Jangan menyakiti dirimu sendiri! Cukuplah makanan menyakitimu ketika melalui lambung atau bagian lain dari saluran cernamu entah yang mana. Menceritakan dirimu sendiri dengan kata ganti orang pertama menandakan seseorang berkinerja tinggi? Ahaha, ini bagian dari perubahan jaman—seperti kata Mas Santo. Meski bercerita dengan kata ganti orang kedua atau ketiga tidak kurang konyolnya—jika bukan makalah ilmiah. Lalu pada siapa aku harus berpaling? “Jika bukan kau, siapa lagi yang kuharap dapat memaklumiku?” kata Ray Charles.
Mencintaimu, mencintaimu, ooh, apa yang dapat kulakukan? Aku tidak sanggup berhenti mencintaimu! Maafkan aku, Cantik. Mungkin memang bukan cinta yang kita punya ini, seandainya pun aku tahu cinta itu apa, atau kita bisa menyepakati suatu makna tentangnya. Namun, dari sisiku sendiri, aku mencintaimu sangat—jika bukan sangat bergantung padamu secara emosional. Kau adalah bagian dari keseharianku yang membosankan bahkan untukku sendiri; dan aku lebih sanggup menahan bosan daripada kejutan. Aku nyaman dengan keteraturan, meski membosankan.
Alhamdulillah, meski belum membereskan tempat tidur, hatiku terasa lebih ringan pagi ini dibandingkan pagi kemarin. Mungkin aku senang karena semalam menggagalkan diri sendiri berbuat sesuatu yang akan kusesali selamanya, seperti malam-malam dingin di dermaga bau pesing. Keparat orang-orang bule itu. Biadab betul kelakuannya, sedang di sekelilingnya penuh keadaban. Kemarin sekali lagi? Untuk sekadar melakukan segala sesuatu dengan lebih baik dan benar? Tidak ‘lah. Sebagaimana Adrianus Eryan masih tahu Karen Carpenter, seperti itulah hidup maju terus.
Demikianlah maka setelah ketupat sayur tahu dua aku masih menghabiskan nasi goreng sisa semalam. Setelah segelas besar teh melati kini setengah lebih gelas besar air hangat mendampingi, sedang saksofon menghembus lembut menemani tidurmu. Sebagaimana halnya ia menahan diri, aku pun menahan diri untuk terlibat secara emosional—semata agar tidak sakit hatiku; mungkin akan kukatakan sendiri padamu nanti. Pagi ini, aku tidak ingin mengeluh betapa hidup sudah demikian jahat padaku, atau aku yang terlalu masa bodoh.
Toa masjid sudah berbunyi-bunyi di Minggu pagi ceria ini, semacam lonceng gereja berdentang-dentang memanggil jemaatnya. Aku yakin hanya Islam jalan hidup yang benar, meski semua agama baik sepanjang menuntun manusia menjalani hidupnya dengan baik di dunia ini. Adrianus Eryan, seperti Pak Parwinando, bisa jadi Katolik. Aku bisa jadi Islam. Namun kami sama Jawa, sama Indonesia, sama manusia, sama mahluk Tuhan. Baginya jalan hidupnya, bagiku jalan hidupku. Untuk hidup, orang perlu merasa bahwa jalan hidupnya benar.
...dan aku mencintaimu sangat. Sungguh, aku pun tidak akan mengklaim apa yang kuberikan padamu ini cinta. Namun inilah cintaku sebatas kelemahanku sebagai mahluk. Hanya Ia Sang Cinta yang sanggup mencinta tanpa dicinta. Mahluk tidak. Mungkin aku memang jahat, tapi kau harus tahu bahwa apa yang kaulakukan sudah berada di luar batas-batasku. Namun, seperti biasa, kau hanya mendorong batasku agak lebih jauh saja. Mungkin ini latihan yang baik bagiku. Terlebih baik, mungkin ini semacam pertanda baik.
Takwa kemarin sore berbicara mengenai berkah Allah. Siapa juga yang tidak butuh berkah Allah, terlebih Masyarakat Pancasila. Takwa bukan aku yang suka menghancurkan kota bahkan peradabanku sendiri jika kutemukan sedikit saja kecacatan padanya. Ladang yang tidak lurus, rumah yang salah tempat, hancur! Aku Insya Allah akan membantunya sedapat-dapatku. Insya Allah aku belajar banyak darinya sebagaimana aku berusaha belajar sebanyak-banyaknya dari siapapun, bahkan dari tukangnya Pak Insan yang aku enggan tahu namanya itu. Demikian, jadilah KehendakNya.
