Sore ini aku dipenuhi dengan profesor. Tidak, bukannya aku sok trauma. Ada juga aku sok cool, atau memang benar aku takut bayarnya kurang gara-gara bukan profesor. Uah, macam aku peduli dengan itu semua. Namun, memang akhirnya aku tahu seperti apa Ruang Rapat Utama 1 yang kata Ipank spooky itu. Aku tidak suka spook. Aku sukanya Spokane, yang ternyata adalah nama sebuah kota di negara bagian Washington, tempat asalnya Andrew Hookans.
Andrew Hookans ini tidak mati, Kawan-kawan, hanya saja ia kehilangan dua kaki sekaligus. Siapa saja yang mati? Lebih mudah untuk mengingat-ingat yang hidup. Daniel Forrester, Mortimer Gray, Andy Hookans. Tentu saja Mac. Berarti yang mati Lamont Quincy Jones, Joseph Gomez, Marion Hodgkiss, Cyril Brown... tunggu... Shining Lighttower hidup! Hanya saja ia tuli. Siapa lagi... Constantine Zvonski tentu. Kambing gunung itu namanya siapa ya... koq aku malah ingatnya McQuade. Aha, aku ingat semua. Burnside! Memang tidak pernah diberitahu apa nama depannya.
Bahkan pengganti Ski pun, Jake Levin, mati. Mati semua. Salib putih dan salib putih sejauh mata memandang. Aku ingat semua. Entah sudah berapa kali kutamatkan. Entah sudah berapa lama aku tidak membacanya lagi, dari sampul ke sampul. Entah kapan kali pertama aku membacanya. Entah mengapa aku tidak membaca lagi sekarang. Buku apa yang terakhir kali kutamatkan? Bahkan Kekayaan Bangsa-bangsa yang Sebenarnya saja tidak maju-maju. Seruan Perang! Seruan Perang tidak terdengar dari bekas loji itu, hanya suara satu engineer yang berisik.
Tunggu, suasananya sih sangat mirip dengan Wantannas. Jika awal Februari Wantannas, maka awal Juli Bappenas. Sangat mirip. Tidak begitu mirip sih. Ada Bang Andrinof ada Evaluasi Otsus Papua. Ada Bang Andrinof, sekarang Papua lagi. All in a day’s work. Di sore yang terik tidak mendung tidak itu kubiarkan Vario Sty menggelinding saja ke arah utara. Gas tidak pernah kubuka penuh kecuali sedikit untuk mengambil suatu celah di antara mobil-mobil. Sepulangnya malah aku sering meremas gas.
Karena pulang harus selalu lebih cepat dari berangkat. Karena pulang ke rumah, karena pulang tidak ke loji, yang spooky, yang penuh dengan profesor. Karena pulang membawa satu juta tujuh ratus ribu Rupiah gara-gara diam saja dipanggil praf-prof. Jika benar kau mencintaiku, benar-benar mencintaiku, biarkan terjadi aku tidak peduli! Begitulah Lagu Pujian untuk Cinta. Kau boleh mengujiku, akan kulakukan apapun yang kauminta. Sampai aku kehabisan kata mutiara, meski perasaan mengganjal ini lebih karena Si Engineer itu.
Bekas loji yang persekitarannya masih terasa bekas-bekas nyamannya. Adakah kenyamanan menyembunyikan horor di baliknya? Mana ada yang lebih horor dari tumpukan dosa tak terampuni, Naudzubillahi min dzalik. Di sekitar kita ini saja sudah dipenuhi dengan horor, yaitu berada dalam kepala manusia-manusia, laki-laki dan perempuan. Tidak peduli. Bersama dengan batu, semua itu bisa saja menjadi bahan bakar neraka. Naudzubillahi min dzalik, sedangkan masih saja aku tidak bersenang-senang. Sedangkan masih saja aku tidak paham mengapa disebut bersenang-senang.
Sungguh menakutkan! Dari situ saja sudah horor... sedangkan Marsha and the Bear, yaitu Marsha sekaligus Bear-nya—aku tidak peduli lagi apakah Marsha berkepala Bear atau Bear berkepala Marsha—menyiramku dengan lima belas ember penuh horor! Hanya ini yang dapat kulakukan. Bersenang-senang tidak. Tidak ada tambahan sama sekali, sedangkan Ipank begitu saja tadi mengingatkanku pada Munas, yang mengingatnya saja sudah bikin mual.
No comments:
Post a Comment