. Ketika shalat anganku ke mana-mana. Apa harus "mengaji" lagi pada Ustadz Abbas Mansur Tamam, syukur-syukur bisa seakan melihat Allah dalam shalat? Kemarin malam saja aku serasa sudah siap "mengaji" al-Asma' al-Husna pada Ustadz Quraish Shihab, tapi kugeletakkan saja ia di meja beranda sedang aku mainan entah medsos entah yutub. Apa karena aku sedang berada dalam limbo?
Uah, Si Tolol ini menyalahkan selain dirinya lagi! Tidakkah seharusnya dalam keadaan seperti ini justru kau berusaha mendekat? Aku masih ingat, menghadap jendela yang kubobok sendiri, aku Yasinan Fadhilah. Aku lupa apakah ketika itu aku berharap-harap seperti ini atau malah acuh tak acuh. Tidak ada gunanya pula kuingat-ingat. Ini benar-benar limbo. Limbo 'tuh sebenarnya apa sih, 'Dri? Aku ingat Togar juga beberapa kali menggunakan istilah ini. Mengapa aku tidak pernah tertarik? Ya, aku menunggu. Aku harap-harap cemas. Aku gelisah. Daripada limbo, Limbuk, sebagai anaknya Cangik, lebih akrab terdengar, meski aku tidak mau.
Terlebih lagi Bilung, akrab sekali. Apakah ada hubungannya dengan Tungbilung Thet-thuwet aku tidak tahu pasti. Ini hari-hari memasuki kemarau. Tidak kemarau, tidak penghujan, si tukang meniup-niup terus saja meniup-niup ke dalam dada manusia, meniupkan was-was. Hamba berlindung kepada Allah darinya. Kata Cak Nun, cara masuk surga macam-macam. Ada yang sepanjang hidupnya gagal terus, Allah kasihan padanya dan memasukkannya ke surga. Ada yang karena saking polos dan lugunya berhati-hati terus sepanjang hidupnya, masuk surga. Ada yang ikhlas terus kepada istrinya, masuk surga. Kurang-lebih begitu juga pandangan Habib Quraish Shihab. Kasih-sayang Allah mendahului murkaNya.
Kembali mengenai tangisan musang, bagaimanapun ia adalah kenangan manis. Jangankan entah suatu saat nanti kelak di kemudian hari. Sekarang saja ia sudah manis. Ia kenangan akan kemurahanNya. PerlindunganNya. PertolonganNya. Tangisan musang adalah tangisan kesederhanaan. Ia menguarkan aroma ketundukan, kepasrahan yang proaktif, bebas dengan cara mengikatkan diri. Tangisan musang adalah tangisan kerinduan, seperti rindunya cinta pada Cinta, rindunya setitik air mata yang menetes di mata air pada lautan samudera. Tangisan musang mengilhamkan keakraban, kehangatan bertetangga, celoteh riang Istri tersayang dengan saudari-saudarinya sebelah dan sebelah rumah.
Ya, Allah Rabb hamba, demi KekuasaanMu yang meliputi segala sesuatu, izinkanlah hamba membaca lagi entri ini pada suatu hari kelak yang penuh diliputi keselamatan, kesejahteraan dan kebaikan dalam menjalani hidup dunia akhirat; kenyamanan, kehangatan, sehat segar bugar jasmani rohani, sedang hamba mereguk ilmu-ilmu yang bermanfaat dunia akhirat, sedang apapun yang Engkau karuniakan pada hamba mendatangkan berkah dan berkah belaka, bahkan Engkau memandang ridha pada hamba. Maha Suci Engkau, segala puji hanya patut bagi Engkau, tiada sesembahan yang patut disembah, patut ditakuti, patut dijadikan tempat bergantung kecuali Engkau, Mahabesar Engkau, Allah Rabb hamba.
No comments:
Post a Comment