Mencintaimu, mencintaimu, ooh, apa yang dapat kulakukan? Aku tidak sanggup berhenti mencintaimu! Maafkan aku, Cantik. Mungkin memang bukan cinta yang kita punya ini, seandainya pun aku tahu cinta itu apa, atau kita bisa menyepakati suatu makna tentangnya. Namun, dari sisiku sendiri, aku mencintaimu sangat—jika bukan sangat bergantung padamu secara emosional. Kau adalah bagian dari keseharianku yang membosankan bahkan untukku sendiri; dan aku lebih sanggup menahan bosan daripada kejutan. Aku nyaman dengan keteraturan, meski membosankan.
Alhamdulillah, meski belum membereskan tempat tidur, hatiku terasa lebih ringan pagi ini dibandingkan pagi kemarin. Mungkin aku senang karena semalam menggagalkan diri sendiri berbuat sesuatu yang akan kusesali selamanya, seperti malam-malam dingin di dermaga bau pesing. Keparat orang-orang bule itu. Biadab betul kelakuannya, sedang di sekelilingnya penuh keadaban. Kemarin sekali lagi? Untuk sekadar melakukan segala sesuatu dengan lebih baik dan benar? Tidak ‘lah. Sebagaimana Adrianus Eryan masih tahu Karen Carpenter, seperti itulah hidup maju terus.
Demikianlah maka setelah ketupat sayur tahu dua aku masih menghabiskan nasi goreng sisa semalam. Setelah segelas besar teh melati kini setengah lebih gelas besar air hangat mendampingi, sedang saksofon menghembus lembut menemani tidurmu. Sebagaimana halnya ia menahan diri, aku pun menahan diri untuk terlibat secara emosional—semata agar tidak sakit hatiku; mungkin akan kukatakan sendiri padamu nanti. Pagi ini, aku tidak ingin mengeluh betapa hidup sudah demikian jahat padaku, atau aku yang terlalu masa bodoh.
Toa masjid sudah berbunyi-bunyi di Minggu pagi ceria ini, semacam lonceng gereja berdentang-dentang memanggil jemaatnya. Aku yakin hanya Islam jalan hidup yang benar, meski semua agama baik sepanjang menuntun manusia menjalani hidupnya dengan baik di dunia ini. Adrianus Eryan, seperti Pak Parwinando, bisa jadi Katolik. Aku bisa jadi Islam. Namun kami sama Jawa, sama Indonesia, sama manusia, sama mahluk Tuhan. Baginya jalan hidupnya, bagiku jalan hidupku. Untuk hidup, orang perlu merasa bahwa jalan hidupnya benar.
...dan aku mencintaimu sangat. Sungguh, aku pun tidak akan mengklaim apa yang kuberikan padamu ini cinta. Namun inilah cintaku sebatas kelemahanku sebagai mahluk. Hanya Ia Sang Cinta yang sanggup mencinta tanpa dicinta. Mahluk tidak. Mungkin aku memang jahat, tapi kau harus tahu bahwa apa yang kaulakukan sudah berada di luar batas-batasku. Namun, seperti biasa, kau hanya mendorong batasku agak lebih jauh saja. Mungkin ini latihan yang baik bagiku. Terlebih baik, mungkin ini semacam pertanda baik.
Takwa kemarin sore berbicara mengenai berkah Allah. Siapa juga yang tidak butuh berkah Allah, terlebih Masyarakat Pancasila. Takwa bukan aku yang suka menghancurkan kota bahkan peradabanku sendiri jika kutemukan sedikit saja kecacatan padanya. Ladang yang tidak lurus, rumah yang salah tempat, hancur! Aku Insya Allah akan membantunya sedapat-dapatku. Insya Allah aku belajar banyak darinya sebagaimana aku berusaha belajar sebanyak-banyaknya dari siapapun, bahkan dari tukangnya Pak Insan yang aku enggan tahu namanya itu. Demikian, jadilah KehendakNya.
No comments:
Post a Comment